Integrasi Zakat ke Dalam Keuangan Negara

Jum'at, 08 September 2017 - 09:08 WIB
Integrasi Zakat ke Dalam Keuangan Negara
Integrasi Zakat ke Dalam Keuangan Negara
A A A
Profesor Bambang Setiaji
Guru Besar Ilmu Ekonomi


LONTARAN
Menkeu Sri Mulyani dalam Annual Islamic Finance Conference 23 Agustus lalu, untuk memperkuat zakat guna membantu program sosial negara atau program welfare state, menarik dicermati. Integrasi zakat ke dalam keuangan negara, misalnya, berbentuk direktorat zakat memungkinkan meningkatkan besaran zakat yang terkumpul dan sekaligus mempercepat kemampuan negara dalam melaksanakan program kesejahteraan.

Peruntukan zakat yang disebut 8 asnaf tidak lain adalah program sosial dalam negara kesejahteraan. Adapun 8 asnaf itu sendiri meliputi pengentasan pengangguran atau kaum fakir, yaitu orang yang tidak memiliki income sama sekali, orang tidak memiliki income karena menganggur, atau karena memasuki usia pensiun tanpa asuransi. Program kemiskinan, yaitu orang yang memiliki income tetapi sama sekali tidak cukup, kaum musafir bisa diinterpretasikan untuk mendukung anak sekolah di luar kota, karena komponen termahal dari sekolah adalah biaya hidup bukan hanya SPP yang sudah diakomodasi oleh program BOS, kaum mualaf yang bisa diinterpretasikan untuk memperbaiki perburuhan dan suku terasing, dan para ghorim atau orang yang bangkrut dalam keuangan negara modern disebut bail out.

Mengapa orang bangkrut perlu di-bail out karena efeknya pada tenaga kerja yang bisa menyebabkan PHK besar-besaran atau kefakiran dan efek ekonominya yang lebih luas. Zakat juga digunakan untuk fi sabilillah atau di jalan Allah, misalnya pembangunan gedung masjid, gedung sekolah, rumah sakit, sampai dengan persenjataan, dan untuk amil, yaitu upah pungut karena ide integrasi tersebut memerlukan anggaran.

Dari Integrasi Keuangan ke Integrasi Bangsa

Integrasi zakat ke dalam keuangan negara mungkin akan ditentang karena zakat selama ini menjadi sumber dana pergerakan Islam. NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya banyak tergantung dari zakat ini, terutama saat awal berdirinya suatu amal usaha. Hal ini harus diatasi dengan memasukkan gerakan Islam sebagai penyalur. Dalam surat tagihan pajak perlu ditanyakan lembaga Islam mana yang diharapkan sebagai penyalur. Lembaga Islam yang ditunjuk justru akan memperoleh dana lebih besar karena integrasi ini sangat menguntungkan wajib pajak dan sekaligus wajib zakat.

Untuk mendorong wajib pajak bersedia membayar zakat melalui Depkeu, maka pemerintah perlu mengakui pembayaran tersebut dalam sistem full deductible dan mengurangi secara penuh kewajiban pajaknya, toh keduanya masuk dalam kantong negara. Total perolehan negara justru akan meningkat, tarif pajak rata-rata sekitar 15 persen dari income dan tarif zakat adalah 2,5 persen dari aset, katakanlah perubahan modal dalam neraca.

Pemasukan negara akan meningkat karena zakat umumnya lebih jujur. Petugas pajak akan belajar dari pengalaman bila seseorang membayar zakat sebesar X, maka pembayaran pajaknya seharusnya n kali X atau nX. Dengan demikian, integrasi ini akan memberikan win win solution karena wajib pajak tidak dibebani dua pungutan, penerimaan negara menjadi meningkat, dan tugas sosial negara sebagian sudah diambil alih oleh masyarakat melalui koordinasi pemerintah.

Pemerintah menjadi semakin bijaksana karena bisa memadukan semua potensi rakyat untuk membangun bangsa terutama dari sisi investasi manusia. Pemerintah tinggal memperkuat modal infrastruktur fisik sehingga program zakat ini memperkuat infrastruktur modal manusia. Pertumbuhan ekonomi bukan hanya ditopang oleh infrastruktur fisik, tetapi juga SDM. Tugas SDM untuk meningkatkan penguasaan teknologi, meningkatkan produktivitas, dan kapasitas manajerial.

Dengan mengelola zakat, maka dikotomi nasionalis Islam yang akhir-akhir ini agak menguat bisa dijembatani. Pemerintah tidak bisa digeneralisasikan sebagai pemerintahan sekuler dengan adanya departemen agama dan direktorat bank syariah di BI dan OJK, serta direktorat zakat di Departemen Keuangan. Konvergensi ini sangat bermakna untuk integrasi bangsa, katakanlah dari integrasi keuangan ke integrasi bangsa.

Integrasi tersebut selain meleburkan dikotomi nasionalis sekuler dan Islami, serta menghaluskan dan menyucikan Departemen Keuangan sebagai tangan panjang misi kenabian. Misi tersebut tidak lain adalah pembebasan dhuafa atau kaum yang tertindas.

Negara modern mengadopsi pembebasan kaum tertindas ini dengan program welfare state yang meliputi pembiayaan pendidikan dan kesehatan, anggaran kemiskinan, anggaran pensiun bagi seluruh rakyat, anggaran pengangguran, dan bencana alam. Bedanya, negara modern mengadopsi secara lepas akar dari religiusitas, sedangkan integrasi zakat dan keuangan negara dalam gagasan Ibu Sri Mulyani ini memperkuat akar religiustitas dalam kenegaraan.

Dimensi syariah sisi pembebasan dhuafa ini bukan saja tidak ditentang komunitas lain, tetapi juga karena dipraktikkan oleh banyak negara modern. Memperbanyak penyerapan syariah dalam negara modern merupakan keunikan Indonesia yang bukan negara agama sekaligus bukan negara sekuler. Negara di mana agama dan Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai perundangan dan penyelenggaraan negara.


Efek Kesejahteraan

Dengan mengabsorpsi zakat ke dalam keuangan negara, maka program pengentasan dhuafa yang merupakan amanat pasal-pasal dalam konstitusi, seperti hak pendidikan, hak pekerjaan, serta hak fakir miskin dan telantar, menjadi lebih cepat terwujud. Hal ini bukan semata besaran rupiah, tetapi lebih penting lagi munculnya wacana negara kesejahteraan yang tidak pernah padam merupakan cita-cita konstitusi sejak awal.

Ekonomi Pasar dan kebebasan swasta berkreasi tentu saja berguna memberikan pekerjaan rakyat yang sebanyak-banyaknya, tetapi intervensi negara tetap diperlukan bahkan di negara-negara inti liberal.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4586 seconds (0.1#10.140)