Harapan pada Hakim Agung Baru

Selasa, 19 September 2017 - 08:10 WIB
Harapan pada Hakim Agung Baru
Harapan pada Hakim Agung Baru
A A A
M Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR



RABU
(13/9/2017) malam, dalam pleno Komisi 3 DPR RI, seluruh anggotanya se­cara aklamasi menyetujui lima calon hakim agung yang di­usul­­k­an Komisi Yudisial (KY). Per­setuju­an tersebut tentu bagaikan darah segar yang disuntikkan ke tubuh Mahkamah Agung.

Selama ham­pir setahun ini wajah per­adilan kita diguncang isu suap yang melibatkan hakim dan panitera. Sontak saja publik menjadi ragu dengan reformasi di tubuh lembaga yang dijuluki ”Wakil Tuhan” di muka bumi ini. Karena itu, lima hakim agung terpilih tersebut harus menjadi batu bata yang kuat guna mengokoh­kan rumah besar peradilan kita.

Mereka yang ”beruntung” men­jadi ha­kim agung terpilih ter­sebut ada­lah Gazalba Saleh (non­karier/pidana), Muhammad Yunus Wahab (karier/perdata), Yasar­din (karier/agama), Yodi Mar­tono Mahyunadi (karier/TUN), dan Hidayat Manao (karier/militer).

Secara ketatanegaraan, per­setujuan DPR tersebut tidak hanya sebagai ritual men­jalan­kan kewajiban yang diatur da­lam konstitusi, khususnya Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, me­lain­k­an memiliki makna filosofis yang lebih dalam yaitu ke­dau­lat­an rakyat. Itu artinya per­setujuan DPR terhadap calon hakim agung adalah persetuju­an dari rakyat sehingga orien­tasi hakim agung baru dalam menegakkan keadilan dan hu­kum haruslah senafas dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan de­mi­kian, ada keseimbangan antara konsep negara hukum (rechstaat) dan konsep ke­daulat­an rakyat (demokrasi). Karena itu, hakim agung baru jangan sampai sekedar la bouce de la loi (corong undang-undang), me­lainkan harus men­cer­minkan keadilan progresif yaitu meng­ikuti perkem­bang­an rasa ke­adilan masyarakat se­bagai­­mana mereka janji­kan saat fit and proper test.

Harapan Baru
Dengan melihat per­kem­bang­an dunia per­adil­an saat ini, banyak harapan yang tersemat pada hakim agung baru ter­sebut. Setidaknya ada empat ha­rapan yang semoga dapat direalisasikan oleh mereka.

Per­tama, hakim agung yang baru diharapkan dapat me­nguatkan pembinaan per­sonel Mah­kamah Agung sebagai insti­tusi pe­nye­leng­gara kekua­sa­an ke­hakim­an yang mem­bawahi lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap hakim dan pani­tera di Bengkulu belum lama ini menjadi salah satu indikator pembinaan hakim-hakim di Mahkamah Agung be­lum ber­jalan dengan baik.

Apa­lagi jika melihat kasus Nurhadi dan Rohadi (baca pegawai MA yang bukan hakim, namun memiliki kekayaan fantastis yang tidak sesuai dengan profil pen­dapat­an yang diperoleh), menun­juk­kan bahwa masih terdapat oknum pegawai-pegawai di Mah­kamah Agung yang ber­prilaku korup dan memper­main­kan proses ad­mi­ni­strasi perkara. Kehadiran hakim agung baru harus dapat mem­perkuat pembinaan dan peng­awasan terhadap hakim mau­pun pegawai di lingkungan Mahkamah Agung.

Kerja sama dengan Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan ke­hormatan, keluhuran mar­tabat, dan perilaku hakim-ha­kim harus ditingkatkan. Selain itu, harus juga diben­tuk sistem dan budaya kerja untuk para pegawai Mahkamah Agung yang berstatus non­hakim se­hingga tidak menjadi bagian dari mafia peradilan yang akan merobohkan ke­wibawa­an Mah­kamah Agung.

Kedua, para hakim agung baru harus mampu menjawab persoalan menurunnya Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) 2016 sebesar 0,01 poin yang dikeluarkan oleh Indonesia Legal Roundtable (ILR) pada awal bulan ini. Nilai indeks yang sebelumnya berada pada angka 5,32 pada 2015, turun ke angka 5,31 pada 2016. Padahal, sejak lima tahun lalu indeks terus meningkat, yakni sebesar 4,56 pada 2012.

Kemudian mening­kat menjadi 5,12 pada 2013 dan menjadi 5,18 pada 2014 hingga 5,32 pada 2015. Salah satu indikator prinsip yang diukur adalah independensi kekuasaan kehakiman, nilai skornya 5,74 dengan nilai indeksnya 1,44. Tahun lalu (2015) nilai indeks­nya 1,48, artinya ada penurunan 0,04 poin. Berdasarkan INHI tersebut, para hakim agung baru dituntut un­tuk merespons dan mem­per­baiki kinerja ke­kua­saan kehakiman se­hingga da­pat menjadi lebih baik lagi.

Ketiga, hakim agung baru harus juga semakin mem­per­kuat indepen­densi Mahkamah Agung di tengah-tengah banyak kasus yang berkaitan lang­sung dengan ke­kua­sa­an. Apalagi men­j­elang tahun politik 2018 de­ngan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak dan 2019 dengan pemilih­an pre­siden (pilpres) dan pemilihan anggota legis­latif (pileg) secara seren­tak pula akan banyak persoalan-persoalan politik di masyarakat yang dibawa ke pengadilan.

Hari ini saja banyak terjadi saling lapor akibat ujar­an kebencian yang mengemuka baik secara langsung di tengah-tengah ma­syarakat maupun me­lalui me­dia sosial. Tidak dapat dipung­kiri, hal tersebut ber­kaitan erat dengan per­sing­gungan politik yang sedang di­helat.

Karena itu, para hakim harus mampu men­jaga inde­pen­densi dan impar­sialitasnya, khususnya dari pengaruh kekuasaan sehingga keadilan hukum tetap dapat ditegakkan. Dengan demikian, ketertiban akan dapat terjaga, masyarakat liar (savvage society) sebagai aki­bat social disorder akan dapat di­tekan karena ada kese­im­bang­­an keadilan yang ditegak­kan oleh pengadilan.

Keempat, para hakim agung baru selain menjaga indepen­densi peradilan (independency of judiciary), juga harus menun­juk­kan sisi akuntabilitas per­adilan (judicial accountability) sebagai pasangannya. Akun­tabilitas per­adilan tersebut di­butuhkan agar setiap keadilan yang di­putuskan oleh Mah­ka­mah Agung dapat diper­tang­gung­jawabkan baik kepada pelaku dan korban maupun bagi ma­syarakat luas pada umum­nya.

Akhirnya hakim agung baru harus dapat memberi warna baru guna menghindari roboh­nya pilar-pilar Mahkamah Agung agar menjadi institusi peradilan yang agung. Hakim agung baru tidak sekadar melengkapi formasi 60 orang hakim agung, apalagi jika hanya didasari motivasi me­ngejar karier tertinggi sebagai hakim disertai gaji dan fasilitas yang serbamewah sebagai pe­jabat tinggi negara.

Mereka harus menyadari bahwa men­jadi hakim agung tetap men­junjung tinggi intelegensi. Judicial disrection bagi seorang hakim di dalam memutuskan perkara ditentukan oleh ke­mampuan cendekia dan ke­mauan belajar ditambah dengan pengala­man­nya serta didukung oleh mora­litas yang tidak di­ragu­kan. Dengan judicial disrection yang dimiliki, hakim akan mampu untuk mene­mu­kan hukum (rechtvinding) dan menciptakan hukum (rechtsschepping) se­hing­ga penegakan hukum dan ke­adil­an serta kewibawaan per­adilan dapat diwujudkan.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6390 seconds (0.1#10.140)