Harapan pada Hakim Agung Baru
A
A
A
M Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR
RABU (13/9/2017) malam, dalam pleno Komisi 3 DPR RI, seluruh anggotanya secara aklamasi menyetujui lima calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial (KY). Persetujuan tersebut tentu bagaikan darah segar yang disuntikkan ke tubuh Mahkamah Agung.
Selama hampir setahun ini wajah peradilan kita diguncang isu suap yang melibatkan hakim dan panitera. Sontak saja publik menjadi ragu dengan reformasi di tubuh lembaga yang dijuluki ”Wakil Tuhan” di muka bumi ini. Karena itu, lima hakim agung terpilih tersebut harus menjadi batu bata yang kuat guna mengokohkan rumah besar peradilan kita.
Mereka yang ”beruntung” menjadi hakim agung terpilih tersebut adalah Gazalba Saleh (nonkarier/pidana), Muhammad Yunus Wahab (karier/perdata), Yasardin (karier/agama), Yodi Martono Mahyunadi (karier/TUN), dan Hidayat Manao (karier/militer).
Secara ketatanegaraan, persetujuan DPR tersebut tidak hanya sebagai ritual menjalankan kewajiban yang diatur dalam konstitusi, khususnya Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, melainkan memiliki makna filosofis yang lebih dalam yaitu kedaulatan rakyat. Itu artinya persetujuan DPR terhadap calon hakim agung adalah persetujuan dari rakyat sehingga orientasi hakim agung baru dalam menegakkan keadilan dan hukum haruslah senafas dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, ada keseimbangan antara konsep negara hukum (rechstaat) dan konsep kedaulatan rakyat (demokrasi). Karena itu, hakim agung baru jangan sampai sekedar la bouce de la loi (corong undang-undang), melainkan harus mencerminkan keadilan progresif yaitu mengikuti perkembangan rasa keadilan masyarakat sebagaimana mereka janjikan saat fit and proper test.
Harapan Baru
Dengan melihat perkembangan dunia peradilan saat ini, banyak harapan yang tersemat pada hakim agung baru tersebut. Setidaknya ada empat harapan yang semoga dapat direalisasikan oleh mereka.
Pertama, hakim agung yang baru diharapkan dapat menguatkan pembinaan personel Mahkamah Agung sebagai institusi penyelenggara kekuasaan kehakiman yang membawahi lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap hakim dan panitera di Bengkulu belum lama ini menjadi salah satu indikator pembinaan hakim-hakim di Mahkamah Agung belum berjalan dengan baik.
Apalagi jika melihat kasus Nurhadi dan Rohadi (baca pegawai MA yang bukan hakim, namun memiliki kekayaan fantastis yang tidak sesuai dengan profil pendapatan yang diperoleh), menunjukkan bahwa masih terdapat oknum pegawai-pegawai di Mahkamah Agung yang berprilaku korup dan mempermainkan proses administrasi perkara. Kehadiran hakim agung baru harus dapat memperkuat pembinaan dan pengawasan terhadap hakim maupun pegawai di lingkungan Mahkamah Agung.
Kerja sama dengan Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim-hakim harus ditingkatkan. Selain itu, harus juga dibentuk sistem dan budaya kerja untuk para pegawai Mahkamah Agung yang berstatus nonhakim sehingga tidak menjadi bagian dari mafia peradilan yang akan merobohkan kewibawaan Mahkamah Agung.
Kedua, para hakim agung baru harus mampu menjawab persoalan menurunnya Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) 2016 sebesar 0,01 poin yang dikeluarkan oleh Indonesia Legal Roundtable (ILR) pada awal bulan ini. Nilai indeks yang sebelumnya berada pada angka 5,32 pada 2015, turun ke angka 5,31 pada 2016. Padahal, sejak lima tahun lalu indeks terus meningkat, yakni sebesar 4,56 pada 2012.
Kemudian meningkat menjadi 5,12 pada 2013 dan menjadi 5,18 pada 2014 hingga 5,32 pada 2015. Salah satu indikator prinsip yang diukur adalah independensi kekuasaan kehakiman, nilai skornya 5,74 dengan nilai indeksnya 1,44. Tahun lalu (2015) nilai indeksnya 1,48, artinya ada penurunan 0,04 poin. Berdasarkan INHI tersebut, para hakim agung baru dituntut untuk merespons dan memperbaiki kinerja kekuasaan kehakiman sehingga dapat menjadi lebih baik lagi.
Ketiga, hakim agung baru harus juga semakin memperkuat independensi Mahkamah Agung di tengah-tengah banyak kasus yang berkaitan langsung dengan kekuasaan. Apalagi menjelang tahun politik 2018 dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak dan 2019 dengan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg) secara serentak pula akan banyak persoalan-persoalan politik di masyarakat yang dibawa ke pengadilan.
Hari ini saja banyak terjadi saling lapor akibat ujaran kebencian yang mengemuka baik secara langsung di tengah-tengah masyarakat maupun melalui media sosial. Tidak dapat dipungkiri, hal tersebut berkaitan erat dengan persinggungan politik yang sedang dihelat.
Karena itu, para hakim harus mampu menjaga independensi dan imparsialitasnya, khususnya dari pengaruh kekuasaan sehingga keadilan hukum tetap dapat ditegakkan. Dengan demikian, ketertiban akan dapat terjaga, masyarakat liar (savvage society) sebagai akibat social disorder akan dapat ditekan karena ada keseimbangan keadilan yang ditegakkan oleh pengadilan.
Keempat, para hakim agung baru selain menjaga independensi peradilan (independency of judiciary), juga harus menunjukkan sisi akuntabilitas peradilan (judicial accountability) sebagai pasangannya. Akuntabilitas peradilan tersebut dibutuhkan agar setiap keadilan yang diputuskan oleh Mahkamah Agung dapat dipertanggungjawabkan baik kepada pelaku dan korban maupun bagi masyarakat luas pada umumnya.
Akhirnya hakim agung baru harus dapat memberi warna baru guna menghindari robohnya pilar-pilar Mahkamah Agung agar menjadi institusi peradilan yang agung. Hakim agung baru tidak sekadar melengkapi formasi 60 orang hakim agung, apalagi jika hanya didasari motivasi mengejar karier tertinggi sebagai hakim disertai gaji dan fasilitas yang serbamewah sebagai pejabat tinggi negara.
Mereka harus menyadari bahwa menjadi hakim agung tetap menjunjung tinggi intelegensi. Judicial disrection bagi seorang hakim di dalam memutuskan perkara ditentukan oleh kemampuan cendekia dan kemauan belajar ditambah dengan pengalamannya serta didukung oleh moralitas yang tidak diragukan. Dengan judicial disrection yang dimiliki, hakim akan mampu untuk menemukan hukum (rechtvinding) dan menciptakan hukum (rechtsschepping) sehingga penegakan hukum dan keadilan serta kewibawaan peradilan dapat diwujudkan.
Anggota Komisi III DPR
RABU (13/9/2017) malam, dalam pleno Komisi 3 DPR RI, seluruh anggotanya secara aklamasi menyetujui lima calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial (KY). Persetujuan tersebut tentu bagaikan darah segar yang disuntikkan ke tubuh Mahkamah Agung.
Selama hampir setahun ini wajah peradilan kita diguncang isu suap yang melibatkan hakim dan panitera. Sontak saja publik menjadi ragu dengan reformasi di tubuh lembaga yang dijuluki ”Wakil Tuhan” di muka bumi ini. Karena itu, lima hakim agung terpilih tersebut harus menjadi batu bata yang kuat guna mengokohkan rumah besar peradilan kita.
Mereka yang ”beruntung” menjadi hakim agung terpilih tersebut adalah Gazalba Saleh (nonkarier/pidana), Muhammad Yunus Wahab (karier/perdata), Yasardin (karier/agama), Yodi Martono Mahyunadi (karier/TUN), dan Hidayat Manao (karier/militer).
Secara ketatanegaraan, persetujuan DPR tersebut tidak hanya sebagai ritual menjalankan kewajiban yang diatur dalam konstitusi, khususnya Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, melainkan memiliki makna filosofis yang lebih dalam yaitu kedaulatan rakyat. Itu artinya persetujuan DPR terhadap calon hakim agung adalah persetujuan dari rakyat sehingga orientasi hakim agung baru dalam menegakkan keadilan dan hukum haruslah senafas dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, ada keseimbangan antara konsep negara hukum (rechstaat) dan konsep kedaulatan rakyat (demokrasi). Karena itu, hakim agung baru jangan sampai sekedar la bouce de la loi (corong undang-undang), melainkan harus mencerminkan keadilan progresif yaitu mengikuti perkembangan rasa keadilan masyarakat sebagaimana mereka janjikan saat fit and proper test.
Harapan Baru
Dengan melihat perkembangan dunia peradilan saat ini, banyak harapan yang tersemat pada hakim agung baru tersebut. Setidaknya ada empat harapan yang semoga dapat direalisasikan oleh mereka.
Pertama, hakim agung yang baru diharapkan dapat menguatkan pembinaan personel Mahkamah Agung sebagai institusi penyelenggara kekuasaan kehakiman yang membawahi lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap hakim dan panitera di Bengkulu belum lama ini menjadi salah satu indikator pembinaan hakim-hakim di Mahkamah Agung belum berjalan dengan baik.
Apalagi jika melihat kasus Nurhadi dan Rohadi (baca pegawai MA yang bukan hakim, namun memiliki kekayaan fantastis yang tidak sesuai dengan profil pendapatan yang diperoleh), menunjukkan bahwa masih terdapat oknum pegawai-pegawai di Mahkamah Agung yang berprilaku korup dan mempermainkan proses administrasi perkara. Kehadiran hakim agung baru harus dapat memperkuat pembinaan dan pengawasan terhadap hakim maupun pegawai di lingkungan Mahkamah Agung.
Kerja sama dengan Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim-hakim harus ditingkatkan. Selain itu, harus juga dibentuk sistem dan budaya kerja untuk para pegawai Mahkamah Agung yang berstatus nonhakim sehingga tidak menjadi bagian dari mafia peradilan yang akan merobohkan kewibawaan Mahkamah Agung.
Kedua, para hakim agung baru harus mampu menjawab persoalan menurunnya Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) 2016 sebesar 0,01 poin yang dikeluarkan oleh Indonesia Legal Roundtable (ILR) pada awal bulan ini. Nilai indeks yang sebelumnya berada pada angka 5,32 pada 2015, turun ke angka 5,31 pada 2016. Padahal, sejak lima tahun lalu indeks terus meningkat, yakni sebesar 4,56 pada 2012.
Kemudian meningkat menjadi 5,12 pada 2013 dan menjadi 5,18 pada 2014 hingga 5,32 pada 2015. Salah satu indikator prinsip yang diukur adalah independensi kekuasaan kehakiman, nilai skornya 5,74 dengan nilai indeksnya 1,44. Tahun lalu (2015) nilai indeksnya 1,48, artinya ada penurunan 0,04 poin. Berdasarkan INHI tersebut, para hakim agung baru dituntut untuk merespons dan memperbaiki kinerja kekuasaan kehakiman sehingga dapat menjadi lebih baik lagi.
Ketiga, hakim agung baru harus juga semakin memperkuat independensi Mahkamah Agung di tengah-tengah banyak kasus yang berkaitan langsung dengan kekuasaan. Apalagi menjelang tahun politik 2018 dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak dan 2019 dengan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg) secara serentak pula akan banyak persoalan-persoalan politik di masyarakat yang dibawa ke pengadilan.
Hari ini saja banyak terjadi saling lapor akibat ujaran kebencian yang mengemuka baik secara langsung di tengah-tengah masyarakat maupun melalui media sosial. Tidak dapat dipungkiri, hal tersebut berkaitan erat dengan persinggungan politik yang sedang dihelat.
Karena itu, para hakim harus mampu menjaga independensi dan imparsialitasnya, khususnya dari pengaruh kekuasaan sehingga keadilan hukum tetap dapat ditegakkan. Dengan demikian, ketertiban akan dapat terjaga, masyarakat liar (savvage society) sebagai akibat social disorder akan dapat ditekan karena ada keseimbangan keadilan yang ditegakkan oleh pengadilan.
Keempat, para hakim agung baru selain menjaga independensi peradilan (independency of judiciary), juga harus menunjukkan sisi akuntabilitas peradilan (judicial accountability) sebagai pasangannya. Akuntabilitas peradilan tersebut dibutuhkan agar setiap keadilan yang diputuskan oleh Mahkamah Agung dapat dipertanggungjawabkan baik kepada pelaku dan korban maupun bagi masyarakat luas pada umumnya.
Akhirnya hakim agung baru harus dapat memberi warna baru guna menghindari robohnya pilar-pilar Mahkamah Agung agar menjadi institusi peradilan yang agung. Hakim agung baru tidak sekadar melengkapi formasi 60 orang hakim agung, apalagi jika hanya didasari motivasi mengejar karier tertinggi sebagai hakim disertai gaji dan fasilitas yang serbamewah sebagai pejabat tinggi negara.
Mereka harus menyadari bahwa menjadi hakim agung tetap menjunjung tinggi intelegensi. Judicial disrection bagi seorang hakim di dalam memutuskan perkara ditentukan oleh kemampuan cendekia dan kemauan belajar ditambah dengan pengalamannya serta didukung oleh moralitas yang tidak diragukan. Dengan judicial disrection yang dimiliki, hakim akan mampu untuk menemukan hukum (rechtvinding) dan menciptakan hukum (rechtsschepping) sehingga penegakan hukum dan keadilan serta kewibawaan peradilan dapat diwujudkan.
(rhs)