Hantu PKI
A
A
A
Firman Noor
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
DALAM paragraf awal the Communist Manifesto tertulis ”A specter is haunting Europe-the specter of Communism”. Kalimat itu mengisyaratkan bahwa komunisme akan selalu menghantui kehidupan manusia, hingga kediktatoran proletariat yang didambakan oleh Marx and Engels itu muncul dan berkuasa. Saat ini lebih dari seabad ”Hantu Komunisme” melakukan penampakan lagi dan membuat riak kecil keributan di antara anak bangsa.
Untuk yang kesekian kali, komunisme, yang direpresentasikan oleh PKI, kembali membelah bangsa, setidaknya dalam level opini. Masing-masing pihak yang beropini merasa apa yang dilakukannya benar. Sayang riak yang ada itu cenderung membawa pada beragam efek yang sebenarnya tidak perlu. Apakah memang sepatutnya demikian kita sebagai bangsa yang dewasa ini bersikap?
Waspada Tanpa Berlebihan
Adalah sebuah kewajaran (dan bahkan keharusan) bagi sebuah bangsa harus untuk selalu waspada dan memetik pelajaran sungguh-sungguh atas yang telah terjadi di masa lampau, terutama pelajaran yang melahirkan kegetiran yang mendalam. Sejarah pengkhianatan partai adalah salah satunya. PKI mengisyaratkan kemampuan sebuah partai kader untuk dapat tumbuh kembali dan melakukan tindakan ”spektakuler”.
Dalam jangka waktu kurang dari sepuluh tahun setelah melakukan pemberontakan pada 1948, dan menjadi amat tercerai-berai, partai ini mampu masuk empat besar dalam Pemilu 1955 dengan mendapatkan dukungan lebih 6 juta pemilih. PKI menjadi partai terkuat di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah, dengan kemenangan di beberapa pemilihan lokal tidak lama sesudahnya dan disebut sebagai partai komunis terbesar di dunia yang ada di luar negara-negara komunis.
Kemampuan untuk resiliensi (bertahan) dan bangkit kembali adalah salah satu hal pelajaran berharga dari keberadaan partai ini. Apalagi ideologi itu tidak pernah benar-benar mati. Dan peperangan, menurut beberapa kalangan, kerap tidak membawa sebuah kekalahan total bagi yang kalah, melainkan sekadar transformasi menuju bentuk baru.
Namun di sisi lain, adalah juga keharusan bagi bangsa yang dewasa untuk mampu belajar lebih arif dari sejarah guna semakin matang dalam menghadapi hidup di masa sekarang. Sehubungan dengan itu, beranggapan PKI akan bangkit kembali saat ini (atau dalam waktu dekat) dan menyamai apa yang terjadi di masa lalu adalah sebuah pandangan yang berlebihan.
Untuk dapat mengulang di masa-masa kejayaannya, PKI dan pendukungnya harus memiliki kebebasan bergerak yang dibolehkan oleh pemerintah. Artinya, PKI diizinkan memiliki struktur dan infrastruktur organisasi yang memadai, yang menyebar ke seluruh pelosok bangsa dan beraktivitas layaknya se-buah organisasi yang legal. Kemudian PKI harus diizinkan untuk ikut dalam pemilu. Ke-nyataannya saat ini (dan di masa-masa datang) hal itu sulit terjadi.
Problem bagi PKI adalah komunisme merupakan ideologi yang bangkrut. Sulit bagi kader-kadernya untuk menawarkan ideologi yang meyakini bahwa institusi keluarga itu tidak penting bahkan layak dihapuskan (abolition of the family), sebagaimana yang tertulis jelas dalam communist manifesto. Juga amat sulit menawarkan pandangan kepada para pemilih bahwa negara-bangsa, dengan kata lain NKRI, adalah sesuatu yang tidak perlu dipertahankan, sebagaimana yang juga tertulis jelas dalam kitab suci kaum komunis itu bahwa ”...the Communists are further approached with desiring to abolish country and nationality.”
Juga amat sulit meyakinkan kepada masyarakat banyak bahwa mereka tidak perlu lagi memiliki modal usaha individual, karena setiap orang sudah punya keperluan masing-masing yang ditaksir oleh negara adalah sama. Selain itu akan sulit pula untuk memastikan bahwa mereka tidak akan memberontak untuk ke sekian kalinya berikut cara-cara teror dan kekerasan di dalam-nya, sebagaimana yang diyakini para ”nabi komunis” semacam Lenin atau Mao.
Apalagi PKI jelas-jelas bertentangan dengan seluruh nilai dalam Pancasila. Tidak saja ber-tentangan dengan sila
Ketuhanan, namun juga Kemanusiaan, di mana membunuh atas dasar kepentingan komunisme adalah sah. Tidak saja memiliki masalah dalam sila Persatuan, karena semangat comintern (”internasionalisme”) dan infiltrasi untuk memecah belah sebagai strategi pokoknya, namun juga dengan sila Keadilan Sosial karena memasukkan manusia hanya dalam satu kelas (melawan satu kelas yang lain) adalah awal dari ketidakadilan. Bagaimana dengan sila Musyawarah? Tentu saja juga bermasalah, karena obsesi kaum komunis adalah menciptakan kediktatoran.
Perkembangan dunia saat ini tidak menunjukkan sebuah tanda-tanda kebangkitan. Rezim-rezim yang masih mengklaim sebagai penganut Marxisme dan turunannya telah bertransformasi, sebagiannya dengan mengadopsi kapitalisme, dengan residu pelanggaran HAM yang amat tinggi dan antidemokrasi. Sebagian lainnya menjadi rezim yang hakikatnya sebuah kerajaan yang diklaim sebagai saintifik/ilmiah dan mandiri meski nyata-nyata irasional, bangkrut dan kelaparan. Pengalaman penulis berkunjung di bekas wilayah Jerman Timur menunjukkan komunisme adalah tinggal kenangan (kelam) masa lalu yang setiap orang tidak ingin mengulanginya.
Kesemuanya jelas bukan contoh-contoh yang mengasyikkan untuk ditawarkan bagi para calon pemilih. Singkatnya baik dari aspek ideologis maupun praksis PKI dewasa ini sulit untuk menggugah, apalagi menjadi berkuasa di negara Pancasila ini.
Indonesia Tanpa Diskriminasi
Sekarang adalah tinggal bagaimana bangsa ini tidak berkubang pada diskriminasi kepada para keturunan kaum komunis. Apakah mereka bisa memilih menjadi keturunan siapa? Jika bisa, bolehlah kita mewaspadainya dengan seketat-ketatnya. Menyematkan ”dosa turunan” pada mereka yang tidak berdosa adalah dosa tersendiri. Memang betul bahwa secara teori agen sosialisasi yang paling ampuh dalam membentuk pola pikir dan watak adalah orang tua. Namun, hal itu tidak terjadi dengan serta-merta dan sama sekali tidak dapat dipukul rata.
Kenyataannya banyak sekali mereka yang berbeda anutan atau pun pola pikir dengan orang tuanya. Para pejuang demokrasi yang membebaskan Eropa dari Polandia hingga Uni Soviet dari gurita komunisme adalah jelas anak-cucu kaum komunis. Penulis meyakini bahwa seseorang itu hendaknya lebih dilihat dari siapa dirinya, bukan keturunan siapa.
Di sisi lain, persoalan diskriminasi juga harus berlaku bagi semua kalangan. Tidaklah mungkin diskriminasi hanya berlaku bagi sebagian dan tidak untuk sebagian lainnya. Dalam hal ini, sikap mereka yang kritis terhadap PKI juga tetap harus dihargai. Adalah hak mereka untuk tetap meyakini hal itu dan menyampaikan pandangan-pandangannya di ranah publik. Dalam alam demokrasi, sikap-sikap semacam ini sah adanya.
Sehubungan dengan itu semua, ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam merespons potensi keterbelahan anak bangsa terkait dengan komunisme. Pertama, melakukan pendidikan yang terbuka (open minded), termasuk menjelaskan apa itu ideologi komunis, dan memaparkan secara jujur peran maupun kerusakan apa yang telah dilakukan kaum komunis bagi bangsa ini.
Perlakukan Amerika Serikat terhadap pendukung Konfederasi dapat menjadi contoh bagaimana pengampunan terhadap para pemberontak itu berlangsung menyeluruh dan penuh dengan kebesaran hati, berkelindan dengan semangat menghormati kenyataan sejarah secara objektif.
Kedua, sikap tidak menghubungkan pandangan terhadap komunisme atau PKI dengan pemerintah. Hal yang patut disayangkan saat ini adalah adanya upaya mengait-ngaitkan mereka yang pro dan kontra terhadap komunis sebagai pro dan kontra terhadap pemerintah. Pandangan simplistis ini tidak saja mengaburkan inti persoalan, yakni membuat bangsa menjadi semakin dewasa dalam menarik pelajaran dari kenyataan sejarahnya, tetapi juga memanaskan situasi.
Ketiga, pembuktian yang konsisten dari mereka yang mengklaim antikomunis, bahwa mereka dapat diharapkan menjadi pilar-pilar yang kukuh dalam urusan membela keadilan dan menjadi kekuatan progresif bagi peningkatan harkat dan martabat bangsa. Generasi milenial yang akan berkiprah di masa datang bukanlah generasi yang mudah dininabobokan oleh cerita-cerita masa lalu, melainkan sebuah bukti nyata yang dapat mereka rasakan.
Dan keempat, terus menciptakan akselerasi peningkatan kesejahteraan dan menuntaskan kemiskinan bagi seluruh manusia Indonesia. Adanya kesejahteraan yang baik akan membuat raison díetre hantu yang disebut sebagai komunisme itu menjadi semakin meredup dan tidak relevan.
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
DALAM paragraf awal the Communist Manifesto tertulis ”A specter is haunting Europe-the specter of Communism”. Kalimat itu mengisyaratkan bahwa komunisme akan selalu menghantui kehidupan manusia, hingga kediktatoran proletariat yang didambakan oleh Marx and Engels itu muncul dan berkuasa. Saat ini lebih dari seabad ”Hantu Komunisme” melakukan penampakan lagi dan membuat riak kecil keributan di antara anak bangsa.
Untuk yang kesekian kali, komunisme, yang direpresentasikan oleh PKI, kembali membelah bangsa, setidaknya dalam level opini. Masing-masing pihak yang beropini merasa apa yang dilakukannya benar. Sayang riak yang ada itu cenderung membawa pada beragam efek yang sebenarnya tidak perlu. Apakah memang sepatutnya demikian kita sebagai bangsa yang dewasa ini bersikap?
Waspada Tanpa Berlebihan
Adalah sebuah kewajaran (dan bahkan keharusan) bagi sebuah bangsa harus untuk selalu waspada dan memetik pelajaran sungguh-sungguh atas yang telah terjadi di masa lampau, terutama pelajaran yang melahirkan kegetiran yang mendalam. Sejarah pengkhianatan partai adalah salah satunya. PKI mengisyaratkan kemampuan sebuah partai kader untuk dapat tumbuh kembali dan melakukan tindakan ”spektakuler”.
Dalam jangka waktu kurang dari sepuluh tahun setelah melakukan pemberontakan pada 1948, dan menjadi amat tercerai-berai, partai ini mampu masuk empat besar dalam Pemilu 1955 dengan mendapatkan dukungan lebih 6 juta pemilih. PKI menjadi partai terkuat di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah, dengan kemenangan di beberapa pemilihan lokal tidak lama sesudahnya dan disebut sebagai partai komunis terbesar di dunia yang ada di luar negara-negara komunis.
Kemampuan untuk resiliensi (bertahan) dan bangkit kembali adalah salah satu hal pelajaran berharga dari keberadaan partai ini. Apalagi ideologi itu tidak pernah benar-benar mati. Dan peperangan, menurut beberapa kalangan, kerap tidak membawa sebuah kekalahan total bagi yang kalah, melainkan sekadar transformasi menuju bentuk baru.
Namun di sisi lain, adalah juga keharusan bagi bangsa yang dewasa untuk mampu belajar lebih arif dari sejarah guna semakin matang dalam menghadapi hidup di masa sekarang. Sehubungan dengan itu, beranggapan PKI akan bangkit kembali saat ini (atau dalam waktu dekat) dan menyamai apa yang terjadi di masa lalu adalah sebuah pandangan yang berlebihan.
Untuk dapat mengulang di masa-masa kejayaannya, PKI dan pendukungnya harus memiliki kebebasan bergerak yang dibolehkan oleh pemerintah. Artinya, PKI diizinkan memiliki struktur dan infrastruktur organisasi yang memadai, yang menyebar ke seluruh pelosok bangsa dan beraktivitas layaknya se-buah organisasi yang legal. Kemudian PKI harus diizinkan untuk ikut dalam pemilu. Ke-nyataannya saat ini (dan di masa-masa datang) hal itu sulit terjadi.
Problem bagi PKI adalah komunisme merupakan ideologi yang bangkrut. Sulit bagi kader-kadernya untuk menawarkan ideologi yang meyakini bahwa institusi keluarga itu tidak penting bahkan layak dihapuskan (abolition of the family), sebagaimana yang tertulis jelas dalam communist manifesto. Juga amat sulit menawarkan pandangan kepada para pemilih bahwa negara-bangsa, dengan kata lain NKRI, adalah sesuatu yang tidak perlu dipertahankan, sebagaimana yang juga tertulis jelas dalam kitab suci kaum komunis itu bahwa ”...the Communists are further approached with desiring to abolish country and nationality.”
Juga amat sulit meyakinkan kepada masyarakat banyak bahwa mereka tidak perlu lagi memiliki modal usaha individual, karena setiap orang sudah punya keperluan masing-masing yang ditaksir oleh negara adalah sama. Selain itu akan sulit pula untuk memastikan bahwa mereka tidak akan memberontak untuk ke sekian kalinya berikut cara-cara teror dan kekerasan di dalam-nya, sebagaimana yang diyakini para ”nabi komunis” semacam Lenin atau Mao.
Apalagi PKI jelas-jelas bertentangan dengan seluruh nilai dalam Pancasila. Tidak saja ber-tentangan dengan sila
Ketuhanan, namun juga Kemanusiaan, di mana membunuh atas dasar kepentingan komunisme adalah sah. Tidak saja memiliki masalah dalam sila Persatuan, karena semangat comintern (”internasionalisme”) dan infiltrasi untuk memecah belah sebagai strategi pokoknya, namun juga dengan sila Keadilan Sosial karena memasukkan manusia hanya dalam satu kelas (melawan satu kelas yang lain) adalah awal dari ketidakadilan. Bagaimana dengan sila Musyawarah? Tentu saja juga bermasalah, karena obsesi kaum komunis adalah menciptakan kediktatoran.
Perkembangan dunia saat ini tidak menunjukkan sebuah tanda-tanda kebangkitan. Rezim-rezim yang masih mengklaim sebagai penganut Marxisme dan turunannya telah bertransformasi, sebagiannya dengan mengadopsi kapitalisme, dengan residu pelanggaran HAM yang amat tinggi dan antidemokrasi. Sebagian lainnya menjadi rezim yang hakikatnya sebuah kerajaan yang diklaim sebagai saintifik/ilmiah dan mandiri meski nyata-nyata irasional, bangkrut dan kelaparan. Pengalaman penulis berkunjung di bekas wilayah Jerman Timur menunjukkan komunisme adalah tinggal kenangan (kelam) masa lalu yang setiap orang tidak ingin mengulanginya.
Kesemuanya jelas bukan contoh-contoh yang mengasyikkan untuk ditawarkan bagi para calon pemilih. Singkatnya baik dari aspek ideologis maupun praksis PKI dewasa ini sulit untuk menggugah, apalagi menjadi berkuasa di negara Pancasila ini.
Indonesia Tanpa Diskriminasi
Sekarang adalah tinggal bagaimana bangsa ini tidak berkubang pada diskriminasi kepada para keturunan kaum komunis. Apakah mereka bisa memilih menjadi keturunan siapa? Jika bisa, bolehlah kita mewaspadainya dengan seketat-ketatnya. Menyematkan ”dosa turunan” pada mereka yang tidak berdosa adalah dosa tersendiri. Memang betul bahwa secara teori agen sosialisasi yang paling ampuh dalam membentuk pola pikir dan watak adalah orang tua. Namun, hal itu tidak terjadi dengan serta-merta dan sama sekali tidak dapat dipukul rata.
Kenyataannya banyak sekali mereka yang berbeda anutan atau pun pola pikir dengan orang tuanya. Para pejuang demokrasi yang membebaskan Eropa dari Polandia hingga Uni Soviet dari gurita komunisme adalah jelas anak-cucu kaum komunis. Penulis meyakini bahwa seseorang itu hendaknya lebih dilihat dari siapa dirinya, bukan keturunan siapa.
Di sisi lain, persoalan diskriminasi juga harus berlaku bagi semua kalangan. Tidaklah mungkin diskriminasi hanya berlaku bagi sebagian dan tidak untuk sebagian lainnya. Dalam hal ini, sikap mereka yang kritis terhadap PKI juga tetap harus dihargai. Adalah hak mereka untuk tetap meyakini hal itu dan menyampaikan pandangan-pandangannya di ranah publik. Dalam alam demokrasi, sikap-sikap semacam ini sah adanya.
Sehubungan dengan itu semua, ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam merespons potensi keterbelahan anak bangsa terkait dengan komunisme. Pertama, melakukan pendidikan yang terbuka (open minded), termasuk menjelaskan apa itu ideologi komunis, dan memaparkan secara jujur peran maupun kerusakan apa yang telah dilakukan kaum komunis bagi bangsa ini.
Perlakukan Amerika Serikat terhadap pendukung Konfederasi dapat menjadi contoh bagaimana pengampunan terhadap para pemberontak itu berlangsung menyeluruh dan penuh dengan kebesaran hati, berkelindan dengan semangat menghormati kenyataan sejarah secara objektif.
Kedua, sikap tidak menghubungkan pandangan terhadap komunisme atau PKI dengan pemerintah. Hal yang patut disayangkan saat ini adalah adanya upaya mengait-ngaitkan mereka yang pro dan kontra terhadap komunis sebagai pro dan kontra terhadap pemerintah. Pandangan simplistis ini tidak saja mengaburkan inti persoalan, yakni membuat bangsa menjadi semakin dewasa dalam menarik pelajaran dari kenyataan sejarahnya, tetapi juga memanaskan situasi.
Ketiga, pembuktian yang konsisten dari mereka yang mengklaim antikomunis, bahwa mereka dapat diharapkan menjadi pilar-pilar yang kukuh dalam urusan membela keadilan dan menjadi kekuatan progresif bagi peningkatan harkat dan martabat bangsa. Generasi milenial yang akan berkiprah di masa datang bukanlah generasi yang mudah dininabobokan oleh cerita-cerita masa lalu, melainkan sebuah bukti nyata yang dapat mereka rasakan.
Dan keempat, terus menciptakan akselerasi peningkatan kesejahteraan dan menuntaskan kemiskinan bagi seluruh manusia Indonesia. Adanya kesejahteraan yang baik akan membuat raison díetre hantu yang disebut sebagai komunisme itu menjadi semakin meredup dan tidak relevan.
(rhs)