Gaduh TNI-Polri dan Persepsi Rasa Aman
A
A
A
GADUH antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengenai senjata-senjata jenis tertentu yang dimiliki Polri menjadi bumbu yang tak sedap dalam kehidupan bernegara kita.
Di saat kita membutuhkan seluruh energi untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, justru stabilitas yang telah mulai dikuatkan terusik.
Masalah seperti ini, kalaupun ada seharusnya bukanlah menjadi konsumsi publik. Akan sangat elok jika bisa diselesaikan di level elite politik negeri ini. Mengingat TNI dan Polri sama-sama ada di bawah Presiden Republik Indonesia, sudah selayaknya masalah ini diselesaikan bersama di bawah arahan Presiden.
Tentu saran ini bukan bermaksud menjadikan makin banyak keputusan negara yang diambil dalam ruang tertutup, melainkan menghindari potensi ekses negatif yang mungkin muncul ketika masalah ketegangan seperti ini muncul ke publik.
Kita semua tahu bahwa saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur yang dana asing menjadi salah satu faktor pentingnya.
Minimal ada dua prasyarat dana asing untuk masuk suatu negara, yaitu investasinya menguntungkan serta investasinya aman. Bayangkan apa yang akan dipersepsikan oleh para investor asing ketika melihat TNI dan Polri sebagai dua institusi penegak pertahanan dan keamanan seperti dalam situasi “perang dingin” dan saling sindir. Bahkan sesekali muncul istilah-istilah yang tidak elok.
Selain infrastruktur, salah satu gacoan utama penarik devisa pada pemerintahan Jokowi-JK ini adalah sektor pariwisata. Negeri ini sedang sibuk-sibuknya bersolek untuk mendatangkan wisatawan mancanegara untuk menghabiskan waktu dan uang liburannya di negeri ini.
Beberapa event sudah dilaksanakan dan beberapa lainnya disiapkan untuk menggapai target sektor pariwisata sebagai penghasil devisa utama pada tahun 2019. Bahkan gelaran akbar Asian Games 2018 sudah di depan mata akan digelar tahu depan.
Bayangkan apa yang akan muncul di pikiran para calon turis ke negeri ini ketika membaca berita bahwa ada bibit-bibit ketidakakuran antara TNI-Polri. Apalagi mayoritas turis kita masih dari negara-negara di Eropa Barat, Asia Timur, dan Amerika Utara yang mayoritas institusi kepolisian dan militernya ada di bawah koordinasi kementerian dan relatif minim friksi.
Memang, aturan perundang-undangan Indonesia belum sempurna di sektor pertahanan dan keamanan ini. Kedua lembaga sektor pertahanan keamanan ini sejak reformasi memang diniatkan untuk ada di bawah kementerian, tetapi tampaknya jalan untuk itu masih panjang.
Alhasil kadang kala koordinasi dengan kementerian agak sulit karena baik TNI maupun Polri ada di level yang sejajar dengan kementerian. Arsitektur aturan di UU Nomor 2/2002 dan UU Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia membuat friksi terkait kewenangan hingga hal yang detail seperti spesifikasi senjata sangat mungkin untuk terjadi.
Kalau ada yang bertanya kenapa setelah reformasi, hubungan tentara dan polisi kadang kala diwarnai friksi, maka perlu untuk menengok kedua dasar hukumnya tersebut.
Di sini Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla harus bersuara dengan jelas. Keduanya harus secepatnya memberhentikan kegaduhan yang berdampak tidak baik bagi program-program pembangunannya.
DPR pun juga harus bisa menjadi pihak yang mengklarifikasi dengan jernih. Kita semua mafhum bahwa DPR adalah lembaga politik yang diisi dengan berbagai kepentingan politik, tetapi untuk masalah yang satu ini, kesampingkan dulu kepentingan itu, kedepankan kepentingan bangsa.
Semua masalah pembelian senjata ini kalau ditempuh dengan jalan yang konstitusional, pasti akan lewat persetujuan ke meja DPR dulu. DPR tinggal mengklarifikasi kebenarannya. Jangan sampai pekerjaan baik yang telah dilakukan Jokowi-JK terganggu oleh gaduh yang tak perlu.
Di saat kita membutuhkan seluruh energi untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, justru stabilitas yang telah mulai dikuatkan terusik.
Masalah seperti ini, kalaupun ada seharusnya bukanlah menjadi konsumsi publik. Akan sangat elok jika bisa diselesaikan di level elite politik negeri ini. Mengingat TNI dan Polri sama-sama ada di bawah Presiden Republik Indonesia, sudah selayaknya masalah ini diselesaikan bersama di bawah arahan Presiden.
Tentu saran ini bukan bermaksud menjadikan makin banyak keputusan negara yang diambil dalam ruang tertutup, melainkan menghindari potensi ekses negatif yang mungkin muncul ketika masalah ketegangan seperti ini muncul ke publik.
Kita semua tahu bahwa saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur yang dana asing menjadi salah satu faktor pentingnya.
Minimal ada dua prasyarat dana asing untuk masuk suatu negara, yaitu investasinya menguntungkan serta investasinya aman. Bayangkan apa yang akan dipersepsikan oleh para investor asing ketika melihat TNI dan Polri sebagai dua institusi penegak pertahanan dan keamanan seperti dalam situasi “perang dingin” dan saling sindir. Bahkan sesekali muncul istilah-istilah yang tidak elok.
Selain infrastruktur, salah satu gacoan utama penarik devisa pada pemerintahan Jokowi-JK ini adalah sektor pariwisata. Negeri ini sedang sibuk-sibuknya bersolek untuk mendatangkan wisatawan mancanegara untuk menghabiskan waktu dan uang liburannya di negeri ini.
Beberapa event sudah dilaksanakan dan beberapa lainnya disiapkan untuk menggapai target sektor pariwisata sebagai penghasil devisa utama pada tahun 2019. Bahkan gelaran akbar Asian Games 2018 sudah di depan mata akan digelar tahu depan.
Bayangkan apa yang akan muncul di pikiran para calon turis ke negeri ini ketika membaca berita bahwa ada bibit-bibit ketidakakuran antara TNI-Polri. Apalagi mayoritas turis kita masih dari negara-negara di Eropa Barat, Asia Timur, dan Amerika Utara yang mayoritas institusi kepolisian dan militernya ada di bawah koordinasi kementerian dan relatif minim friksi.
Memang, aturan perundang-undangan Indonesia belum sempurna di sektor pertahanan dan keamanan ini. Kedua lembaga sektor pertahanan keamanan ini sejak reformasi memang diniatkan untuk ada di bawah kementerian, tetapi tampaknya jalan untuk itu masih panjang.
Alhasil kadang kala koordinasi dengan kementerian agak sulit karena baik TNI maupun Polri ada di level yang sejajar dengan kementerian. Arsitektur aturan di UU Nomor 2/2002 dan UU Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia membuat friksi terkait kewenangan hingga hal yang detail seperti spesifikasi senjata sangat mungkin untuk terjadi.
Kalau ada yang bertanya kenapa setelah reformasi, hubungan tentara dan polisi kadang kala diwarnai friksi, maka perlu untuk menengok kedua dasar hukumnya tersebut.
Di sini Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla harus bersuara dengan jelas. Keduanya harus secepatnya memberhentikan kegaduhan yang berdampak tidak baik bagi program-program pembangunannya.
DPR pun juga harus bisa menjadi pihak yang mengklarifikasi dengan jernih. Kita semua mafhum bahwa DPR adalah lembaga politik yang diisi dengan berbagai kepentingan politik, tetapi untuk masalah yang satu ini, kesampingkan dulu kepentingan itu, kedepankan kepentingan bangsa.
Semua masalah pembelian senjata ini kalau ditempuh dengan jalan yang konstitusional, pasti akan lewat persetujuan ke meja DPR dulu. DPR tinggal mengklarifikasi kebenarannya. Jangan sampai pekerjaan baik yang telah dilakukan Jokowi-JK terganggu oleh gaduh yang tak perlu.
(dam)