Angket di Gelanggang Konstitusionalisme
A
A
A
Margarito Kamis
Doktor Hukum Tata Negara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
JENGKEL atas sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak mau menyerahkan rekaman pemeriksaan salah satu saksi dalam kasus e-KTP atau motif lain yang lebih orisinil, angket pun bergelora. Hebatnya, KPK, lembaga hasil kreasi pembentuk UU; DPR dan Presiden pada tahun 2002, juga bergairah dengan sikapnya. Secara terbuka mereka mempersoalkan keabsahan konstitusional pansus ini. Panitia ini dinilai cukup hebat, tidak memiliki kewenangan menyelidiki KPK. KPK sembari bersandar pada opini ratusan ilmuwan, bukan objek dan fungsinya bukan subjek pansus angket.
DPR, entah karena tantangan KPK atau bukan, menarik juga menyambut tantangan itu, terus bekerja. Dua bulan sudah pansus bekerja dalam skema waktu yang tersedia secara konstitusional. Tetapi, sayup-sayup terdengar, pansus terpukau dengan keadilan. Demi keadilan, katanya, masa kerja pansus diperpanjang. Itulah rasionalitas, penuh potensi perdebatan atas keabsahan konstitusionalnya, rapat paripurna DPR tanggal 26 September yang baru saja berlalu, memutuskan memperpanjang masa kerjanya.
Teoretisasi
Berselisih mengenai maksud dari satu atau serangkaian teks hukum, dalam ilmu hukum, bukan barang aneh dan tak pantas diratapi. Teks hukum, sesuai tabiat dasarnya, tertakdir sebagai entitas tafsir untuk dikenali maksud sejatinya. Tafsir teks, dalam paham konstitusionalisme, telah lama teridentifikasi sebagai energi menyehatkan, bukan menyesatkan hukum.
Penolakan KPK untuk saat ini tidak memenuhi undangan Pansus Angket DPR sampai dengan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan pengujian pasal yang mengatur hak angket dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, MD3, sejujurnya tak beralasan dikerangkakan dalam skema pertempuran tuan dan hamba, khas kehidupan abad personalisasi hukum, tanpa konstitusi khas lensa modern. Pertempuran ini andai bisa disebut demikian, mungkin hanya sekadar sebagai penanda mekarnya kembang-kembang konstitusionalisme.
Kelak pada hari nanti pertempuran ini menghasilkan konstitusionalisme yang bisa jadi berwatak khas Indonesia atau sebaliknya merupakan transplantasi konstitusionalisme liberal khas Amerika. MK dalam kasus ini akan muncul sebagai penentu. Putusannya nanti dengan segala implikasi ideologis yang menyertainya, mungkin memunculkan teori baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Teori baru yang mungkin muncul kelak teridentifikasi sebagai teori konstitusi Indonesia, tak akan jauh dari tiga titik ekstrem ini. Pertama, organ negara yang menyandang status hukum ”independen” tidak bisa diawasi oleh dan atau berada di luar jangkauan kewenangan angket DPR. Sifat ”independen” sebuah organ negara yang diotorisasi pembentukannya oleh pembentuk UU, bukan oleh UUD 1945, membatasi dan atau mengesampingkan daya jangkau dan daya ikat hak angket DPR yang diatur dalam UUD 1945.
Kedua, organ negara yang berstatus hukum ”independen” sekalipun sepenuhnya berada dalam jangkauan angket DPR. Sifat independen, termasuk watak artifisial organ itu sebagai quasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sifat yang disematkan dalam tata negara liberal, bukan oleh undang-undang yang tidak membatasi daya jangkau dan daya ikat hak angket DPR.
Ketiga, andai angin sepoi-sepoi politik menerbangkan MK ke titik ekstrem pertama, bukan kedua, tentu dengan segenap argumen hukum, ratio decidendi, yang melandasinya, maka terpenggal untuk sebagian ilmu hukum tata negara Indonesia. UUD 1945 yang dalam ilmu hukum tata negara Indonesia berkapasitas hukum sebagai hukum tertinggi berisi prinsip-prinsip dasar yang memandu, menunjukkan arah dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, hilang justitifikasi dan validitas keilmuan dan hukumnya.
Liberalisasi Senyap
Hukum dan ilmu hukum dalam paham konstitusionalisme dengan sejarahnya yang panjang, teridentifikasi sebagai konsep-konsep tidak bias kultural, apalagi ideologis. Basis kultural dan ideologis konstitusionalisme untuk tak mengatakan konstitusi menandai fungsionalisasi nilai sebuah ruang menjadi pembeda atas hukum satu negeri dengan negeri lainnya. Hanya negara yang tak berharkat dan bermartabat saja yang gemar mencontoh, bahkan mengambil tipikal hukum negara lain.
Gempuran dahsyat korupsi tampak menjadi energi ilmuwan menenggelamkan impresi kultural. Pemberantasan korupsi, diam-diam menjadi epistemologi baru dalam ilmu hukum menggeser cita hukum, kaidah, dan nilai-nilai Pancasila, juga UUD 1945. Atas nama korupsi, semua predikat peradaban yang disematkan pada setiap orang sebagai makhluk berharkat dan bermartabat terasa menjijikkan, tak layak dianggap sebagai manusia, apalagi dimanusiakan.
Epistemologis berbasis kultur liberal disematkan, terbukalah KPK. Berstatus hukum independen, KPK dalam perspektif itu ditahbiskan sebagai organ yang berada di luar kontrol DPR melalui hak angketnya. Epistemologi ini menandai merajalelanya dalam kesenyapannya, peradaban liberal dalam lanskap konstitusionalisme berbasis Pancasila. Peradaban begitulah yang dimengerti, mengharuskan siapa pun orang, termasuk organ dalam satu negara, mengikatkan diri dalam hukum yang disepakati untuk tunduk dan patuh padanya. Tetapi, andai epistemologi liberal memenangkan pertempuran, maka lanskap peradaban hukum Indonesia diperkaya dengan konsep tidak semua organ negara terikat pada hukum, termasuk UUD 1945, hukum positif tertinggi Indonesia.
Menyebut KPK sebagai independent regulatory bodies, bukan executive agency, secara epistemologis bercita rasa tata negara liberal, Amerika. Amerika yang liberal itu merupakan negara yang pertama kali mengkreasi konsep ini. Konstitusionalisme mereka menunjuk regulatory bodies tidak hanya untuk organ bernama ”Komisi, tetapi juga Board.” Disebut regulatory bodies, begitulah deskripsi Michel E. Milakovich dan George J. Gordon, dua ilmuwan administrasi publik ini; karena independent regulatory bodies bekerja, dalam kata-katanya, under delegate legislative authority, exhibiting functional overlape dan being influence by political consideration.
Legislative authority tidak pernah lain selain membuat peraturan. Mengatur tidak bermakna lain selain dan hanya itu; membuat peraturan. Dalam kasus regulatory bodies, jangkauan peraturannya terbatas, sebatas mengatur urusan yang diotorisasi legislatif. Itulah rasionalitas ilmuwan atas regulatory bodies berwenang membuat sendiri aturan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, spesifik, yang diotorisasikan Congress.
Pada titik legislative authority itulah letak salah satu demarkasi epistemologis konstitusionalisme Amerika dengan Indonesia. Pembentukan UU dalam skema konstitusionalisme Amerika adalah kewenangan Congress. Presiden, dalam skema ini, hanya menyetujui atau menolak UU yang telah disahkan Congress. Berbeda dengan mereka, Indonesia atau Presiden tidak bisa menolak melaksanakan UU. Presiden Indonesia ikut membahas bersama dan menyetujui bersama DPR satu rancangan UU menjadi UU.
Menyifatkan KPK sebagai regulatory bodies karena kemandirian yang dimilikinya bukan tak bisa. Tetapi menyandarkan sifat itu pada perspektif regulatory bodies khas Amerika, jelas sekali lagi, mentransplantasi epistemologi tata negara Indonesia. Transplantasi epistemologis itu disadari atau tidak mengubah sifat ”mandiri” KPK menjadi mahkota, bahkan senjata yang melumpuhkan kaidah UUD 1945. Atas nama ”mandiri” mereka belum sudi memenuhi panggilan pansus DPR sampai MK membuat semuanya jelas.
Regulatory bodies Amerika, liberal, seluruh aspeknya memang manis. Semanis itu pula kerangka kerja konstitusionalisme pengisian jabatan Komisioner KPK. Dinominasikan oleh Presiden untuk mem-peroleh persetujuan DPR adalah cara mengisi jabatan komisioner KPK. Cara ini khas pengisian jabatan komisioner organ sejenis yang diawali praktik pada pengangkatan komisioner Interstate Commerce Commission (ICC), 1887 di Amerika.
Liberalisasi asal-asalan ini pasti akan terhenti dan Pancasila akan anggun sebagai cita hukum Indonesia bila kelak MK menyatakan dalam putusannya bahwa KPK adalah subjek angket. Begitu sebaliknya, liberalisasi ini menjadi anggun bila MK menyatakan KPK bukan subjek angket DPR. Pancasila mungkin tak merana hanya karena dilecehkan dengan sangat canggih, ilmiah, tetapi lanskap konstitusionalisme berbasis Pancasila dan UUD 1945 jelas mati suri untuk tak mengatakan mati kutu.
Doktor Hukum Tata Negara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
JENGKEL atas sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak mau menyerahkan rekaman pemeriksaan salah satu saksi dalam kasus e-KTP atau motif lain yang lebih orisinil, angket pun bergelora. Hebatnya, KPK, lembaga hasil kreasi pembentuk UU; DPR dan Presiden pada tahun 2002, juga bergairah dengan sikapnya. Secara terbuka mereka mempersoalkan keabsahan konstitusional pansus ini. Panitia ini dinilai cukup hebat, tidak memiliki kewenangan menyelidiki KPK. KPK sembari bersandar pada opini ratusan ilmuwan, bukan objek dan fungsinya bukan subjek pansus angket.
DPR, entah karena tantangan KPK atau bukan, menarik juga menyambut tantangan itu, terus bekerja. Dua bulan sudah pansus bekerja dalam skema waktu yang tersedia secara konstitusional. Tetapi, sayup-sayup terdengar, pansus terpukau dengan keadilan. Demi keadilan, katanya, masa kerja pansus diperpanjang. Itulah rasionalitas, penuh potensi perdebatan atas keabsahan konstitusionalnya, rapat paripurna DPR tanggal 26 September yang baru saja berlalu, memutuskan memperpanjang masa kerjanya.
Teoretisasi
Berselisih mengenai maksud dari satu atau serangkaian teks hukum, dalam ilmu hukum, bukan barang aneh dan tak pantas diratapi. Teks hukum, sesuai tabiat dasarnya, tertakdir sebagai entitas tafsir untuk dikenali maksud sejatinya. Tafsir teks, dalam paham konstitusionalisme, telah lama teridentifikasi sebagai energi menyehatkan, bukan menyesatkan hukum.
Penolakan KPK untuk saat ini tidak memenuhi undangan Pansus Angket DPR sampai dengan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan pengujian pasal yang mengatur hak angket dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, MD3, sejujurnya tak beralasan dikerangkakan dalam skema pertempuran tuan dan hamba, khas kehidupan abad personalisasi hukum, tanpa konstitusi khas lensa modern. Pertempuran ini andai bisa disebut demikian, mungkin hanya sekadar sebagai penanda mekarnya kembang-kembang konstitusionalisme.
Kelak pada hari nanti pertempuran ini menghasilkan konstitusionalisme yang bisa jadi berwatak khas Indonesia atau sebaliknya merupakan transplantasi konstitusionalisme liberal khas Amerika. MK dalam kasus ini akan muncul sebagai penentu. Putusannya nanti dengan segala implikasi ideologis yang menyertainya, mungkin memunculkan teori baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Teori baru yang mungkin muncul kelak teridentifikasi sebagai teori konstitusi Indonesia, tak akan jauh dari tiga titik ekstrem ini. Pertama, organ negara yang menyandang status hukum ”independen” tidak bisa diawasi oleh dan atau berada di luar jangkauan kewenangan angket DPR. Sifat ”independen” sebuah organ negara yang diotorisasi pembentukannya oleh pembentuk UU, bukan oleh UUD 1945, membatasi dan atau mengesampingkan daya jangkau dan daya ikat hak angket DPR yang diatur dalam UUD 1945.
Kedua, organ negara yang berstatus hukum ”independen” sekalipun sepenuhnya berada dalam jangkauan angket DPR. Sifat independen, termasuk watak artifisial organ itu sebagai quasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sifat yang disematkan dalam tata negara liberal, bukan oleh undang-undang yang tidak membatasi daya jangkau dan daya ikat hak angket DPR.
Ketiga, andai angin sepoi-sepoi politik menerbangkan MK ke titik ekstrem pertama, bukan kedua, tentu dengan segenap argumen hukum, ratio decidendi, yang melandasinya, maka terpenggal untuk sebagian ilmu hukum tata negara Indonesia. UUD 1945 yang dalam ilmu hukum tata negara Indonesia berkapasitas hukum sebagai hukum tertinggi berisi prinsip-prinsip dasar yang memandu, menunjukkan arah dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, hilang justitifikasi dan validitas keilmuan dan hukumnya.
Liberalisasi Senyap
Hukum dan ilmu hukum dalam paham konstitusionalisme dengan sejarahnya yang panjang, teridentifikasi sebagai konsep-konsep tidak bias kultural, apalagi ideologis. Basis kultural dan ideologis konstitusionalisme untuk tak mengatakan konstitusi menandai fungsionalisasi nilai sebuah ruang menjadi pembeda atas hukum satu negeri dengan negeri lainnya. Hanya negara yang tak berharkat dan bermartabat saja yang gemar mencontoh, bahkan mengambil tipikal hukum negara lain.
Gempuran dahsyat korupsi tampak menjadi energi ilmuwan menenggelamkan impresi kultural. Pemberantasan korupsi, diam-diam menjadi epistemologi baru dalam ilmu hukum menggeser cita hukum, kaidah, dan nilai-nilai Pancasila, juga UUD 1945. Atas nama korupsi, semua predikat peradaban yang disematkan pada setiap orang sebagai makhluk berharkat dan bermartabat terasa menjijikkan, tak layak dianggap sebagai manusia, apalagi dimanusiakan.
Epistemologis berbasis kultur liberal disematkan, terbukalah KPK. Berstatus hukum independen, KPK dalam perspektif itu ditahbiskan sebagai organ yang berada di luar kontrol DPR melalui hak angketnya. Epistemologi ini menandai merajalelanya dalam kesenyapannya, peradaban liberal dalam lanskap konstitusionalisme berbasis Pancasila. Peradaban begitulah yang dimengerti, mengharuskan siapa pun orang, termasuk organ dalam satu negara, mengikatkan diri dalam hukum yang disepakati untuk tunduk dan patuh padanya. Tetapi, andai epistemologi liberal memenangkan pertempuran, maka lanskap peradaban hukum Indonesia diperkaya dengan konsep tidak semua organ negara terikat pada hukum, termasuk UUD 1945, hukum positif tertinggi Indonesia.
Menyebut KPK sebagai independent regulatory bodies, bukan executive agency, secara epistemologis bercita rasa tata negara liberal, Amerika. Amerika yang liberal itu merupakan negara yang pertama kali mengkreasi konsep ini. Konstitusionalisme mereka menunjuk regulatory bodies tidak hanya untuk organ bernama ”Komisi, tetapi juga Board.” Disebut regulatory bodies, begitulah deskripsi Michel E. Milakovich dan George J. Gordon, dua ilmuwan administrasi publik ini; karena independent regulatory bodies bekerja, dalam kata-katanya, under delegate legislative authority, exhibiting functional overlape dan being influence by political consideration.
Legislative authority tidak pernah lain selain membuat peraturan. Mengatur tidak bermakna lain selain dan hanya itu; membuat peraturan. Dalam kasus regulatory bodies, jangkauan peraturannya terbatas, sebatas mengatur urusan yang diotorisasi legislatif. Itulah rasionalitas ilmuwan atas regulatory bodies berwenang membuat sendiri aturan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, spesifik, yang diotorisasikan Congress.
Pada titik legislative authority itulah letak salah satu demarkasi epistemologis konstitusionalisme Amerika dengan Indonesia. Pembentukan UU dalam skema konstitusionalisme Amerika adalah kewenangan Congress. Presiden, dalam skema ini, hanya menyetujui atau menolak UU yang telah disahkan Congress. Berbeda dengan mereka, Indonesia atau Presiden tidak bisa menolak melaksanakan UU. Presiden Indonesia ikut membahas bersama dan menyetujui bersama DPR satu rancangan UU menjadi UU.
Menyifatkan KPK sebagai regulatory bodies karena kemandirian yang dimilikinya bukan tak bisa. Tetapi menyandarkan sifat itu pada perspektif regulatory bodies khas Amerika, jelas sekali lagi, mentransplantasi epistemologi tata negara Indonesia. Transplantasi epistemologis itu disadari atau tidak mengubah sifat ”mandiri” KPK menjadi mahkota, bahkan senjata yang melumpuhkan kaidah UUD 1945. Atas nama ”mandiri” mereka belum sudi memenuhi panggilan pansus DPR sampai MK membuat semuanya jelas.
Regulatory bodies Amerika, liberal, seluruh aspeknya memang manis. Semanis itu pula kerangka kerja konstitusionalisme pengisian jabatan Komisioner KPK. Dinominasikan oleh Presiden untuk mem-peroleh persetujuan DPR adalah cara mengisi jabatan komisioner KPK. Cara ini khas pengisian jabatan komisioner organ sejenis yang diawali praktik pada pengangkatan komisioner Interstate Commerce Commission (ICC), 1887 di Amerika.
Liberalisasi asal-asalan ini pasti akan terhenti dan Pancasila akan anggun sebagai cita hukum Indonesia bila kelak MK menyatakan dalam putusannya bahwa KPK adalah subjek angket. Begitu sebaliknya, liberalisasi ini menjadi anggun bila MK menyatakan KPK bukan subjek angket DPR. Pancasila mungkin tak merana hanya karena dilecehkan dengan sangat canggih, ilmiah, tetapi lanskap konstitusionalisme berbasis Pancasila dan UUD 1945 jelas mati suri untuk tak mengatakan mati kutu.
(mhd)