Memanusiakan Pedestrian
A
A
A
Jika berada di jalanan di Indonesia, kita mungkin akan lebih banyak melihat sepeda motor atau kendaraan roda dua dibandingkan pejalan kaki (pedestrian). Memang, sepeda motor menjadi kendaraan paling favorit di Tanah Air.
Begitu juga dengan mobil atau kendaraan roda empat, sedangkan angkutan umum mungkin bagi mereka yang enggan (atau tidak bisa) mengendarai sepeda motor atau mobil.
Jika kita jarang melihat masyarakat Indonesia berjalan kaki, mungkin akan menganggap wajar ketika riset dari Universitas Stanford yang dirilis pertengahan tahun lalu menyebutkan masyarakat Indonesia paling malas berjalan kaki.
Riset Universitas Stanford melibatkan 717.000 warga dunia di 111 negara dan menggunakan aktivitas Argus pada ponsel. Hasilnya, menempatkan Indonesia sebagai negara paling bawah berjalan kaki.
Rata-rata masyarakat Indonesia hanya berjalan kaki 3.513 langkah per hari. Angka ini masih jauh dari Hong Kong yang menempati paling atas dengan rata-rata 6.880 langkah setiap hari, sedangkan rata-rata penduduk dunia melakukan 4.961 langkah per hari.
Jadi, jika melihat riset dan membandingkan dengan apa yang kita lihat di jalanan, mungkin kita akan mengamini bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang paling malas di dunia.
Apakah memang benar kesimpulan tersebut? Tampaknya tidak. Tentu orang akan semakin berjalan kaki jika mempunyai fasilitas yang layak untuk berjalan kaki.
Jika fasilitas untuk pejalan kaki telah layak dan rata-rata langkah kaki masyarakat Indonesia masih rendah, mungkin bisa dikatakan masyarakat kita termasuk malas jalan kaki.
Di Jakarta yang merupakan kota terbesar di Indonesia saja, fasilitas pejalan kaki yaitu trotoar masih jauh dari kata layak. Pembangunan trotoar masih dinomorduakan dibandingkan dengan pembangunan jalan.
Jika demikian, artinya memang lebih mementingkan mereka yang menggunakan kendaraan daripada mereka yang ingin berjalan kaki.
Trotoar pun banyak yang beralih fungsi menjadi tempat berjualan atau tempat parkir. Bahkan, beberapa ruas jalan di Jakarta tidak mempunyai trotoar.
Atau pun jika ada, beberapa trotoar tidak layak buat jalan karena berlubang atau tidak rata. Belum lagi para pengguna kendaraan roda dua yang suka menyerobot jalur pedestrian tersebut dengan alasan menghindari macet.
Pada Agustus 2017, Pemprov DKI Jakarta menggelar operasi sterilisasi trotoar di semua wilayah di Jakarta. Pedagang kaki lima atau tempat parkir di trotoar ditertibkan.
Mobil yang parkir di trotoar atau kendaraan roda dua yang melintas di trotoar juga ditindak. Hasilnya memang cukup lumayan. Beberapa kendaraan roda dua terkena tilang dan beberapa trotoar benar-benar untuk para pedestrian.
Tentu kabar menyenangkan bagi mereka yang suka berjalan kaki. Namun, apakah hanya pada satu bulan saja kondisi yang membahagiakan bagi pedestrian? Tampaknya memang begitu jika pada akhir Agustus melihat kembali trotoar di Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta pun menjawab dengan memperpanjang waktu penertiban trotoar hingga akhir September nanti.
Lalu, apakah hanya hangat-hangat tahi ayam? Kita berharap itu tidak terjadi. Toh, perlu ada tindakan tegas dari petugas bagi mereka yang mengalihfungsikan trotoar.
Aturan sudah sangat jelas. Jika mereka berjualan bukan pada tempatnya, perda tentu akan memberi sanksi. Jika ada kendaraan yang menggunakan fasilitas trotoar, tentu ada UU lalu lintas untuk memberikan sanksi.
Artinya, penertiban tidak perlu hanya dengan musiman. Setiap saat penertiban bisa dilakukan jika ingin memanusiakan pedestrian. Jika hanya menggaungkan bulan penertiban, ini sama saja program pencitraan yang bukan solusi.
Para pejalan kaki tentu butuh solusi. Jika ingin membuat masyarakat Indonesia rajin berjalan kaki, benahi juga jalur untuk jalan kaki. Jangan sekadar mengampanyekan rajin jalan kaki, namun justru jalur pejalan kaki tetap dianaktirikan.
Melakukan sterilisasi trotoar yang sudah ada secara permanen, menambah jumlah trotoar, dan memperbaiki trotoar di jalanan akan menjadikan sebuah kota memanusiakan pedestrian.
Begitu juga dengan mobil atau kendaraan roda empat, sedangkan angkutan umum mungkin bagi mereka yang enggan (atau tidak bisa) mengendarai sepeda motor atau mobil.
Jika kita jarang melihat masyarakat Indonesia berjalan kaki, mungkin akan menganggap wajar ketika riset dari Universitas Stanford yang dirilis pertengahan tahun lalu menyebutkan masyarakat Indonesia paling malas berjalan kaki.
Riset Universitas Stanford melibatkan 717.000 warga dunia di 111 negara dan menggunakan aktivitas Argus pada ponsel. Hasilnya, menempatkan Indonesia sebagai negara paling bawah berjalan kaki.
Rata-rata masyarakat Indonesia hanya berjalan kaki 3.513 langkah per hari. Angka ini masih jauh dari Hong Kong yang menempati paling atas dengan rata-rata 6.880 langkah setiap hari, sedangkan rata-rata penduduk dunia melakukan 4.961 langkah per hari.
Jadi, jika melihat riset dan membandingkan dengan apa yang kita lihat di jalanan, mungkin kita akan mengamini bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang paling malas di dunia.
Apakah memang benar kesimpulan tersebut? Tampaknya tidak. Tentu orang akan semakin berjalan kaki jika mempunyai fasilitas yang layak untuk berjalan kaki.
Jika fasilitas untuk pejalan kaki telah layak dan rata-rata langkah kaki masyarakat Indonesia masih rendah, mungkin bisa dikatakan masyarakat kita termasuk malas jalan kaki.
Di Jakarta yang merupakan kota terbesar di Indonesia saja, fasilitas pejalan kaki yaitu trotoar masih jauh dari kata layak. Pembangunan trotoar masih dinomorduakan dibandingkan dengan pembangunan jalan.
Jika demikian, artinya memang lebih mementingkan mereka yang menggunakan kendaraan daripada mereka yang ingin berjalan kaki.
Trotoar pun banyak yang beralih fungsi menjadi tempat berjualan atau tempat parkir. Bahkan, beberapa ruas jalan di Jakarta tidak mempunyai trotoar.
Atau pun jika ada, beberapa trotoar tidak layak buat jalan karena berlubang atau tidak rata. Belum lagi para pengguna kendaraan roda dua yang suka menyerobot jalur pedestrian tersebut dengan alasan menghindari macet.
Pada Agustus 2017, Pemprov DKI Jakarta menggelar operasi sterilisasi trotoar di semua wilayah di Jakarta. Pedagang kaki lima atau tempat parkir di trotoar ditertibkan.
Mobil yang parkir di trotoar atau kendaraan roda dua yang melintas di trotoar juga ditindak. Hasilnya memang cukup lumayan. Beberapa kendaraan roda dua terkena tilang dan beberapa trotoar benar-benar untuk para pedestrian.
Tentu kabar menyenangkan bagi mereka yang suka berjalan kaki. Namun, apakah hanya pada satu bulan saja kondisi yang membahagiakan bagi pedestrian? Tampaknya memang begitu jika pada akhir Agustus melihat kembali trotoar di Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta pun menjawab dengan memperpanjang waktu penertiban trotoar hingga akhir September nanti.
Lalu, apakah hanya hangat-hangat tahi ayam? Kita berharap itu tidak terjadi. Toh, perlu ada tindakan tegas dari petugas bagi mereka yang mengalihfungsikan trotoar.
Aturan sudah sangat jelas. Jika mereka berjualan bukan pada tempatnya, perda tentu akan memberi sanksi. Jika ada kendaraan yang menggunakan fasilitas trotoar, tentu ada UU lalu lintas untuk memberikan sanksi.
Artinya, penertiban tidak perlu hanya dengan musiman. Setiap saat penertiban bisa dilakukan jika ingin memanusiakan pedestrian. Jika hanya menggaungkan bulan penertiban, ini sama saja program pencitraan yang bukan solusi.
Para pejalan kaki tentu butuh solusi. Jika ingin membuat masyarakat Indonesia rajin berjalan kaki, benahi juga jalur untuk jalan kaki. Jangan sekadar mengampanyekan rajin jalan kaki, namun justru jalur pejalan kaki tetap dianaktirikan.
Melakukan sterilisasi trotoar yang sudah ada secara permanen, menambah jumlah trotoar, dan memperbaiki trotoar di jalanan akan menjadikan sebuah kota memanusiakan pedestrian.
(nag)