Khazanah Keluhuran Bangsa

Senin, 02 Oktober 2017 - 06:36 WIB
Khazanah Keluhuran Bangsa
Khazanah Keluhuran Bangsa
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

DALAM kurang lebih setengah abad terakhir ini orang-orang baik di negeri kita mengeluh dengan perasaan pilu, ‘ngenes’, dan duka karena merasa kita tak punya lagi pemimpin yang layak menjadi teladan bagi orang banyak.

Orang-orang baik itu adalah warga negara kita pada umumnya, yang bisa disebut ”concerned citizens” karena punya ketulusan sungguh-sungguh untuk memikirkan kehidupan bangsanya.

Ketika rakyat susah, mereka juga susah. Ketika kehidupan tampak murung, mereka bertanya-tanya mengapa. Mereka resah melihat situasi politik dan terutama tingkah laku politik para pemimpin yang kelihatannya selalu sibuk, tapi tak jelas bagi kita, mereka itu sibuk melakukan apa dan apa hasilnya.

Kecuali itu ada golongan orang-orang baik lainnya, yaitu kaum intelektual. Mereka him­punan dari kaum seniman, rohaniwan, ilmuwan, penulis, peneliti, wartawan, aktivis, dan golongan lainnya yang bisa disebut penjaga suara roh kehidupan bangsanya.

Orang-orang ini risau melihat gejala --baru sekadar gejala-- bakal terjadinya suatu kericuhan. Apalagi kericuhan betul-betul terjadi dan memakan korban orang-orang biasa yang hidupnya belum pernah tersentuh rasa adil dan wujud kemakmuran yang hingga kini masih tetap sebuah cita-cita.

Para penjaga suara roh itu memiliki nama dan julukan khusus: concerned intellectuals. Ini orang-orang yang tak pernah bisa tinggal diam begitu saja melihat gejala ketidakadilan terjadi di masyarakat. Mereka sendiri bukan orang-orang yang secara ekonomi hidup makmur. Meskipun begitu, mereka senantiasa merasa terpanggil untuk turut serta menyelesaikan keruwetan yang terjadi di dalam kehidupan kita.

Mereka selalu menjadi bagian dari orang-orang yang dengan baik dan penuh tanggung jawab menyelesaikan keruwetan itu. Ini golongan pemimpin yang tak memegang secara resmi tampuk kepemimpinan di dalam masyarakat.

Ini juga teladan bagi orang banyak. Mereka ini bisa juga disebut bagian dari himpunan khazanah intelektual, tradisi akademik, dan rohaniah, milik bangsa kita.

Mereka ini penerus tradisi agung itu. Mereka juga berperan sekaligus menjaga ‘rumah’ rohani kita semua. Jadi jelas kita bukan bangsa tak lagi memiliki pemimpin yang bisa menjadi teladan orang banyak. Jika teladan yang masih hidup dianggap kurang, kita bisa menengok sejarah.

Apa yang direkam dalam sejarah bangsa kita merupakan kekayaan sumber kepemimpinan secara metaforis kita sebut suri teladan yang tak pernah mati.

Kita tak mengidealisasikan model keteladanan. Tiap orang, bahkan termasuk teladan, pun memiliki kekurangan. Mereka yang kita sebut teladan bukanlah manusia tanpa kekurangan, bukan tokoh tanpa cacat.

Mereka bukan dewa-dewa agung dalam mitologi Yunani maupun Jawa. Meskipun begitu, ada yang kita buat menjadi seolah-olah mutlak: keluhuran tingkah laku mereka itu yang kini wajib kita tulis dengan tinta emas untuk menjadi bacaan kita sehari-hari.

Dunia ketentaraan kita memiliki Jenderal Sudirman. Dengan meneladani beliau, ke­hidupan ketentaraan kita kurang lebih bisa disebut hebat. Kita ibaratnya tinggal ‘me­reproduksi’ dan mengapitalisasi keluhuran tokoh yang dengan hangat kita sebut Pak Dirman itu. Sudah cukup.

Tentara sebagai lembaga maupun sebagai kekuatan pasukan memiliki kekayaan yang merupa­kan warisan untuk kita di zaman sekarang. Namun, di mana posisi Pak Dirman dalam percaturan politik militer sekarang?

Adakah di dalamnya ‘suara’ atau ‘semangat’ berbau Pak Dirman? Beliau memiliki keluhuran yang menempatkan tentara semangat profesional yang tak boleh tergoda oleh pengaruh politik praktis.

Politik tentara merupakan bagian dari politik kenegaraan --mungkin ‘high politic' -- yang merawat dengan baik-- sebaik-baiknya profesionalisme tersebut. Di sini kebesaran jiwa dan sikap kesatria dunia ketentaraan kita tak tergores sedikit pun.

Namun, bagaimana jika bahkan kalangan elite ketentaraan menyimpang dari ‘panduan’ etis dan profesional itu? Untuk apa penyimpangan itu dilakukan? Apalagi penyimpangan itu tidak sekadar membawa risiko pribadi dan terbatas pada pelakunya, melainkan menimbulkan keresahan meluas di masyarakat dan membelah --lebih tepat memecah belah--kesadaran ideo­logis bangsa kita?

Apakah kalangan tentara tidak tercoreng oleh ulah politik orang seperti itu? Apakah ini bukan sebuah provokasi yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan maupun NKRI yang digelorakan sebagai harga mati? Ini bukan cermin khazanah keluhuran dunia ketentaraan, bukan pula cermin khazanah keluhuran bangsa kita yang mengutamakan rasa tenteram dan damai.

Kita memiliki banyak jenderal yang pernah menjabat dengan ‘frame’ besar dan kanvas besar pemikiran serta sikap politiknya, jelas merupakan cerminan khazanah keluhuran tentara. Mengapa sekarang ini tak dijadikan tradisi yang layak kita luhurkan dalam politik kita?

Apa yang sekarang ini kita saksikan dalam tingkah laku politik elite ketentaraan kita merupakan potret buram politik ketentaraan nasional kita. Saya menganggap hal ini memalukan para senior. Lebih luas lagi menjadi fenomena politik yang begitu mengenaskan bagi bangsa sehingga tak layak dikenang.

Dunia kepolisian kita punya tokoh sebesar Pak Dirman yang semua kita mengenalnya: Pak Hoegeng. Tokoh ini pun tak sepenuhnya menjadi acuan sikap profesional maupun politik di dunia kepolisian. Banyak, sejak lama, polisi yang menodai warisan jiwa dan semangat Pak Hoegeng.

Namun, belakangan ini publik terkagum-kagum melihat tampilnya seorang jenderal polisi yang lain dari jenderal-jenderal polisi pada umumnya. Kita tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Kita hanya mensyukuri dan mendoakan supaya orang baik, polisi baik, dan jenderal baik ini, bisa menjadi kiblat polisi di seluruh negeri.

Dia pun sebetulnya tak begitu sama dengan Pak Hoegeng. Ada kekhasan dan ciri independen dalam dirinya untuk menampilkan watak profesional dengan sikap dan loyalitas pada nilai dan semangat kebangsaan kita. Ini istimewa. Dan juga bisa--jelas bisa--menjadi tokoh teladan kita.

Sekali lagi, barang siapa mengeluh bahwa kita tak memiliki lagi teladan, ini keluhan keliru. Teladan bukan hanya apa yang agung dan mulia sebagaimana contoh dalam mitologi kepahlawanan kita. Teladan tulen ada dalam hidup kita sehari-hari. Apa yang tampaknya rutin dan mungkin agak membosankan harus dilihat dalam perspektif moral politik yang inspiratif.

Dalam kehidupan sehari-hari mitologi kita dibikin mati. Apa yang agung dalam mitologi kita ganti dengan yang lain. Kita hidupkan teladan dalam sejarah hari ini. Kita kapitalisasi kemuliaan politik yang berkembang pada hari ini oleh tokoh hari ini demi pengabdian hidupnya pada bangsa kita hari ini pula.

Ini semua teladan. Ini bukan hanya bagian dari suatu diskursus politik yang melegakan dan memberi cara pandang yang enak, melainkan lebih dari itu. Ini sikap hidup dan tingkah laku politik riil, nyata, bukan barang dibuat-buat dan dipalsukan, bu­kan usaha membangun citra yang tak kita perlukan.

Demi kejujuran yang kita junjung tinggi bersama, ini corak paling otentik, nyata --karena hidup di tengah kita-- dari apa yang kita sebut khazanah keluhuran bangsa tadi. Kita gembira melihat ‘roh’ seperti ini hidup di tengah kita. Kita bersyukur bahwa bangsa kita ini tak dipimpin hanya oleh kaum politisi yang seolah tengah mabuk dan kehilangan orientasi hidup yang jelas.

Di dunia politik --apa boleh buat--’roh’ macam itu tak ada lagi. Tapi Alhamdulillah, di tempat lain, juga di kepolisian, masih kita temukan. Ini roh keluhuran bangsa yang kita rindukan.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5920 seconds (0.1#10.140)