Bedakah Meng-OTT Korupsi dengan Pemerkosaan?
A
A
A
Nurul Ghufron
Dekan FH Universitas Jember
DUA profesor hukum pidana Indonesia Prof Edward Hiariej (Prof Eddy) dan Prof Romli Atmasasmita (Prof Romli) terlibat dalam diskusi yang saling mencerahkan wacana hukum Indonesia tentang konsep tertangkap tangan di KORAN SINDO.
Tafsir berbeda tersebut bermula dari Pasal 1 angka 19 KUHAP yang mendefinisikan tertangkap tangan sebagai berikut: "tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu ".
Definisi tersebut menggambarkan berbagai kondisi tertangkap tangan yaitu (1) tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana; (2) tertangkapnya seseorang segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan; (3) tertangkapnya seseorang sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya; dan (4) apabila sesaat kemudian pada orang yang melakukan tindak pidana, ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu. Berdasarkan definisi tersebut, tertangkap tangan tidak saja bagi pelaku, juga peserta lain yang turut dalam perbuatan pidana (menyuruh melakukan, turut serta melakukan atau orang yang menganjurkan-bahkan terhadap pembantuan).
Sampai pada pemaknaan tersebut, keduanya sama. Namun kemudian, ada perbedaan mengenai justifikasi analogis terkait hasil OTT dengan percobaan, dan mempersamakan tertangkap tangan dan percobaan. Pada akhirnya, kedua profesor pidana tersebut berbeda pendapat bahwa OTT yang dilakukan KPK mungkin benar jika itu dalam kerangka yang di-OTT adalah bagian dari turut serta atau pada saat percobaan tindak pidana. Sementara Prof Romli menyatakan hal tersebut bukan merupakan tertangkap tangan sebagaimana Pasal 1 angka 19 KUHAP.
Perbedaan pandangan mulai beranjak dari dasar argumentasi OTT yang dimungkinkan dalam OTT atas percobaan korupsi, namun disalahpahami Prof Romli yang dianggapnya menganalogikan OTT dengan percobaan. Padahal, Prof Eddy hanya menghubungkannya dalam artian mungkin saja OTT-nya atas "percobaan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (UU Tipikor).
Mengenai "haramnya analogi", benar ada beberapa pakar yang membolehkan analogi, tetapi mayoritas pakar hukum pidana mengharamkannya. Praktik peradilan yang jamak di Indonesia, hakim dalam kasus tertentu yang menerapkan analogi.
Pun mengenai anutan KUHAP kita apakah bercorak crime control model ataukah due process model, harus diakui tidak secara tepat KUHAP kita menggambarkan keduanya, bahkan ada yang menilai lebih cenderung crime control model dari masa HIR. Namun, semangat perubahan untuk lebih menghargai dan melindungi hak asasi tersangka itu adalah semangat dari perubahan HIR menjadi KUHAP, dan itulah corak utama dari due process model. Karena model-model tersebut sejatinya hanya ada dalam keilmuan hukum, tidak ada satu pun negara di dunia yang secara seutuhnya menggunakan model salah satunya saja.
Selanjutnya perlu juga didalami pendapat Prof Eddy setidaknya dalam dua hal. Pertama, tentang kapan waktu terjadinya tindak pidana korupsi? Prof Eddy telah menjelaskan bahwa korupsi adalah delik formal, yang menilai dari selesainya perbuatan sehingga kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan berdasarkan Pasal 12 UU KPK adalah sejak proses penyelidikan.
Artinya "peristiwa sosial" harus sudah selesai dilakukan, baru diselidiki untuk ditentukan apakah peristiwa sosial tersebut merupakan tindak pidana atau bukan, karena itulah tujuan penyelidikan. Penyadapan penyelidikan bukan memberi wewenang untuk menyadap setiap komunikasi warga sebelum penegak hukum "mengetahui" adanya peristiwa sosial yang kemudian dicurigai sebagai tindak pidana.
Sejauh ini memang telah banyak penentangan praktik penyadapan atas semua komunikasi warga (pejabat tertentu). Karena praktik tersebut sesungguhnya bukan dalam kerangka "penyelidikan", bahkan kalau itu benar terjadi praktik tersebut adalah praktik ilegal; dan apabila dilakukan oleh negara, jelas itu merupakan pelanggaran HAM.
Kedua, sejak kapan penyadapan terhadap percobaan korupsi dilakukan? Mungkin benar tersangka yang di-OTT belum (tidak) dalam empat keadaan sebagaimana Pasal 1 angka 19 di atas, misalnya dalam percobaan korupsi sebagaimana Pasal 15 UU Tipikor. Karena dalam perkara korupsi, antara perbuatan percobaan, pembantuan, dan pemufakatan korupsi memang dihukum yang sama sebagai perbuatan korupsi yang sempurna berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor. Sebenarnya keberadaan Pasal 15 UU Tipikor ini adalah hanya untuk menguatkan dengan memberi sanksi yang sama dengan perbuatan yang sempurna. Namun, sejak kapan penyadapan dilakukan atas peristiwa "percobaan Korupsi".
Pendapat Prof Eddy "seakan" membenarkan penyadapan atas OTT percobaan korupsi, bahwa OTT merupakan upaya memfaktakan alat bukti permulaan yang sudah didapat agar menjadi alat bukti permulaan yang cukup. Masalahnya dalam percobaan korupsi harus jelas kapan dimulai penyelidikan, dan kemudian kapan mulai dilakukan penyadapan? Berdasarkan Pasal 12 UU KPK menyatakan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pasal 6 huruf c, KPK berwenang salah satunya adalah melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan".
Penyadapan dalam kasus korupsi hanya dapat dilakukan untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Penyadapan sebelum percobaan korupsi artinya sebelum ada peristiwa sosial yang ternyata korupsi tersebut. Apa mungkin penyadapan dilakukan sebelum penyelidikan, jika itu terjadi jelas ini adalah penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Oleh karena itu, ke depan KPK dalam melakukan penyadapan lebih baik digunakan untuk "pencegahan" sebagai tugas pokok KPK yang sejauh ini belum optimal. Penyadapan dalam penyelidikan hanya bertujuan melindungi agar proses hukum tidak ada yang mengganggu dengan rekayasa dan penghilangan alat bukti.
Aparat negara tidak dibenarkan membiarkan sampai peristiwa pidana yang diketahui akan terjadi, dan baru kemudian ditangkap. Bayangkan kalau hal tersebut peristiwa pemerkosaan atau pembunuhan, akankah kita membenarkan perilaku aparat negara membiarkan sampai pemerkosaan usai, baru ditangkap, padahal sudah diketahui sebelumnya?
Kita bernegara hukum membentuk UU Tipikor bukan untuk sekadar memperbanyak penghuni lapas dengan koruptor, melainkan untuk melindungi keuangan negara dari kerugian. Mari kita kembalikan semangat hukum bahwa mencegah lebih baik dari pemberantasan, dan itu juga tugas KPK.
Dekan FH Universitas Jember
DUA profesor hukum pidana Indonesia Prof Edward Hiariej (Prof Eddy) dan Prof Romli Atmasasmita (Prof Romli) terlibat dalam diskusi yang saling mencerahkan wacana hukum Indonesia tentang konsep tertangkap tangan di KORAN SINDO.
Tafsir berbeda tersebut bermula dari Pasal 1 angka 19 KUHAP yang mendefinisikan tertangkap tangan sebagai berikut: "tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu ".
Definisi tersebut menggambarkan berbagai kondisi tertangkap tangan yaitu (1) tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana; (2) tertangkapnya seseorang segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan; (3) tertangkapnya seseorang sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya; dan (4) apabila sesaat kemudian pada orang yang melakukan tindak pidana, ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu. Berdasarkan definisi tersebut, tertangkap tangan tidak saja bagi pelaku, juga peserta lain yang turut dalam perbuatan pidana (menyuruh melakukan, turut serta melakukan atau orang yang menganjurkan-bahkan terhadap pembantuan).
Sampai pada pemaknaan tersebut, keduanya sama. Namun kemudian, ada perbedaan mengenai justifikasi analogis terkait hasil OTT dengan percobaan, dan mempersamakan tertangkap tangan dan percobaan. Pada akhirnya, kedua profesor pidana tersebut berbeda pendapat bahwa OTT yang dilakukan KPK mungkin benar jika itu dalam kerangka yang di-OTT adalah bagian dari turut serta atau pada saat percobaan tindak pidana. Sementara Prof Romli menyatakan hal tersebut bukan merupakan tertangkap tangan sebagaimana Pasal 1 angka 19 KUHAP.
Perbedaan pandangan mulai beranjak dari dasar argumentasi OTT yang dimungkinkan dalam OTT atas percobaan korupsi, namun disalahpahami Prof Romli yang dianggapnya menganalogikan OTT dengan percobaan. Padahal, Prof Eddy hanya menghubungkannya dalam artian mungkin saja OTT-nya atas "percobaan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (UU Tipikor).
Mengenai "haramnya analogi", benar ada beberapa pakar yang membolehkan analogi, tetapi mayoritas pakar hukum pidana mengharamkannya. Praktik peradilan yang jamak di Indonesia, hakim dalam kasus tertentu yang menerapkan analogi.
Pun mengenai anutan KUHAP kita apakah bercorak crime control model ataukah due process model, harus diakui tidak secara tepat KUHAP kita menggambarkan keduanya, bahkan ada yang menilai lebih cenderung crime control model dari masa HIR. Namun, semangat perubahan untuk lebih menghargai dan melindungi hak asasi tersangka itu adalah semangat dari perubahan HIR menjadi KUHAP, dan itulah corak utama dari due process model. Karena model-model tersebut sejatinya hanya ada dalam keilmuan hukum, tidak ada satu pun negara di dunia yang secara seutuhnya menggunakan model salah satunya saja.
Selanjutnya perlu juga didalami pendapat Prof Eddy setidaknya dalam dua hal. Pertama, tentang kapan waktu terjadinya tindak pidana korupsi? Prof Eddy telah menjelaskan bahwa korupsi adalah delik formal, yang menilai dari selesainya perbuatan sehingga kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan berdasarkan Pasal 12 UU KPK adalah sejak proses penyelidikan.
Artinya "peristiwa sosial" harus sudah selesai dilakukan, baru diselidiki untuk ditentukan apakah peristiwa sosial tersebut merupakan tindak pidana atau bukan, karena itulah tujuan penyelidikan. Penyadapan penyelidikan bukan memberi wewenang untuk menyadap setiap komunikasi warga sebelum penegak hukum "mengetahui" adanya peristiwa sosial yang kemudian dicurigai sebagai tindak pidana.
Sejauh ini memang telah banyak penentangan praktik penyadapan atas semua komunikasi warga (pejabat tertentu). Karena praktik tersebut sesungguhnya bukan dalam kerangka "penyelidikan", bahkan kalau itu benar terjadi praktik tersebut adalah praktik ilegal; dan apabila dilakukan oleh negara, jelas itu merupakan pelanggaran HAM.
Kedua, sejak kapan penyadapan terhadap percobaan korupsi dilakukan? Mungkin benar tersangka yang di-OTT belum (tidak) dalam empat keadaan sebagaimana Pasal 1 angka 19 di atas, misalnya dalam percobaan korupsi sebagaimana Pasal 15 UU Tipikor. Karena dalam perkara korupsi, antara perbuatan percobaan, pembantuan, dan pemufakatan korupsi memang dihukum yang sama sebagai perbuatan korupsi yang sempurna berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor. Sebenarnya keberadaan Pasal 15 UU Tipikor ini adalah hanya untuk menguatkan dengan memberi sanksi yang sama dengan perbuatan yang sempurna. Namun, sejak kapan penyadapan dilakukan atas peristiwa "percobaan Korupsi".
Pendapat Prof Eddy "seakan" membenarkan penyadapan atas OTT percobaan korupsi, bahwa OTT merupakan upaya memfaktakan alat bukti permulaan yang sudah didapat agar menjadi alat bukti permulaan yang cukup. Masalahnya dalam percobaan korupsi harus jelas kapan dimulai penyelidikan, dan kemudian kapan mulai dilakukan penyadapan? Berdasarkan Pasal 12 UU KPK menyatakan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pasal 6 huruf c, KPK berwenang salah satunya adalah melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan".
Penyadapan dalam kasus korupsi hanya dapat dilakukan untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Penyadapan sebelum percobaan korupsi artinya sebelum ada peristiwa sosial yang ternyata korupsi tersebut. Apa mungkin penyadapan dilakukan sebelum penyelidikan, jika itu terjadi jelas ini adalah penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Oleh karena itu, ke depan KPK dalam melakukan penyadapan lebih baik digunakan untuk "pencegahan" sebagai tugas pokok KPK yang sejauh ini belum optimal. Penyadapan dalam penyelidikan hanya bertujuan melindungi agar proses hukum tidak ada yang mengganggu dengan rekayasa dan penghilangan alat bukti.
Aparat negara tidak dibenarkan membiarkan sampai peristiwa pidana yang diketahui akan terjadi, dan baru kemudian ditangkap. Bayangkan kalau hal tersebut peristiwa pemerkosaan atau pembunuhan, akankah kita membenarkan perilaku aparat negara membiarkan sampai pemerkosaan usai, baru ditangkap, padahal sudah diketahui sebelumnya?
Kita bernegara hukum membentuk UU Tipikor bukan untuk sekadar memperbanyak penghuni lapas dengan koruptor, melainkan untuk melindungi keuangan negara dari kerugian. Mari kita kembalikan semangat hukum bahwa mencegah lebih baik dari pemberantasan, dan itu juga tugas KPK.
(rhs)