Angket di Gelanggang Konstitusionalisme

Kamis, 05 Oktober 2017 - 08:25 WIB
Angket di Gelanggang...
Angket di Gelanggang Konstitusionalisme
A A A
Margarito Kamis
Doktor Hukum Tata Negara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

JENGKEL atas sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak mau menyerahkan rekaman peme­rik­sa­an salah satu saksi dalam kasus e-KTP atau motif lain yang lebih orisinil, angket pun bergelora. Hebatnya, KPK, lem­b­aga hasil kreasi pembentuk UU; DPR dan Presiden pada tahun 2002, juga bergairah de­ngan sikapnya. Se­cara terbuka mereka mem­per­soalkan ke­absahan konstitusio­nal pansus ini. Panitia ini dinilai cukup hebat, tidak memiliki kewe­nang­an menyelidiki KPK. KPK sembari bersandar pada opini ratusan ilmuwan, bukan objek dan fungsinya bukan subjek pansus angket.

DPR, entah karena tan­tang­an KPK atau bukan, menarik juga menyambut tantangan itu, terus bekerja. Dua bulan sudah pansus bekerja dalam skema waktu yang tersedia secara konstitusional. Tetapi, sayup-sayup terdengar, pansus ter­pukau dengan ke­adilan. Demi keadilan, katanya, masa kerja pansus diperpanjang. Itulah rasionalitas, penuh po­tensi perdebatan atas keabsahan konstitusionalnya, rapat pari­purna DPR tanggal 26 Sep­tem­ber yang baru saja berlalu, me­mutuskan memperpanjang masa kerjanya.

Teoretisasi
Berselisih mengenai mak­sud dari satu atau serangkaian teks hukum, dalam ilmu hukum, bukan barang aneh dan tak pantas diratapi. Teks hukum, se­suai tabiat dasarnya, tertakdir sebagai entitas tafsir untuk di­kenali maksud sejatinya. Tafsir teks, dalam paham konstitu­sionalisme, telah lama ter­iden­tifikasi sebagai energi menye­hat­kan, bukan menyesatkan hukum.

Penolakan KPK untuk saat ini tidak memenuhi undangan Pansus Angket DPR sampai dengan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan pengujian pasal yang mengatur hak angket dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, MD3, se­jujurnya tak beralasan di­ke­rang­kakan dalam skema per­tempur­an tuan dan hamba, khas ke­hidupan abad per­sonal­isasi hu­kum, tanpa konstitusi khas lensa modern. Pertem­pur­an ini andai bisa disebut de­mi­kian, mungkin hanya sekadar sebagai penanda mekarnya kembang-kembang konstitusionalisme.

Kelak pada hari nanti per­tempuran ini menghasilkan konstitusionalisme yang bisa jadi berwatak khas Indonesia atau sebaliknya merupakan transplantasi konstitusionalisme liberal khas Amerika. MK dalam kasus ini akan muncul sebagai penentu. Putusannya nanti dengan segala implikasi ideologis yang menyertainya, mungkin memunculkan teori baru dalam kehidupan ke­tata­negaraan Indonesia.

Teori baru yang mungkin muncul kelak teridentifikasi sebagai teori konstitusi Indonesia, tak akan jauh dari tiga titik ekstrem ini. Pertama, organ negara yang menyandang status hukum ”independen” tidak bisa diawasi oleh dan atau ber­ada di luar jangkauan ke­wenangan angket DPR. Sifat ”independen” sebuah organ negara yang diotorisasi pem­bentukannya oleh pembentuk UU, bukan oleh UUD 1945, mem­batasi dan atau menge­sampingkan daya jangkau dan daya ikat hak angket DPR yang diatur dalam UUD 1945.

Kedua, organ negara yang berstatus hukum ”independen” sekalipun sepenuhnya berada dalam jangkauan angket DPR. Sifat independen, termasuk wa­tak artifisial organ itu sebagai quasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sifat yang disemat­kan dalam tata negara liberal, bukan oleh undang-undang yang tidak membatasi daya jangkau dan daya ikat hak angket DPR.

Ketiga, andai angin sepoi-sepoi politik menerbangkan MK ke titik ekstrem pertama, bukan kedua, tentu dengan segenap argumen hukum, ratio decidendi, yang melandasinya, maka terpenggal untuk sebagi­an ilmu hukum tata negara Indonesia. UUD 1945 yang dalam ilmu hukum tata negara Indonesia berkapasitas hukum sebagai hukum tertinggi berisi prinsip-prinsip dasar yang me­mandu, menunjukkan arah dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, hilang justitifi­kasi dan validitas keilmuan dan hukumnya.

Liberalisasi Senyap
Hukum dan ilmu hukum dalam paham konstitusional­isme dengan sejarahnya yang panjang, teridentifikasi sebagai konsep-konsep tidak bias kultural, apalagi ideologis. Basis kultural dan ideologis kon­stitusionalisme untuk tak me­ngatakan konstitusi menandai fungsionalisasi nilai sebuah ruang menjadi pembeda atas hukum satu negeri dengan ne­geri lainnya. Hanya negara yang tak berharkat dan bermartabat saja yang gemar mencontoh, bahkan mengambil tipikal hu­kum negara lain.

Gempuran dahsyat korupsi tampak menjadi energi ilmu­wan menenggelamkan impresi kultural. Pemberantasan ko­rup­si, diam-diam menjadi epistemologi baru dalam ilmu hukum menggeser cita hukum, kaidah, dan nilai-nilai Panca­sila, juga UUD 1945. Atas nama korupsi, semua predikat per­adaban yang disematkan pada setiap orang sebagai makhluk berharkat dan bermartabat te­rasa menjijikkan, tak layak dianggap sebagai manusia, apa­lagi dimanusiakan.

Epistemologis berbasis kul­tur liberal disematkan, ter­buka­lah KPK. Berstatus hukum inde­penden, KPK dalam perspektif itu ditahbiskan sebagai organ yang berada di luar kontrol DPR melalui hak angketnya. Epistemologi ini menandai merajalelanya dalam kesenyap­annya, peradaban liberal dalam lanskap konstitusionalisme berbasis Pancasila. Peradaban begitulah yang dimengerti, mengharuskan siapa pun orang, termasuk organ dalam satu negara, mengikatkan diri dalam hukum yang disepakati untuk tunduk dan patuh pada­nya. Tetapi, andai epistemologi liberal memenangkan pertem­puran, maka lanskap per­adab­an hukum Indonesia diperkaya dengan konsep tidak semua organ negara terikat pada hu­kum, termasuk UUD 1945, hu­kum positif tertinggi Indonesia.

Menyebut KPK sebagai independent regulatory bodies, bukan executive agency, secara epistemologis bercita rasa tata negara liberal, Amerika. Ame­rika yang liberal itu merupakan negara yang pertama kali meng­kreasi konsep ini. Kon­stitu­sionalisme mereka menunjuk regulatory bodies tidak hanya untuk organ bernama ”Komisi, tetapi juga Board.” Disebut regulatory bodies, begitulah des­kripsi Michel E. Milakovich dan George J. Gordon, dua ilmuwan administrasi publik ini; karena independent regulatory bodies bekerja, dalam kata-katanya, under delegate legislative authority, exhibiting functional overlape dan being influence by political consideration.

Legislative authority tidak pernah lain selain membuat per­aturan. Mengatur tidak ber­makna lain selain dan hanya itu; membuat peraturan. Dalam ka­sus regulatory bodies, jangkauan peraturannya terbatas, sebatas mengatur urusan yang di­oto­risasi legislatif. Itulah rasiona­litas ilmuwan atas regulatory bodies berwenang membuat sendiri aturan untuk me­nye­leng­garakan urusan peme­rin­tahan, spesifik, yang diotorisasi­kan Congress.

Pada titik legislative authority itulah letak salah satu demarkasi epistemologis konstitusional­isme Amerika dengan Indo­nesia. Pembentukan UU dalam skema konstitusionalisme Amerika adalah kewenangan Congress. Presiden, dalam skema ini, ha­nya menyetujui atau menolak UU yang telah disahkan Congress. Berbeda dengan mereka, Indo­nesia atau Presiden tidak bisa menolak melaksanakan UU. Presiden Indonesia ikut mem­bahas bersama dan menyetujui bersama DPR satu rancangan UU menjadi UU.

Menyifatkan KPK sebagai regulatory bodies karena ke­man­dirian yang dimilikinya bukan tak bisa. Tetapi menyandarkan sifat itu pada perspektif regulatory bodies khas Amerika, jelas sekali lagi, mentransplantasi episte­mologi tata negara Indonesia. Transplantasi epistemologis itu disadari atau tidak mengubah sifat ”mandiri” KPK menjadi mahkota, bahkan senjata yang melumpuhkan kaidah UUD 1945. Atas nama ”mandiri” mereka belum sudi memenuhi panggilan pansus DPR sampai MK membuat semuanya jelas.

Regulatory bodies Amerika, liberal, seluruh aspeknya me­mang manis. Semanis itu pula kerangka kerja konstitusio­nal­isme pengisian jabatan Komisioner KPK. Dino­minasi­kan oleh Presiden untuk mem-peroleh persetujuan DPR ada­lah cara mengisi jabatan komisioner KPK. Cara ini khas pengisian jabatan komisioner organ sejenis yang diawali praktik pada peng­angkatan komisioner Interstate Commerce Commission (ICC), 1887 di Amerika.

Liberalisasi asal-asalan ini pasti akan terhenti dan Panca­sila akan anggun sebagai cita hukum Indonesia bila kelak MK menyatakan dalam putusan­nya bahwa KPK adalah subjek angket. Begitu sebaliknya, libe­ralisasi ini menjadi anggun bila MK menyatakan KPK bukan subjek angket DPR. Pancasila mungkin tak merana hanya ka­rena dilecehkan dengan sa­ngat canggih, ilmiah, tetapi lanskap konstitusionalisme berbasis Pancasila dan UUD 1945 jelas mati suri untuk tak mengata­kan mati kutu.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0505 seconds (0.1#10.140)