Menghadapi Era Digital
A
A
A
H Sukamta, PhD
Anggota Komisi I DPR RI
Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta
GLOBAL village, istilah yang diciptakan Marshal McLuhan untuk menggambarkan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dunia seolah mengecil menjadi sebuah desa global, tampaknya kini sudah tidak relevan lagi.
Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis perlu mengutip pendapat Thomas L Friedman dalam The World is Flat yang membagi globalisasi ke dalam tiga tahapan, yaitu globalisasi 1.0, globalisasi 2.0, dan globalisasi 3.0. Pembabakan ini didasarkan pada jenis teknologi apa yang memengaruhi dan menggerakkan kehidupan manusia pada masa itu.
Pada globalisasi 1.0, teknologi yang ada menggunakan tenaga kuda, tenaga uap, tenaga angin, tenaga air, dan seterusnya. Aktor utama pada masa ini adalah negara, yaitu bagaimana negara-negara yang ada menembus batas dinding mereka masing-masing untuk saling menjalin kerja sama dengan negara lain demi memenuhi kebutuhan hidup.
Lalu pada masa globalisasi 2.0 dimulai pada abad ke-18 dengan adanya Revolusi Industri, teknologi yang berkembang adalah teknologi mesin. Aktor utama proses penyatuan global pada masa ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional yang menyusutkan dunia dari ukuran sedang menjadi berukuran kecil.
Lalu pada sekitar tahun 2000 kita memasuki masa globalisasi 3.0 yang di dalamnya kehidupan manusia diwarnai penggunaan teknologi digital. Pada masa ini dunia menyusut dari ukuran kecil menjadi ukuran sangat kecil. Aktor utama pada masa ini adalah individu-individu dan kelompok-kelompok kecil terkonvergensi dengan internet dan saling terhubung di dunia digital. Pada era ini setiap individu bisa dengan mudah memperoleh informasi sekaligus juga dapat menjadi narasumber melalui jaringan internet. Setiap individu bisa dengan lebih mudah tampil ke publik.
Karena itu, dengan menggunakan perspektif McLuhan dan Friedman di atas, penulis menyimpulkan bahwa kita sekarang telah masuk ke sebuah global home yang lebih kecil lagi dari pada global village. Masa yang di dalamnya kita semua bisa saling berkomunikasi layaknya sebuah keluarga dalam satu rumah kecil, padahal kita tidak saling kenal sebelumnya bahkan berjauhan, baik ruang dan waktu.
Dengan penjelasan di atas, tampak secara nyata bahwa teknologi membawa dampak signifikan bagi arah dan laju kehidupan manusia. Pada era digital, kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai kemudahan. Hal-hal terlihat sulit bahkan mungkin mustahil dilakukan pada masa sebelumnya, kini menjadi nyata. Kemudahan-kemudahan yang ada berkat teknologi digital ini telah memengaruhi perilaku manusia. Manusia akan sangat terlihat sibuk dengan smartphonenya karena hampir semua urusan kehidupannya dibantu dengan gadget.
Lebih jauh, pengaruh yang diberikan teknologi digital tidak hanya sebatas mempermudah aktivitas manusia, tapi juga memengaruhi pola pikir (mindset) manusia yang kini lebih cenderung bercorak personal sentris. Namun dalam skala makro, personalisasi ini tidak menunjukkan perilaku antisosial, justru sebaliknya, terbentuklah sosialitas baru.
Hal ini selaras dengan pandangan Manuel Castells yang dalam artikel The Impact of the Internet on Society: A Global Perspective menggambarkan adanya peningkatan hubungan antara penggunaan internet dengan bangkitnya social autonomy. Semakin sosial seseorang, semakin mereka menggunakan internet dan semakin mereka menggunakan internet, semakin meningkat sosialitas mereka secara online dan offline.
Pembinaan Digital
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia juga tak terkecuali terkena dampak digital ini. Hingga Maret 2017, Internet World Stats mencatat estimasi jumlah penduduk Indonesia mencapai 263 juta jiwa dengan jumlah pengguna internet 132 juta jiwa.
Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-5 sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, dan Brasil. Tingkat penetrasi internet di Indonesia hingga Maret 2017 mencapai 50,4%, meningkat drastis dari tahun 2016 yang tercatat 34,1%.
Dengan tingkat penetrasi dan jumlah pengguna internet seperti itu, maka sudah terbentuklah sebuah masyarakat baru, sebuah superorganisme baru yang diibaratkan seperti sarang lebah (meminjam istilah Mark Slouka di atas) di Indonesia.
Sayangnya, paradigma digital masyarakat belum terbangun. Sebagian besar pengguna internet masih berfokus pada pemanfaatan media sosial, belum didominasi dengan pemahaman yang lebih maju bahwa dunia digital bisa dioptimalkan lebih maksimal, tidak saja untuk berkomunikasi dalam kapasitas pergaulan dan persahabatan, tapi juga bisa untuk sharing knowledge, aktualisasi diri, hingga motif bisnis dan ekonomi.
Untuk itulah diperlukan sebuah kebijakan dari pemerintah agar masyarakat teredukasi dengan baik sehingga bisa menyikapinya secara tepat sekaligus memaksimalkan potensi internet dari sebuah dunia digital. Masyarakat pengguna internet yang didominasi kalangan muda secara umum belum memiliki pandangan jauh ke depan soal era digital ini.
Hal ini wajar mengingat belum masifnya program dari pemerintah yang komprehensif isinya membina masyarakat dalam menyikapi era digital ini. Program-program yang ada selama ini masih parsial, terfokus pada bagaimana melatih kemampuan dalam mengakses internet dan bagaimana mewujudkan internet sehat. Padahal program pembinaan digital ini lebih luas dari itu karena juga berbicara soal perilaku dan budaya hidup digital (digital behavior).
Teknologi digital ini bukanlah sebuah ”fad”, gejala sesaat yang akan hilang begitu saja. Teknologi ini telah dan terus akan tumbuh serta memiliki dampak panjang dalam kehidupan kita. Kemudahan-kemudahan yang dibawanya sedikit banyak telah mengubah pola hidup masyarakat. Siapkah masyarakat dengan ini semua?
Tren yang teramati sejauh ini pemanfaatan media sosial dalam digital telah menciptakan sebuah kondisi terbaginya masyarakat ke dalam dua kubu. Dunia media sosial kita penuh dengan pernyataan-pernyataan yang tidak sepantasnya mulai dari hoax, cacian, umpatan, dan lainnya. Belum lagi kasus-kasus cyber crime yang lain. Jika ini dibiarkan, efek destruktif dari dunia digital yang mungkin akan mendominasi hidup kita pada masa sekarang dan masa mendatang.
Terbentuknya sebuah masyarakat digital baru di Indonesia ini perlu disikapi serius oleh kita semua. Kita tidak ingin masyarakat digital ini menjadi liar yang justru memberi efek negatif bagi bangsa. Negara harus hadir membuat arahan berupa grand design masyarakat digital yang berisi pembinaan dan edukasi bagi masyarakat secara umum dalam memanfaatkan teknologi digital.
Pemerintah sedang membangun infrastruktur untuk memperluas daya jangkau serta penetrasi internet yang bernama proyek Palapa Ring, yaitu proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik sepanjang 36.000 kilometer yang menjangkau tiga bagian wilayah di seluruh Indonesia, baik Barat, Tengah, maupun Timur.
Tentu program ini wajib kita dukung untuk segera selesai sehingga penetrasi internet bisa dilakukan merata mulai dari Sabang hingga Merauke yang diharapkan juga pemerataan kesejahteraan karena akses digital bisa meningkatkan perekonomian.
Di beberapa negara seperti Inggris misalnya, ada program pembinaan yang sering disebut ”digital inclusion”. Masyarakat dibina untuk bisa memanfaatkan teknologi digital secara maksimal sesuai dengan jati diri bangsa. Dengan begitu tidak hanya menggunakannya untuk komunikasi pertemanan dan persahabatan, tapi bisa untuk kepentingan ekonomi dan bisnis.
Sepertinya kita bisa mengadaptasi program seperti ini namun dengan titik tekan pada ”how to treat a digital life?” Program pembinaan digital ini tidak melulu mengajarkan masyarakat bagaimana cara mengakses internet, bagaimana cara mengiklankan sebuah produk, atau bagaimana melatih kemampuan mereka agar mampu mendatangkan keuntungan finansial seperti dengan Google ads atau Facebook ads.
Namun, lebih jauh dari itu perlu diajarkan bagaimana etika dalam pergaulan di internet, bagaimana interaksi budaya digital, bagaimana pola hidup sehat dengan manajemen gadget, kapan kita boleh menggunakan gadget, dan kapan sebaiknya tidak menggunakannya (dalam 24 jam). Karena itu, perlu ditekankan juga muatan UU ITE agar masyarakat termotivasi mewujudkan internet sehat yang minim cacian, makian, menyinggung ras, suku, cyber crime, dan lainnya.
Pada tataran lebih teknis, program ini perlu dilakukan secara konvergen dengan institusi-institusi pendidikan, baik formal maupun informal, juga komunitas-komunitas yang ada di masyarakat, baik komunitas berdasar hobi, akademik, dan peminatan-peminatan lainnya. Selain itu, program-program pembinaan tentang digital ini perlu dilakukan berkelanjutan karena perkembangan teknologi digital sangat cepat dalam hitungan jam, menit, bahkan detik.
Berkelanjutan sangat diperlukan untuk mengupgrade dan mengasah kekuatan karakter serta kepribadian bangsa dalam bingkai Pancasila untuk menghadapi perkembangan teknologi terbaru. Agar di era digital ini bangsa kita tidak terlindas zaman, bahkan diharapkan mampu menjadi motor penggerak zaman.
Anggota Komisi I DPR RI
Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta
GLOBAL village, istilah yang diciptakan Marshal McLuhan untuk menggambarkan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dunia seolah mengecil menjadi sebuah desa global, tampaknya kini sudah tidak relevan lagi.
Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis perlu mengutip pendapat Thomas L Friedman dalam The World is Flat yang membagi globalisasi ke dalam tiga tahapan, yaitu globalisasi 1.0, globalisasi 2.0, dan globalisasi 3.0. Pembabakan ini didasarkan pada jenis teknologi apa yang memengaruhi dan menggerakkan kehidupan manusia pada masa itu.
Pada globalisasi 1.0, teknologi yang ada menggunakan tenaga kuda, tenaga uap, tenaga angin, tenaga air, dan seterusnya. Aktor utama pada masa ini adalah negara, yaitu bagaimana negara-negara yang ada menembus batas dinding mereka masing-masing untuk saling menjalin kerja sama dengan negara lain demi memenuhi kebutuhan hidup.
Lalu pada masa globalisasi 2.0 dimulai pada abad ke-18 dengan adanya Revolusi Industri, teknologi yang berkembang adalah teknologi mesin. Aktor utama proses penyatuan global pada masa ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional yang menyusutkan dunia dari ukuran sedang menjadi berukuran kecil.
Lalu pada sekitar tahun 2000 kita memasuki masa globalisasi 3.0 yang di dalamnya kehidupan manusia diwarnai penggunaan teknologi digital. Pada masa ini dunia menyusut dari ukuran kecil menjadi ukuran sangat kecil. Aktor utama pada masa ini adalah individu-individu dan kelompok-kelompok kecil terkonvergensi dengan internet dan saling terhubung di dunia digital. Pada era ini setiap individu bisa dengan mudah memperoleh informasi sekaligus juga dapat menjadi narasumber melalui jaringan internet. Setiap individu bisa dengan lebih mudah tampil ke publik.
Karena itu, dengan menggunakan perspektif McLuhan dan Friedman di atas, penulis menyimpulkan bahwa kita sekarang telah masuk ke sebuah global home yang lebih kecil lagi dari pada global village. Masa yang di dalamnya kita semua bisa saling berkomunikasi layaknya sebuah keluarga dalam satu rumah kecil, padahal kita tidak saling kenal sebelumnya bahkan berjauhan, baik ruang dan waktu.
Dengan penjelasan di atas, tampak secara nyata bahwa teknologi membawa dampak signifikan bagi arah dan laju kehidupan manusia. Pada era digital, kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai kemudahan. Hal-hal terlihat sulit bahkan mungkin mustahil dilakukan pada masa sebelumnya, kini menjadi nyata. Kemudahan-kemudahan yang ada berkat teknologi digital ini telah memengaruhi perilaku manusia. Manusia akan sangat terlihat sibuk dengan smartphonenya karena hampir semua urusan kehidupannya dibantu dengan gadget.
Lebih jauh, pengaruh yang diberikan teknologi digital tidak hanya sebatas mempermudah aktivitas manusia, tapi juga memengaruhi pola pikir (mindset) manusia yang kini lebih cenderung bercorak personal sentris. Namun dalam skala makro, personalisasi ini tidak menunjukkan perilaku antisosial, justru sebaliknya, terbentuklah sosialitas baru.
Hal ini selaras dengan pandangan Manuel Castells yang dalam artikel The Impact of the Internet on Society: A Global Perspective menggambarkan adanya peningkatan hubungan antara penggunaan internet dengan bangkitnya social autonomy. Semakin sosial seseorang, semakin mereka menggunakan internet dan semakin mereka menggunakan internet, semakin meningkat sosialitas mereka secara online dan offline.
Pembinaan Digital
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia juga tak terkecuali terkena dampak digital ini. Hingga Maret 2017, Internet World Stats mencatat estimasi jumlah penduduk Indonesia mencapai 263 juta jiwa dengan jumlah pengguna internet 132 juta jiwa.
Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-5 sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, dan Brasil. Tingkat penetrasi internet di Indonesia hingga Maret 2017 mencapai 50,4%, meningkat drastis dari tahun 2016 yang tercatat 34,1%.
Dengan tingkat penetrasi dan jumlah pengguna internet seperti itu, maka sudah terbentuklah sebuah masyarakat baru, sebuah superorganisme baru yang diibaratkan seperti sarang lebah (meminjam istilah Mark Slouka di atas) di Indonesia.
Sayangnya, paradigma digital masyarakat belum terbangun. Sebagian besar pengguna internet masih berfokus pada pemanfaatan media sosial, belum didominasi dengan pemahaman yang lebih maju bahwa dunia digital bisa dioptimalkan lebih maksimal, tidak saja untuk berkomunikasi dalam kapasitas pergaulan dan persahabatan, tapi juga bisa untuk sharing knowledge, aktualisasi diri, hingga motif bisnis dan ekonomi.
Untuk itulah diperlukan sebuah kebijakan dari pemerintah agar masyarakat teredukasi dengan baik sehingga bisa menyikapinya secara tepat sekaligus memaksimalkan potensi internet dari sebuah dunia digital. Masyarakat pengguna internet yang didominasi kalangan muda secara umum belum memiliki pandangan jauh ke depan soal era digital ini.
Hal ini wajar mengingat belum masifnya program dari pemerintah yang komprehensif isinya membina masyarakat dalam menyikapi era digital ini. Program-program yang ada selama ini masih parsial, terfokus pada bagaimana melatih kemampuan dalam mengakses internet dan bagaimana mewujudkan internet sehat. Padahal program pembinaan digital ini lebih luas dari itu karena juga berbicara soal perilaku dan budaya hidup digital (digital behavior).
Teknologi digital ini bukanlah sebuah ”fad”, gejala sesaat yang akan hilang begitu saja. Teknologi ini telah dan terus akan tumbuh serta memiliki dampak panjang dalam kehidupan kita. Kemudahan-kemudahan yang dibawanya sedikit banyak telah mengubah pola hidup masyarakat. Siapkah masyarakat dengan ini semua?
Tren yang teramati sejauh ini pemanfaatan media sosial dalam digital telah menciptakan sebuah kondisi terbaginya masyarakat ke dalam dua kubu. Dunia media sosial kita penuh dengan pernyataan-pernyataan yang tidak sepantasnya mulai dari hoax, cacian, umpatan, dan lainnya. Belum lagi kasus-kasus cyber crime yang lain. Jika ini dibiarkan, efek destruktif dari dunia digital yang mungkin akan mendominasi hidup kita pada masa sekarang dan masa mendatang.
Terbentuknya sebuah masyarakat digital baru di Indonesia ini perlu disikapi serius oleh kita semua. Kita tidak ingin masyarakat digital ini menjadi liar yang justru memberi efek negatif bagi bangsa. Negara harus hadir membuat arahan berupa grand design masyarakat digital yang berisi pembinaan dan edukasi bagi masyarakat secara umum dalam memanfaatkan teknologi digital.
Pemerintah sedang membangun infrastruktur untuk memperluas daya jangkau serta penetrasi internet yang bernama proyek Palapa Ring, yaitu proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik sepanjang 36.000 kilometer yang menjangkau tiga bagian wilayah di seluruh Indonesia, baik Barat, Tengah, maupun Timur.
Tentu program ini wajib kita dukung untuk segera selesai sehingga penetrasi internet bisa dilakukan merata mulai dari Sabang hingga Merauke yang diharapkan juga pemerataan kesejahteraan karena akses digital bisa meningkatkan perekonomian.
Di beberapa negara seperti Inggris misalnya, ada program pembinaan yang sering disebut ”digital inclusion”. Masyarakat dibina untuk bisa memanfaatkan teknologi digital secara maksimal sesuai dengan jati diri bangsa. Dengan begitu tidak hanya menggunakannya untuk komunikasi pertemanan dan persahabatan, tapi bisa untuk kepentingan ekonomi dan bisnis.
Sepertinya kita bisa mengadaptasi program seperti ini namun dengan titik tekan pada ”how to treat a digital life?” Program pembinaan digital ini tidak melulu mengajarkan masyarakat bagaimana cara mengakses internet, bagaimana cara mengiklankan sebuah produk, atau bagaimana melatih kemampuan mereka agar mampu mendatangkan keuntungan finansial seperti dengan Google ads atau Facebook ads.
Namun, lebih jauh dari itu perlu diajarkan bagaimana etika dalam pergaulan di internet, bagaimana interaksi budaya digital, bagaimana pola hidup sehat dengan manajemen gadget, kapan kita boleh menggunakan gadget, dan kapan sebaiknya tidak menggunakannya (dalam 24 jam). Karena itu, perlu ditekankan juga muatan UU ITE agar masyarakat termotivasi mewujudkan internet sehat yang minim cacian, makian, menyinggung ras, suku, cyber crime, dan lainnya.
Pada tataran lebih teknis, program ini perlu dilakukan secara konvergen dengan institusi-institusi pendidikan, baik formal maupun informal, juga komunitas-komunitas yang ada di masyarakat, baik komunitas berdasar hobi, akademik, dan peminatan-peminatan lainnya. Selain itu, program-program pembinaan tentang digital ini perlu dilakukan berkelanjutan karena perkembangan teknologi digital sangat cepat dalam hitungan jam, menit, bahkan detik.
Berkelanjutan sangat diperlukan untuk mengupgrade dan mengasah kekuatan karakter serta kepribadian bangsa dalam bingkai Pancasila untuk menghadapi perkembangan teknologi terbaru. Agar di era digital ini bangsa kita tidak terlindas zaman, bahkan diharapkan mampu menjadi motor penggerak zaman.
(thm)