Aris dalam Tarung DPR vs KPK

Sabtu, 02 September 2017 - 07:55 WIB
Aris dalam Tarung DPR...
Aris dalam Tarung DPR vs KPK
A A A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)

SAYA tidak perlu memberi pendapat lagi, apakah kehadiran Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (Dirdik KPK) Aris Budiman melanggar peraturan disiplin atau tidak. Pendapat tentang itu sudah banyak dikemukakan di media massa.

Saya hanya ingin mengatakan, mungkin benar Aris Budiman bahwa dirinya tidak pernah menemui anggota DPR untuk menegosiasikan perkara seperti yang dimunculkan sebagai tudingan dari rekaman video pada pemeriksaan Miryam S Haryani di sidang pengadilan tipikor.

Maka itu, Aris Budiman datang ke DPR memang betul-betul ingin menegaskan bahwa dirinya bersih dari soal itu. Itu mungkin saja karena saya pernah mendapat cerita yang sama, tetapi nyatanya hanya omong kosong, yakni cerita bahwa ada “orang KPK” memeras anggota DPR dan merampas uang miliaran rupiah tetapi terus ditilap sendiri oleh orang KPK itu.

Saat masih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012, dalam satu penerbangan dari Jakarta ke Surabaya, saya duduk berjejer dengan seorang tokoh besar di republik ini. Banyak yang kami obrolkan saat itu, tetapi yang terus saya ingat adalah cerita penanganan kasus korupsi pembahasan anggaran Dana Pencepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) oleh KPK yang menyeret banyak nama di DPR.

Tokoh besar tersebut mengatakan kepada saya bahwa KPK telah menggunakan proses penanganan korupsi dengan melakukan korupsi itu sendiri. Loh, kok bisa? Tokoh besar tersebut mengatakan, ada beberapa anggota DPR yang ketika ruangannya digeledah oleh petugas KPK, uangnya dirampas dan ada pula yang dimintai uang sampai miliaran rupiah.

Kisahnya, uang yang disita tersebut, kata petugas KPK seperti yang disampaikan kepada tokoh tersebut oleh anggota DPR dan kemudian disampaikan lagi kepada saya oleh tokoh tersebut, untuk bukti di pengadilan. Tetapi nyatanya, uang tersebut diambil sesukanya dan tidak pernah dijadikan bukti di pengadilan, bahkan tidak ada bukti penyitaannya.

Ada anggota DPR yang selain uang yang ada di ruang kerjanya diambil, masih dimintai uang lagi di lain kesempatan. Artinya, anggota DPR itu diperas dengan janji kasusnya akan berhenti pada pelaku utama yang sudah diadili saja dan tidak akan berlanjut kepada dirinya. “Jadi, Mas Mahfud jangan terlalu berlebihan membela KPK karena di KPK itu juga banyak koruptornya,” kata tokoh yang selalu memanggil saya dengan panggilan Mas itu.

Mendengar cerita itu, hati saya agak panas dan mengumpat KPK, “Sialan, ternyata di KPK yang kita bela-bela itu ada koruptornya juga”. Oleh sebab itu, sebagai tanggung jawab moral, saya ingin juga mengungkap perilaku sesat petugas KPK itu.

Bagi saya, KPK memang bukan kumpulan malaikat sehingga memang bisa saja ada oknum yang sesat. Kepada sang tokoh, saya bilang agar hal itu dilaporkan kepada yang berwajib dan diumumkan ke publik.

Sang tokoh itu menjawab bahwa para anggota DPR itu tidak berani mengungkapnya karena takut benar-benar dijadikan tersangka. Saya bilang, beri tahu saja kepada saya siapa anggota DPR yang diperas dan siapa orang KPK yang memeras biar saya bisa membantu untuk menyelesaikannya secara hukum.

Tetapi sang tokoh mengatakan, para anggota DPR yang diperas itu tidak mau namanya disebutkan karena diancam oleh orang KPK; mereka akan dijadikan tersangka penyuapan kepada petugas KPK “dengan uang itu” jika membocorkan bahwa uangnya dirampas atau diperas oleh KPK.

Saya bilang kepada sang tokoh bahwa fakta hukum tak semudah itu dibelok-belokkan seperti itu. Asal orang itu mau menyebut jati dirinya dan menyebut identitas pemeras yang dari KPK, biar saya yang mengurusnya. “Tak usah takut, malah kebetulan kita bisa benahi KPK,” kata saya.

Tapi sang tokoh itu tak mau menyebut nama dengan alasan anggota DPR yang bersangkutan takut kalau benar-benar dijadikan tersangka penyuapan meski nyatanya diperas untuk menyerahkan sejumlah uang tersebut. Karena sikap sang tokoh, akhirnya saya berkesimpulan, cerita itu hanya karangan belaka, tidak ada faktanya.

Mungkin anggota DPR itu mengarang cerita karena ingin mencari alibi kepada sang tokoh bahwa dirinya bersih. Dia hanya ingin membersihkan dirinya dengan mengarang cerita telah diperas dan diancam oleh orang KPK. Kalau memang ada faktanya, kan gampang.

Sebagai anggota DPR, dia bisa membongkar itu. Kalau tak bisa melalui KPK, ya bisa melalui Polri atau Kejaksaan Agung. Kesimpulan saya, sang tokoh itu telah dikecoh dengan cerita palsu oleh anggota DPR yang sebenarnya hanya ingin mencari alibi karena dirinya disebut-sebut dalam satu kasus.

Sangat mungkin kisah Aris Budiman ini sama dengan cerita di atas. Aris, boleh jadi, memang tidak pernah menemui anggota DPR, apalagi sampai menegosiasi perkara dan meminta uang. Itu hanya karangan dari anggota DPR yang menginformasikan kepada Miryam S Haryani agar memberi kesaksian tertentu dalam kasus KTP elektronik.

Yah, sebagai cara mencari alibi juga. Oleh sebab itu, pelacakannya sebenarnya tidak terlalu rumit, mana yang benar dalam kasus itu tidaklah sulit untuk diketahui.
Cerita itu, kan muncul dari Miryam S Haryani, yang di dalam video rekaman saat dirinya diperiksa oleh penyidik KPK mengatakan ada anggota DPR yang memberi tahu bahwa orang-orang KPK ada yang sering datang ke DPR untuk menegosiasi perkara dan meminta uang (memeras).

Ketika ditanya oleh penyidik, Miryam menunjuk nama Dirdik Aris Budiman yang tertera di surat panggilan KPK atas dirinya. Miryam menunjuk nama Aris bukan berdasar pengalamannya sendiri, melainkan menurut kata teman-temannya di DPR.

Kalau begitu masalahnya, kan mudah. Periksa atau jadikan tersangka lagi Miryam dalam sangkaan fitnah. Dari sana bisa dikorek siapa anggota DPR teman Miryam yang mengatakan itu untuk selanjutnya konfrontasikan kepada Miryam maupun anggota DPR itu dengan Aris Budiman.

Rasanya berlebihan kalau dalam kasus ini yang disalahkan justru penyidik KPK. Yang bilang Dirdik sering ketemu anggota DPR itu kan Miryam, yang katanya menurut teman-temannya di DPR. Penyidik KPK kan hanya merekam Miryam. Mengapa bukan Miryamnya yang diperiksa untuk menjernihkan?

Tapi, yah, itulah tarung berseri antara KPK dan DPR. Dhuaarr.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8180 seconds (0.1#10.140)