Antisipasi Ketimpangan
A
A
A
PERSOALAN ketimpangan ekonomi dan sosial masih menjadi masalah serius di negeri ini dan harus diantisipasi. Memang beberapa indikator menunjukkan bahwa masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengatasi ketimpangan, baik ekonomi maupun sosial mulai menggembirakan, di antaranya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat dari 68,90 pada 2014 menjadi 70,18 pada 2016, begitu pula indeks gini rasio yang mengalami penurunan dari 0,414 pada September 2014 menjadi 0,393 pada Maret 2017.
Pemerintah menyadari bahwa pemerataan di bidang ekonomi adalah salah satu kunci dalam mengatasi ketimpangan. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi selalu menekankan bahwa tidak boleh ada warga negara merasa menjadi warga negara kelas dua atau kelas tiga. Semuanya adalah warga negara Republik Indonesia yang berhak memperoleh manfaat dari pembangunan.
Tekad pemerintah mengatasi ketimpangan ekonomi dan sosial di negeri berpenduduk 260 juta ini tidak diragukan, tapi harus dibarengi dengan kerja ekstra keras mengingat angka-angka ketimpangan masih tinggi tentu tidak bisa disulap dalam sekejap atau satu periode pemerintahan.
Tengok saja data terbaru yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,4% per Maret 2017, pemerintah memasang target menurunkan menjadi 5,0% hingga 5,3% pada tahun depan. Selanjutnya angka kemiskinan ditargetkan menjadi 10% pada 2018 dari 10,64% pada Maret 2017. IPM dipatok meningkat menjadi 71,5 dan indeks gini rasio pada level 0,38 pada tahun depan.
Memang dari tahun ke tahun sejak pascapemerintahan Orde Baru, pemerintah telah menempuh berbagai cara mengatasi ketimpangan. Namun, sangat disayangkan dalam beberapa tahun terakhir ini meski pertumbuhan ekonomi di atas 5%, tetapi dampaknya belum sepenuhnya bisa dirasakan masyarakat, setidaknya terlihat dari angka kemiskinan belum bisa diturunkan secara signifikan dan jurang ketimpangan masih lebar.
Karena itu, pemerintah telah menetapkan lima strategi sebagai wujud nyata dalam mengatasi ketimpangan. Pertama, terkait kesehatan anak usia lima tahun ke bawah dengan mengatasi kurang gizi (stunting) yang harus diturunkan. Stunting dinilai memperparah kemiskinan. Kedua, bantuan sosial harus tepat sasaran. Pemerintah mengakui masih banyak warga yang tidak tersentuh bantuan karena sinkronisasi data tidak akurat.
Mengatasi ketidakakuratan data terhadap warga yang berhak menerima bantuan sosial, Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, pihaknya telah membuat basis data yang mendetail. Untuk menjamin keakuratan data tersebut, setiap tahun harus diverifikasi. Oleh sebab itu, Bappenas meminta pemerintah daerah memberi dukungan penuh di antaranya, mempermudah pemberian akta kelahiran dan akta perkawinan. Hal itu penting sebagai sumber data yang akurat. Ketiga, memperbanyak peluang pekerjaan.
Terkait dengan lapangan pekerjaan, pihak International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyarankan agar pemerintah membuat proyeksi pasar kerja untuk 10 tahun mendatang. Proyeksi tersebut penting untuk menyesuaikan pendidikan dan pelatihan guna mengisi kebutuhan pasar kerja. Keempat, menurunkan ketimpangan kekayaan dengan mengoptimalkan penarikan pajak orang pribadi. Kelima, mencetak wirausaha secara massal, seperti yang ditempuh Taiwan dan Korea Selatan dalam mengatasi kemiskinan.
Kita berharap upaya pemerintah yang terus berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus dipastikan tidak hanya dinikmati kalangan atau pihak tertentu. Karena itu, pertumbuhan ekonomi selain mengejar target yang dipatok pemerintah di atas 5%, juga harus berkeadilan. Berkeadilan dalam bahasa awamnya adalah pertumbuhan ekonomi harus bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia. Ingat, ketimpangan, baik dari sisi ekonomi maupun sosial adalah benih-benih perpecahan yang setiap saat bisa mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Ibarat bom waktu, maka persoalan ketimpangan ini bisa meledak kapan saja.
Pemerintah menyadari bahwa pemerataan di bidang ekonomi adalah salah satu kunci dalam mengatasi ketimpangan. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi selalu menekankan bahwa tidak boleh ada warga negara merasa menjadi warga negara kelas dua atau kelas tiga. Semuanya adalah warga negara Republik Indonesia yang berhak memperoleh manfaat dari pembangunan.
Tekad pemerintah mengatasi ketimpangan ekonomi dan sosial di negeri berpenduduk 260 juta ini tidak diragukan, tapi harus dibarengi dengan kerja ekstra keras mengingat angka-angka ketimpangan masih tinggi tentu tidak bisa disulap dalam sekejap atau satu periode pemerintahan.
Tengok saja data terbaru yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,4% per Maret 2017, pemerintah memasang target menurunkan menjadi 5,0% hingga 5,3% pada tahun depan. Selanjutnya angka kemiskinan ditargetkan menjadi 10% pada 2018 dari 10,64% pada Maret 2017. IPM dipatok meningkat menjadi 71,5 dan indeks gini rasio pada level 0,38 pada tahun depan.
Memang dari tahun ke tahun sejak pascapemerintahan Orde Baru, pemerintah telah menempuh berbagai cara mengatasi ketimpangan. Namun, sangat disayangkan dalam beberapa tahun terakhir ini meski pertumbuhan ekonomi di atas 5%, tetapi dampaknya belum sepenuhnya bisa dirasakan masyarakat, setidaknya terlihat dari angka kemiskinan belum bisa diturunkan secara signifikan dan jurang ketimpangan masih lebar.
Karena itu, pemerintah telah menetapkan lima strategi sebagai wujud nyata dalam mengatasi ketimpangan. Pertama, terkait kesehatan anak usia lima tahun ke bawah dengan mengatasi kurang gizi (stunting) yang harus diturunkan. Stunting dinilai memperparah kemiskinan. Kedua, bantuan sosial harus tepat sasaran. Pemerintah mengakui masih banyak warga yang tidak tersentuh bantuan karena sinkronisasi data tidak akurat.
Mengatasi ketidakakuratan data terhadap warga yang berhak menerima bantuan sosial, Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, pihaknya telah membuat basis data yang mendetail. Untuk menjamin keakuratan data tersebut, setiap tahun harus diverifikasi. Oleh sebab itu, Bappenas meminta pemerintah daerah memberi dukungan penuh di antaranya, mempermudah pemberian akta kelahiran dan akta perkawinan. Hal itu penting sebagai sumber data yang akurat. Ketiga, memperbanyak peluang pekerjaan.
Terkait dengan lapangan pekerjaan, pihak International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyarankan agar pemerintah membuat proyeksi pasar kerja untuk 10 tahun mendatang. Proyeksi tersebut penting untuk menyesuaikan pendidikan dan pelatihan guna mengisi kebutuhan pasar kerja. Keempat, menurunkan ketimpangan kekayaan dengan mengoptimalkan penarikan pajak orang pribadi. Kelima, mencetak wirausaha secara massal, seperti yang ditempuh Taiwan dan Korea Selatan dalam mengatasi kemiskinan.
Kita berharap upaya pemerintah yang terus berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus dipastikan tidak hanya dinikmati kalangan atau pihak tertentu. Karena itu, pertumbuhan ekonomi selain mengejar target yang dipatok pemerintah di atas 5%, juga harus berkeadilan. Berkeadilan dalam bahasa awamnya adalah pertumbuhan ekonomi harus bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia. Ingat, ketimpangan, baik dari sisi ekonomi maupun sosial adalah benih-benih perpecahan yang setiap saat bisa mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Ibarat bom waktu, maka persoalan ketimpangan ini bisa meledak kapan saja.
(pur)