TNI yang Terus Digoda
A
A
A
ISU mengenai politik militer kembali menghangat belakangan ini. Tidak jelas siapa yang memulainya. Namun, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo oleh banyak pihak dianggap berpolitik praktis. Tentu politik praktis bagi militer aktif dilarang keras bila merujuk pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Militer Indonesia harus menjelma menjadi tentara profesional.
Isu ini menjadi semakin menarik karena Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang relatif netral terkait keramaian tudingan militer berpolitik, menyampaikan pernyataan yang mengejutkan. Pada acara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-72 TNI, Presiden Jokowi yang menjadi inspektur upacara menyampaikan pesan Pahlawan Nasional Jenderal Sudirman tentang politik TNI dalam amanatnya.
“Saya ingat pesan Jenderal Sudirman tentang jati diri TNI yang saya yakin sangat relevan sampai sekarang. Bahwa politik tentara, politik negara, politik TNI adalah politik negara. Loyalitas TNI adalah loyalitas negara,” ucap Presiden Jokowi.
Uniknya, tak biasanya amanat Presiden sebagai inspektur upacara rupanya seperti dijawab oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam acara yang sama. “Pada saat yang sama, saya menegaskan pula bahwa politik TNI adalah politik negara. Politik yang diabdikan bagi tegak kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang di dalamnya terangkum ketaatan pada hukum, sikap yang selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan mana pun,” tegas Gatot dalam upacara tersebut.
Nama Panglima TNI sudah muncul dalam beberapa survei mengenai siapa saja calon presiden yang mungkin bertarung pada 2019. Sekalipun popularitasnya tinggi, elektabilitasnya masih di kisaran 2%. Banyak pihak yang menganggap itu angka yang belum signifikan untuk masuki bursa capres. Namun, survei lembaga KedaiKopi yang baru saja diluncurkan kemarin ternyata membuka sisi yang lain. Rupanya Panglima TNI cukup menjual namanya untuk dipasang sebagai calon wakil presiden (cawapres), lebih tepatnya cawapres untuk Presiden Jokowi. Angkanya mencapai 12%, di bawah Jusuf Kalla (15,3%) dan Prabowo Subianto (13,4%). Padahal, publik tahu bahwa Jusuf Kalla tak akan maju lagi, sedangkan Prabowo Subianto nyaris tak mungkin menjadi cawapres Jokowi.
Dengan politik Indonesia yang makin percaya pada hasil survei, tentu data tersebut bisa mengubah skema permainan politik yang dijalankan banyak pihak. Arena menjadi kian menarik ketika dalam sebuah diskusi politikus Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi mengamini bahwa figur Jenderal Gatot yang dekat dengan rakyat adalah figur yang menarik karena memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi sebagai cawapres. “Bapak Gatot Nurmantyo sebagai individu kiranya kalau dia mau pensiun, maka Golkar adalah rumah yang pantas buat dia,” ungkap Bobby. Godaan dari partai-partai lain bukan tak mungkin akan muncul.
Sebenarnya, kalau kita lihat lebih bijak lagi, situasi ini tidak menguntungkan bagi profesionalisasi militer dan penegakan supremasi sipil. Indonesianis William Liddle dalam studinya menegaskan ada empat kendala besar supremasi sipil dan profesionalisme militer sulit terwujud di Indonesia. Pertama, sikap pemimpin partai yang enggan menegakkan sendi-sendi supremasi sipil secara tegas. Mereka masih mengharapkan dukungan politik militer untuk masing-masing partai.
Kedua, secara keuangan tentara mandiri dan sangat tidak transparan mengenai keuangannya, serta negara hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari anggaran militer sehingga militer lebih otonom terhadap negara.
Ketiga, peran politik riil yang dimainkan oleh perwira TNI saat ini dalam bentuk komando teritorial (kini komando kewilayahan) yang mencakup skup terkecil administrasi birokrasi pemerintahan sipil dan mempunyai kekuatan intelijen yang tinggi.
Keempat, ada rasa kebanggaan tersendiri pada banyak anggota TNI yang membuatnya tak mudah untuk menyatu dengan sipil. Bahkan menurut Liddle, tidak mengherankan jika ada anggota TNI yang merasa tidak nyaman diperintah oleh sipil.
Agaknya fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa militer kian digoda dan mulai ada yang tergoda masuk politik praktis. Semoga fenomena ini tak merusak profesionalisme TNI.
Isu ini menjadi semakin menarik karena Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang relatif netral terkait keramaian tudingan militer berpolitik, menyampaikan pernyataan yang mengejutkan. Pada acara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-72 TNI, Presiden Jokowi yang menjadi inspektur upacara menyampaikan pesan Pahlawan Nasional Jenderal Sudirman tentang politik TNI dalam amanatnya.
“Saya ingat pesan Jenderal Sudirman tentang jati diri TNI yang saya yakin sangat relevan sampai sekarang. Bahwa politik tentara, politik negara, politik TNI adalah politik negara. Loyalitas TNI adalah loyalitas negara,” ucap Presiden Jokowi.
Uniknya, tak biasanya amanat Presiden sebagai inspektur upacara rupanya seperti dijawab oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam acara yang sama. “Pada saat yang sama, saya menegaskan pula bahwa politik TNI adalah politik negara. Politik yang diabdikan bagi tegak kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang di dalamnya terangkum ketaatan pada hukum, sikap yang selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan mana pun,” tegas Gatot dalam upacara tersebut.
Nama Panglima TNI sudah muncul dalam beberapa survei mengenai siapa saja calon presiden yang mungkin bertarung pada 2019. Sekalipun popularitasnya tinggi, elektabilitasnya masih di kisaran 2%. Banyak pihak yang menganggap itu angka yang belum signifikan untuk masuki bursa capres. Namun, survei lembaga KedaiKopi yang baru saja diluncurkan kemarin ternyata membuka sisi yang lain. Rupanya Panglima TNI cukup menjual namanya untuk dipasang sebagai calon wakil presiden (cawapres), lebih tepatnya cawapres untuk Presiden Jokowi. Angkanya mencapai 12%, di bawah Jusuf Kalla (15,3%) dan Prabowo Subianto (13,4%). Padahal, publik tahu bahwa Jusuf Kalla tak akan maju lagi, sedangkan Prabowo Subianto nyaris tak mungkin menjadi cawapres Jokowi.
Dengan politik Indonesia yang makin percaya pada hasil survei, tentu data tersebut bisa mengubah skema permainan politik yang dijalankan banyak pihak. Arena menjadi kian menarik ketika dalam sebuah diskusi politikus Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi mengamini bahwa figur Jenderal Gatot yang dekat dengan rakyat adalah figur yang menarik karena memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi sebagai cawapres. “Bapak Gatot Nurmantyo sebagai individu kiranya kalau dia mau pensiun, maka Golkar adalah rumah yang pantas buat dia,” ungkap Bobby. Godaan dari partai-partai lain bukan tak mungkin akan muncul.
Sebenarnya, kalau kita lihat lebih bijak lagi, situasi ini tidak menguntungkan bagi profesionalisasi militer dan penegakan supremasi sipil. Indonesianis William Liddle dalam studinya menegaskan ada empat kendala besar supremasi sipil dan profesionalisme militer sulit terwujud di Indonesia. Pertama, sikap pemimpin partai yang enggan menegakkan sendi-sendi supremasi sipil secara tegas. Mereka masih mengharapkan dukungan politik militer untuk masing-masing partai.
Kedua, secara keuangan tentara mandiri dan sangat tidak transparan mengenai keuangannya, serta negara hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari anggaran militer sehingga militer lebih otonom terhadap negara.
Ketiga, peran politik riil yang dimainkan oleh perwira TNI saat ini dalam bentuk komando teritorial (kini komando kewilayahan) yang mencakup skup terkecil administrasi birokrasi pemerintahan sipil dan mempunyai kekuatan intelijen yang tinggi.
Keempat, ada rasa kebanggaan tersendiri pada banyak anggota TNI yang membuatnya tak mudah untuk menyatu dengan sipil. Bahkan menurut Liddle, tidak mengherankan jika ada anggota TNI yang merasa tidak nyaman diperintah oleh sipil.
Agaknya fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa militer kian digoda dan mulai ada yang tergoda masuk politik praktis. Semoga fenomena ini tak merusak profesionalisme TNI.
(kri)