Eks Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur Dituntut Lima Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, Dwi Widodo dengan hukuman lima tahun penjara.
Jaksa yang dipimpin Ahmad Burhanudin dengan anggota di antaranya Arif Suhermanto, Andhi Kurniawan, dan Dame Maria Silaban menilai Dwi Widodo selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPN) pada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM serta sebagai Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur (2013-2016) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima suap.
Suap yang diterima Dwi berasal dari sekitar delapan pemberi dengan nilai uang tunai Rp524,35 juta, voucher hotel Rp10.807.102, dan 63.500 ringgit Malaysia.
Suap diterima secara tunai, transfer rekening atas nama Dwi, dan rekening atas nama anaknya, Satria Dwi Ananda.
Suap dengan sandi ucapan terima kasih tersebut sehubungan dengan pengurusan calling visa para warga negara asing (WNA) dan pembuatan paspor untuk para TKI dengan metode reach out.
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menjatuhkan putusan dengan amar, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dwi Widodo berupa pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan," tutur Jaksa Arif Suhermanto saat membacakan amar tuntutan atas nama Dwi, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/10/2017).
Jaksa meyakini perbuatan Dwi terbukti sesuai Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama.
Jaksa Arif melanjutkan, atas perbuatannya maka JPU juga menuntut Dwi dengan pembayaran uang pengganti yang sama dengan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi.
"Sebesar Rp535.157.102 dan 27.400 ringgit Malaysia, dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam satu bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita JPU dan dapat dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut," tutur Arif.
Menyikapi tuntutan JPU tersebut, Dwi Widodo dan tim penasihat hukumnya akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi).
Majelis hakim lantas memutuskan persidangan dengan agenda pleidoi akan dilangsungkan pada Rabu 11 Oktober mendatang.
Jaksa yang dipimpin Ahmad Burhanudin dengan anggota di antaranya Arif Suhermanto, Andhi Kurniawan, dan Dame Maria Silaban menilai Dwi Widodo selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPN) pada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM serta sebagai Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur (2013-2016) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima suap.
Suap yang diterima Dwi berasal dari sekitar delapan pemberi dengan nilai uang tunai Rp524,35 juta, voucher hotel Rp10.807.102, dan 63.500 ringgit Malaysia.
Suap diterima secara tunai, transfer rekening atas nama Dwi, dan rekening atas nama anaknya, Satria Dwi Ananda.
Suap dengan sandi ucapan terima kasih tersebut sehubungan dengan pengurusan calling visa para warga negara asing (WNA) dan pembuatan paspor untuk para TKI dengan metode reach out.
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menjatuhkan putusan dengan amar, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dwi Widodo berupa pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan," tutur Jaksa Arif Suhermanto saat membacakan amar tuntutan atas nama Dwi, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/10/2017).
Jaksa meyakini perbuatan Dwi terbukti sesuai Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama.
Jaksa Arif melanjutkan, atas perbuatannya maka JPU juga menuntut Dwi dengan pembayaran uang pengganti yang sama dengan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi.
"Sebesar Rp535.157.102 dan 27.400 ringgit Malaysia, dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam satu bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita JPU dan dapat dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut," tutur Arif.
Menyikapi tuntutan JPU tersebut, Dwi Widodo dan tim penasihat hukumnya akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi).
Majelis hakim lantas memutuskan persidangan dengan agenda pleidoi akan dilangsungkan pada Rabu 11 Oktober mendatang.
(dam)