Perampasan Laut
A
A
A
Muhamad Karim
Dosen Universitas Trilogi Jakarta/Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Terbitnya sertifikat hak guna bangunan (HGB) (Pulau C dan D) dan pencabutan moratorium reklamasi oleh Menteri Koordinator Kemaritiman (Kemenko Maritim) menimbulkan kontroversi. Pasalnya, pemerintah dan DPRD DKI Jakarta belum merampungkan dokumen Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) amanat Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K)No 1/2014, Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRWS) Pantai Utara Jakarta amanat UU Penataan Ruang No 26/2007, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) amanat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009, hingga UU Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam No 7/2016.
Keluarnya sertifikat dan pencabutan moratorium mengesankan pemerintah pusat memaksakan kehendak dan menabrak ketentuan tersebut di atas. Secara ekonomi politik, tindakan ini mendahului penetapan definitif Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta 2017-2022, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Padahal Anies-Sandi sepakat menolak melanjutkan reklamasi. Bukankah langkah pemerintah pusat ini mengerangkeng Anies Sandi sebelum resmi memangku jabatannya? Dalam paradigma politik ekologi, keluarnya sertifikat HGB dan pencabutan moratorium reklamasi sebagai bentuk perampasan ruang laut dan sumber dayanya kelautan Teluk Jakarta (Bennet, 2015).
Perampasan
Perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing) bukanlah hal baru dalam kelautan. Perampasan laut, pertama, tindakan "merampas hak masyarakat" pesisir dan pulau kecil untuk memanfaatkan, mengontrol, dan mengakses ruang laut (space) dan sumber daya (resources) termasuk yang terkandung di dalamnya. Kedua, dilakukan lewat proses tata kelola yang tidak wajar, melemahkan keamanan atau kehidupan umat manusia berakibat menurunnya kesejahteraan sosial masyarakat, dan memperparah kerusakan ekologi. Ketiga, dilakukan lembaga-lembaga publik, kelompok kepentingan individu, maupun institusi negara.
Perampasan terkait dua hal (i) sumber daya (resources) dan (ii) ruang (space). Sumber daya mencakup perikanan, ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun), dan plasma nutfah (genetik dan spesies). Ruang laut, yaitu permukaan, badan air, hingga dasar laut. Imbasnya, nelayan, pembudi daya ikan dan masyarakat adat hilang hak akses dan kelolanya (Bennet et al, 2015).
Meminjam pikiran Bennet et al (2015), reklamasi Teluk Jakarta termasuk bentuk perampasan laut, karena pertama, terjadi pemanfaatan ruang laut secara tertutup buat kepentingan pribadi; (ii) pengembangan daerah enclave di atas pulau reklamasi untuk wisata bahari (hotel, resort dan cottage ), tapi membatasi akses penduduk lokal/nelayan; (iii) menyewakan pulau reklamasi kepada berbagai pihak tertentu (termasuk asing), yang berpotensi mengancam eksistensi ketahanan nasional sembari meminggirkan nelayan dan pembudidaya ikan.
Kedua, terjadinya beragam pemanfaatan ruang laut dan pesisir secara tertutup sebagai areal bisnis, permukiman, dan perkantoran yang mematikan akses perikanan skala kecil dan pembudidaya ikan. Mereka terancam direlokasi hingga butuh proses beradaptasi dengan lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi yang baru. Mereka belum tentu bisa beraktivitas sebagai nelayan dan pembudidaya ikan seperti sediakala.
Penutupan ruang pesisir dan laut lewat sertifikasi dan pencabutan moratorium reklamasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), membuktikan pemerintah pusat mengalienasi dan mengusir pengguna ruang yang sebelumnya sudah memanfaatkannya daerah tersebut (baca: nelayan). Inilah bentuk distribusi ruang yang tidak adil. Masalahnya, Raperda RZWP3K, RTWS, dan AMDAL saja belum rampung, tapi pembangunan kembali dilanjutkan. Lantas apa yang mau diatur lewat kedua raperda tersebut? Bukankah keduanya mesti mengatur dan menata mana yang boleh dan tidak boleh?
Ketiga, perubahan rezim property right lewat, (i) privatisasi lahan pesisir yang sebelumnya hanya bisa melalui reforma agraria (UUPA No 5/1960). Bukankah pemberian sertifikat HGB pulau reklamasi telah mengubah rezim property right dari common property right menjadi private property right? (ii) Sertifikasi juga menghilangnya hak tenurial dalam pengelolaan perikanan hingga menutup hak mengambil/memanennya, (iii) pencabutan moratorium pulau C, D, dan juga G dengan dalih aturannya lengkap akan membatasi preferensi nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir mengakses wilayah tersebut yang awalnya berstatus milik bersama (common property area) dan terbuka (open acces).
Keempat, perubahan rezim "pengalokasian" ruang dan sumber daya. Reklamasi Teluk Jakarta telah mengubah rezim alokasi sumber daya kelautannya. Tak hanya bertentangan dengan UU PWP3K No 1/2014, UU Penataan Ruang No 26/2007, dan UUP2LH No 32/2009, tapi juga UU Pokok Agraria No 5/1960.
Kelima, perubahan rezim "pemanfaatan" ruang dan sumber daya menandai adanya pergeseran orientasi pemanfaatan dari aktivitas perikanan tangkap, budi daya laut, alur pelayaran, menjadi bisnis, perumahan, wisata, dan perkantoran. Imbasnya, mereka yang mengantungkan hidup dari semua aktivitas tersebut teralienasi dari habitusnya dan profesi tidak jelas.
Kebijakan
Nelayan tradisional dan pembudidaya ikan yang bermukim di pesisir Teluk Jakarta adalah rakyat Indonesia yang butuh ketenangan dan tetap melaut. Oleh karena itu, perlu kebijakan, pertama, menciptakan zona penangkapan perikanan skala kecil eksklusif bagi nelayan tradisional dan pembudidaya ikan hingga mereka mampu bertahan hidup akibat tengah perebutan sumber daya. Mumpung Raperda RZWP3K dan RTWS belum ketok palu, pemerintah bisa mengakomodasinya.
Kedua, mengembangkan koperasi yang menjadi wadah perjuangan membangun ekonomi nelayan dan pembudidaya ikan agar nilai tambah usahanya meningkat dan memutus rantai tata niaga bisnis ikan yang mengurangi nilai surplusnya. Ketiga, mengembangkan kelembagaan pengelolaan perikanan bersama secara lokalitas di wilayah Teluk Jakarta. Keempat, menghentikan proyek reklamasi dan giant sea wall yang memperburuk kehidupan sosial ekonomi nelayan dan pembudidaya ikan hingga merusak ekologi serta sumber dayanya. Kelima, memosisikan mereka sebagai bagian integral dari strategi hak nasional atas pangan yang berbasis perikanan. Semoga!
Dosen Universitas Trilogi Jakarta/Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Terbitnya sertifikat hak guna bangunan (HGB) (Pulau C dan D) dan pencabutan moratorium reklamasi oleh Menteri Koordinator Kemaritiman (Kemenko Maritim) menimbulkan kontroversi. Pasalnya, pemerintah dan DPRD DKI Jakarta belum merampungkan dokumen Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) amanat Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K)No 1/2014, Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRWS) Pantai Utara Jakarta amanat UU Penataan Ruang No 26/2007, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) amanat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009, hingga UU Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam No 7/2016.
Keluarnya sertifikat dan pencabutan moratorium mengesankan pemerintah pusat memaksakan kehendak dan menabrak ketentuan tersebut di atas. Secara ekonomi politik, tindakan ini mendahului penetapan definitif Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta 2017-2022, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Padahal Anies-Sandi sepakat menolak melanjutkan reklamasi. Bukankah langkah pemerintah pusat ini mengerangkeng Anies Sandi sebelum resmi memangku jabatannya? Dalam paradigma politik ekologi, keluarnya sertifikat HGB dan pencabutan moratorium reklamasi sebagai bentuk perampasan ruang laut dan sumber dayanya kelautan Teluk Jakarta (Bennet, 2015).
Perampasan
Perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing) bukanlah hal baru dalam kelautan. Perampasan laut, pertama, tindakan "merampas hak masyarakat" pesisir dan pulau kecil untuk memanfaatkan, mengontrol, dan mengakses ruang laut (space) dan sumber daya (resources) termasuk yang terkandung di dalamnya. Kedua, dilakukan lewat proses tata kelola yang tidak wajar, melemahkan keamanan atau kehidupan umat manusia berakibat menurunnya kesejahteraan sosial masyarakat, dan memperparah kerusakan ekologi. Ketiga, dilakukan lembaga-lembaga publik, kelompok kepentingan individu, maupun institusi negara.
Perampasan terkait dua hal (i) sumber daya (resources) dan (ii) ruang (space). Sumber daya mencakup perikanan, ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun), dan plasma nutfah (genetik dan spesies). Ruang laut, yaitu permukaan, badan air, hingga dasar laut. Imbasnya, nelayan, pembudi daya ikan dan masyarakat adat hilang hak akses dan kelolanya (Bennet et al, 2015).
Meminjam pikiran Bennet et al (2015), reklamasi Teluk Jakarta termasuk bentuk perampasan laut, karena pertama, terjadi pemanfaatan ruang laut secara tertutup buat kepentingan pribadi; (ii) pengembangan daerah enclave di atas pulau reklamasi untuk wisata bahari (hotel, resort dan cottage ), tapi membatasi akses penduduk lokal/nelayan; (iii) menyewakan pulau reklamasi kepada berbagai pihak tertentu (termasuk asing), yang berpotensi mengancam eksistensi ketahanan nasional sembari meminggirkan nelayan dan pembudidaya ikan.
Kedua, terjadinya beragam pemanfaatan ruang laut dan pesisir secara tertutup sebagai areal bisnis, permukiman, dan perkantoran yang mematikan akses perikanan skala kecil dan pembudidaya ikan. Mereka terancam direlokasi hingga butuh proses beradaptasi dengan lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi yang baru. Mereka belum tentu bisa beraktivitas sebagai nelayan dan pembudidaya ikan seperti sediakala.
Penutupan ruang pesisir dan laut lewat sertifikasi dan pencabutan moratorium reklamasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), membuktikan pemerintah pusat mengalienasi dan mengusir pengguna ruang yang sebelumnya sudah memanfaatkannya daerah tersebut (baca: nelayan). Inilah bentuk distribusi ruang yang tidak adil. Masalahnya, Raperda RZWP3K, RTWS, dan AMDAL saja belum rampung, tapi pembangunan kembali dilanjutkan. Lantas apa yang mau diatur lewat kedua raperda tersebut? Bukankah keduanya mesti mengatur dan menata mana yang boleh dan tidak boleh?
Ketiga, perubahan rezim property right lewat, (i) privatisasi lahan pesisir yang sebelumnya hanya bisa melalui reforma agraria (UUPA No 5/1960). Bukankah pemberian sertifikat HGB pulau reklamasi telah mengubah rezim property right dari common property right menjadi private property right? (ii) Sertifikasi juga menghilangnya hak tenurial dalam pengelolaan perikanan hingga menutup hak mengambil/memanennya, (iii) pencabutan moratorium pulau C, D, dan juga G dengan dalih aturannya lengkap akan membatasi preferensi nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir mengakses wilayah tersebut yang awalnya berstatus milik bersama (common property area) dan terbuka (open acces).
Keempat, perubahan rezim "pengalokasian" ruang dan sumber daya. Reklamasi Teluk Jakarta telah mengubah rezim alokasi sumber daya kelautannya. Tak hanya bertentangan dengan UU PWP3K No 1/2014, UU Penataan Ruang No 26/2007, dan UUP2LH No 32/2009, tapi juga UU Pokok Agraria No 5/1960.
Kelima, perubahan rezim "pemanfaatan" ruang dan sumber daya menandai adanya pergeseran orientasi pemanfaatan dari aktivitas perikanan tangkap, budi daya laut, alur pelayaran, menjadi bisnis, perumahan, wisata, dan perkantoran. Imbasnya, mereka yang mengantungkan hidup dari semua aktivitas tersebut teralienasi dari habitusnya dan profesi tidak jelas.
Kebijakan
Nelayan tradisional dan pembudidaya ikan yang bermukim di pesisir Teluk Jakarta adalah rakyat Indonesia yang butuh ketenangan dan tetap melaut. Oleh karena itu, perlu kebijakan, pertama, menciptakan zona penangkapan perikanan skala kecil eksklusif bagi nelayan tradisional dan pembudidaya ikan hingga mereka mampu bertahan hidup akibat tengah perebutan sumber daya. Mumpung Raperda RZWP3K dan RTWS belum ketok palu, pemerintah bisa mengakomodasinya.
Kedua, mengembangkan koperasi yang menjadi wadah perjuangan membangun ekonomi nelayan dan pembudidaya ikan agar nilai tambah usahanya meningkat dan memutus rantai tata niaga bisnis ikan yang mengurangi nilai surplusnya. Ketiga, mengembangkan kelembagaan pengelolaan perikanan bersama secara lokalitas di wilayah Teluk Jakarta. Keempat, menghentikan proyek reklamasi dan giant sea wall yang memperburuk kehidupan sosial ekonomi nelayan dan pembudidaya ikan hingga merusak ekologi serta sumber dayanya. Kelima, memosisikan mereka sebagai bagian integral dari strategi hak nasional atas pangan yang berbasis perikanan. Semoga!
(zik)