Menata Kembali Perubahan
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Penggurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,
Mediasi, dan Promosi. Pengemar Sirih
dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
UNGKAPAN "menata kembali perubahan" mengindikasikan bahwa kita, sebagai pribadi, organisasi, atau suatu komunitas –termasuk negara– merupakan pihak yang terkena perubahan. Kita menjadi obyek yang memanggul segenap konsekuensi dari perubahan yang dibuat oleh pihak lain di luar diri kita. Mungkin kebijakan pendidikan yang dibuat oleh orang pusat di Jakarta.
Dalam suatu diskusi merayakan pemikiran Mgr Sugijapranata, di Unika Sugijaprana Semarang, kata ”kita” di sini boleh dianggap merupakan representasi dari organisasi, yaitu Unika Soegijaprana itu sendiri. Dengan begitu jelas bahwa perubahan dilihat dari dalam, yaitu dari universitas tersebut.
Perubahan di sini bukan segala jenis perubahan dalam hidup, bukan perubahan selera makan atau mode pakaian yang serba jilbab atau sorban, melainkan terbatas pada ”perubahan sosial”, yang terjadi di dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, dalam nilai-nilai, norma-norma, maupun sikap dan perilaku manusia di dalam masyarakatnya. Kajian antropologi menggambarkan perubahan sosial seperti itu biasanya menimbulkan rasa cemas, takut, dan gugup, dengan berbagai ketegangan sosial yang tak begitu mudah dikembalikan pada titik stasioner sebagaimana semula sebelum perubahan sosial itu terjadi.
Untuk suatu waktu tertentu–mungkin pendek, mungkin panjang– kita hidup dalam ketegangan. Mungkin leadership di berbagai tingkatan mengalami kemacetan, tidak efektif, tidak jelas, dan mungkin ada beberapa pihak yang tak berani mengambil keputusan karena takut menghadapi kemungkinan risiko yang bisa saja terjadi di kemudian hari. Model leadership biasa akan begini jadinya. Kekacauan yang luas akan dibiarkan terjadi.
Di sini kita catat bahwa perubahan sosial yang datang dari luar tadi menelan korban. Kita menerima perubahan sosial dengan konsekuensi tadi. Leadership yang tidak biasa dan tidak takut menghadapi risiko perubahan, akan menghadapinya dengan sikap yang jelas: hidup memang penuh perubahan. Kalau takut perubahan, sebaiknya tidak usah hidup.
Lalu akan dilakukan suatu tindakan untuk menata kembali perubahan tersebut dengan segenap rasa tanggung jawab agar kita tetap mampu menjaga kelangsungan hidup organisasi kita. Apa pun risikonya, perubahan dihadapi, dan pelan-pelan, sambil membuat penyesuaian diri di sana sini –biasanya secara hati-hati dan seksama– ibaratnya tiap langkah diperhitungkan dan tiap ucapan kita dikalkulasi karena beribu-ribu manusia akan mendengar dan menjadikan ucapan kita suri tauladan. Tumindak sepecak dadya tulada, ngendika seklimah dadya hikmah. Mungkin ini bagian dari wisdom para pemimpin.
***
Ini baru satu segi perubahan sosial yang menempatkan diri kita sebagai pelengkap dalam kehidupan ini. Tapi kita bukan hanya pelengkap. Kita juga aktor, penentu arah, dan perumus realitas yang memiliki kekuasaan. Mungkin kita boleh menggunakan ungkapan lain: kita arsitek yang merumuskan nasib bagi diri kita sendiri.
Sikap ini tak harus ada di tangan penguasa besar seperti presiden, menteri, atau pemegang kedaulatan besar lainnya. Dalam posisi kita sebagai orang biasa, kita bisa mengembangkan pemikiran bahwa kita aktor sejarah, bahwa kita arsitek yang merancang nasib hari depan kita sendiri. Tokoh seperti ini bisa menjadi the great leader of all seasons, yang kita dambakan. Dialah yang akan dengan rendah hati dan pelan tapi tegas dan jelas berkata: kita mulai, sebelum orang lain memulainya. Sekaranglah momentum kita, bukan besok, karena bila besok baru kita mulai, orang lain mungkin sudah melesat di atas kita, di sekitar bintang-bintang di sana.
SD Dharmono memiliki tri wedatama, tiga ajaran utama: satu, kita harus terbiasa think big. Kalau mimpi, mimpilah yang besar sekalian karena mimpi besar dan mimpi kecil sama-sama gratis tapi keduanya sama-sama punya risiko. Dua, hati-hati, start small dulu. Ini wisdom orang yang memegang duit, yang tak mau bertaruh terlalu besar pada tindakan permulaan. Tiga, moving fast. Ini keharusan organisasi abad ini, abad yang mendera kita di zaman gila-gilaan sekarang, yang menuntut segala hal harus cepat.
Think big, start small, moving fast bisa kita replikasi dalam suatu konteks yang lain, di luar dunia bisnis. Apa pun bisnis kita, bisnis memburu laba dan bisnis nirlaba, pada dasarnya berbagi gagasan mengenai perlunya berhati-hati dalam tiap langkah, tertata dalam tiap ucapan kita, kata demi kata. Berhati-hati dan takut itu terkadang wajahnya tampak sama tapi mereka yang terlatih dalam leadership keduanya nyata tidak sama.
Dalam kajian antropologi ada wisdom lain: perubahan sosial bisa diantisipasi. Bagi yang memiliki sensitivitas budaya atau politik, gerak zaman itu bisa dibaca. Lalu pelan-pelan kita rumuskan langkah antisipasinya supaya kita tak tergilas oleh roda zaman. Kita sebaiknya naik roda yang berubah itu. Kita menjadi bagian dari perumus realitas, perumus apa yang mungkin disebut perubahan.
***
Unika Soegijapranata yang elite, punya disiplin tinggi dan watak transparan dalam manajemen apa pun, menjadi capital utama. Untuk merumuskan dirinya menjadi bagian dari the center of excellence, apa susahnya? Kita bisa memutuskan di bidang apa kita wajib unggul. Sebaiknya kita ambil paling banyak tiga segi. Mungkin di bidang penelitian, yang menghasilkan buku-buku akademik, yang dijadikan rujukan banyak pihak.
Mungkin bidang pendidikan, yang menghasilkan para sarjana utama, yang hebat dalam persaingan dengan pihak lain di dalam maupun di luar negeri. Mungkin bidang pengabdian masyarakat, yang menjadikan lembaga pengabdian di universitas ini suatu pusat kegiatan kaum aktivis.
Tiga hal ini mentereng. Ketiganya jelas merupakan kekuatan propaganda ke dalam maupun ke luar yang andal. Kita bayangkan, para peneliti asing harus merujuk ke sini dan mencari partner di sini. Tapi jika ingin mengembangkan diri di dalam segi-segi yang sifatnya spiritual, mencari ciri identitas spiritual yang kuat juga bagus. Ini Katolik yang terbuka bagi kekuatan agama mana pun dan di lembaga ini ada pusat kajian mengenai toleransi dan multikulturalisme yang punya kelas tersendiri, dan selalu memiliki ciri yang sangat disukai oleh para peneliti di mana pun. Sekali lagi, apa yang dilakukan secara akademik di sini selalu berubah menjadi buku yang dikonsumsi masyarakat akademik di mana pun.
Di tempat ini seminar selalu terbuka membahas banyak yang berhubungan dengan agama dan kebudayaan. Dalam situasi seperti itu, dengan sendirinya, juga lahir kaum intelektual yang dihormati. Ini tempat orang bertanya, karena di sini terdapat golongan manusia yang dalam wisdom Minangkabau dianggap selangkah didahulukan, seranting ditinggikan.
Dengan kata lain, semangat untuk selalu berada di depan, menjadi yang terhitung dan terpuji, mungkin bisa diraih dengan cara tersebut. Mereka yang di depan menjadi bukan sekadar perintis, melainkan juga teladan bagi mereka yang di belakang, jauh dari kita. Ini polisi elite yang mahal dan tak mungkin diraih oleh lebih banyak kalangan. Top ten tidak mungkin. Terlalu banyak dan tidak elite lagi. Kita memimpikan menjadi top three yang memang adiluhung beneran.
Menghadapi perubahan sosial yang pasti terjadi, mengantisipasinya secara akademik dan menata kembali perubahan tersebut dengan terampil secara teknis birokratik juga reflektif dari segi pendidikan, terutama segi-segi yang menggarap dan memfasilitasi lahirnya kaum intelektual yang sangat dihormati, mungkin bagus dijadikan impian bersama. Ini sebuah think big tadi.
Kita latihan membangun proyek-proyek akademik yang kecil, mikro, dengan fokus utama di bidang humaniora, yang agak nyata dan membumbung ke langit, akan menjadi teladan bagi universitas lain. Unika Soegijapranata mencetak identitas baru yang menarik perhatian publik kita. Mungkin kita teladan ilmu. Syukur sekaligus teladan laku.
Kapasitas seperti itu menjadi modal kita melangkah di zaman penuh tantangan sekarang. Sekali lagi, posisi kita sebagai aktor, penentu perubahan, perumus realitas, dan arsitek bagi diri kita sendiri tadi begitu jelas memandu kita untuk tiap saat mengantisipasi serta menciptakan perubahan yang membikin kita maju dan lebih dewasa.
Esais, Anggota Penggurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,
Mediasi, dan Promosi. Pengemar Sirih
dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
UNGKAPAN "menata kembali perubahan" mengindikasikan bahwa kita, sebagai pribadi, organisasi, atau suatu komunitas –termasuk negara– merupakan pihak yang terkena perubahan. Kita menjadi obyek yang memanggul segenap konsekuensi dari perubahan yang dibuat oleh pihak lain di luar diri kita. Mungkin kebijakan pendidikan yang dibuat oleh orang pusat di Jakarta.
Dalam suatu diskusi merayakan pemikiran Mgr Sugijapranata, di Unika Sugijaprana Semarang, kata ”kita” di sini boleh dianggap merupakan representasi dari organisasi, yaitu Unika Soegijaprana itu sendiri. Dengan begitu jelas bahwa perubahan dilihat dari dalam, yaitu dari universitas tersebut.
Perubahan di sini bukan segala jenis perubahan dalam hidup, bukan perubahan selera makan atau mode pakaian yang serba jilbab atau sorban, melainkan terbatas pada ”perubahan sosial”, yang terjadi di dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, dalam nilai-nilai, norma-norma, maupun sikap dan perilaku manusia di dalam masyarakatnya. Kajian antropologi menggambarkan perubahan sosial seperti itu biasanya menimbulkan rasa cemas, takut, dan gugup, dengan berbagai ketegangan sosial yang tak begitu mudah dikembalikan pada titik stasioner sebagaimana semula sebelum perubahan sosial itu terjadi.
Untuk suatu waktu tertentu–mungkin pendek, mungkin panjang– kita hidup dalam ketegangan. Mungkin leadership di berbagai tingkatan mengalami kemacetan, tidak efektif, tidak jelas, dan mungkin ada beberapa pihak yang tak berani mengambil keputusan karena takut menghadapi kemungkinan risiko yang bisa saja terjadi di kemudian hari. Model leadership biasa akan begini jadinya. Kekacauan yang luas akan dibiarkan terjadi.
Di sini kita catat bahwa perubahan sosial yang datang dari luar tadi menelan korban. Kita menerima perubahan sosial dengan konsekuensi tadi. Leadership yang tidak biasa dan tidak takut menghadapi risiko perubahan, akan menghadapinya dengan sikap yang jelas: hidup memang penuh perubahan. Kalau takut perubahan, sebaiknya tidak usah hidup.
Lalu akan dilakukan suatu tindakan untuk menata kembali perubahan tersebut dengan segenap rasa tanggung jawab agar kita tetap mampu menjaga kelangsungan hidup organisasi kita. Apa pun risikonya, perubahan dihadapi, dan pelan-pelan, sambil membuat penyesuaian diri di sana sini –biasanya secara hati-hati dan seksama– ibaratnya tiap langkah diperhitungkan dan tiap ucapan kita dikalkulasi karena beribu-ribu manusia akan mendengar dan menjadikan ucapan kita suri tauladan. Tumindak sepecak dadya tulada, ngendika seklimah dadya hikmah. Mungkin ini bagian dari wisdom para pemimpin.
***
Ini baru satu segi perubahan sosial yang menempatkan diri kita sebagai pelengkap dalam kehidupan ini. Tapi kita bukan hanya pelengkap. Kita juga aktor, penentu arah, dan perumus realitas yang memiliki kekuasaan. Mungkin kita boleh menggunakan ungkapan lain: kita arsitek yang merumuskan nasib bagi diri kita sendiri.
Sikap ini tak harus ada di tangan penguasa besar seperti presiden, menteri, atau pemegang kedaulatan besar lainnya. Dalam posisi kita sebagai orang biasa, kita bisa mengembangkan pemikiran bahwa kita aktor sejarah, bahwa kita arsitek yang merancang nasib hari depan kita sendiri. Tokoh seperti ini bisa menjadi the great leader of all seasons, yang kita dambakan. Dialah yang akan dengan rendah hati dan pelan tapi tegas dan jelas berkata: kita mulai, sebelum orang lain memulainya. Sekaranglah momentum kita, bukan besok, karena bila besok baru kita mulai, orang lain mungkin sudah melesat di atas kita, di sekitar bintang-bintang di sana.
SD Dharmono memiliki tri wedatama, tiga ajaran utama: satu, kita harus terbiasa think big. Kalau mimpi, mimpilah yang besar sekalian karena mimpi besar dan mimpi kecil sama-sama gratis tapi keduanya sama-sama punya risiko. Dua, hati-hati, start small dulu. Ini wisdom orang yang memegang duit, yang tak mau bertaruh terlalu besar pada tindakan permulaan. Tiga, moving fast. Ini keharusan organisasi abad ini, abad yang mendera kita di zaman gila-gilaan sekarang, yang menuntut segala hal harus cepat.
Think big, start small, moving fast bisa kita replikasi dalam suatu konteks yang lain, di luar dunia bisnis. Apa pun bisnis kita, bisnis memburu laba dan bisnis nirlaba, pada dasarnya berbagi gagasan mengenai perlunya berhati-hati dalam tiap langkah, tertata dalam tiap ucapan kita, kata demi kata. Berhati-hati dan takut itu terkadang wajahnya tampak sama tapi mereka yang terlatih dalam leadership keduanya nyata tidak sama.
Dalam kajian antropologi ada wisdom lain: perubahan sosial bisa diantisipasi. Bagi yang memiliki sensitivitas budaya atau politik, gerak zaman itu bisa dibaca. Lalu pelan-pelan kita rumuskan langkah antisipasinya supaya kita tak tergilas oleh roda zaman. Kita sebaiknya naik roda yang berubah itu. Kita menjadi bagian dari perumus realitas, perumus apa yang mungkin disebut perubahan.
***
Unika Soegijapranata yang elite, punya disiplin tinggi dan watak transparan dalam manajemen apa pun, menjadi capital utama. Untuk merumuskan dirinya menjadi bagian dari the center of excellence, apa susahnya? Kita bisa memutuskan di bidang apa kita wajib unggul. Sebaiknya kita ambil paling banyak tiga segi. Mungkin di bidang penelitian, yang menghasilkan buku-buku akademik, yang dijadikan rujukan banyak pihak.
Mungkin bidang pendidikan, yang menghasilkan para sarjana utama, yang hebat dalam persaingan dengan pihak lain di dalam maupun di luar negeri. Mungkin bidang pengabdian masyarakat, yang menjadikan lembaga pengabdian di universitas ini suatu pusat kegiatan kaum aktivis.
Tiga hal ini mentereng. Ketiganya jelas merupakan kekuatan propaganda ke dalam maupun ke luar yang andal. Kita bayangkan, para peneliti asing harus merujuk ke sini dan mencari partner di sini. Tapi jika ingin mengembangkan diri di dalam segi-segi yang sifatnya spiritual, mencari ciri identitas spiritual yang kuat juga bagus. Ini Katolik yang terbuka bagi kekuatan agama mana pun dan di lembaga ini ada pusat kajian mengenai toleransi dan multikulturalisme yang punya kelas tersendiri, dan selalu memiliki ciri yang sangat disukai oleh para peneliti di mana pun. Sekali lagi, apa yang dilakukan secara akademik di sini selalu berubah menjadi buku yang dikonsumsi masyarakat akademik di mana pun.
Di tempat ini seminar selalu terbuka membahas banyak yang berhubungan dengan agama dan kebudayaan. Dalam situasi seperti itu, dengan sendirinya, juga lahir kaum intelektual yang dihormati. Ini tempat orang bertanya, karena di sini terdapat golongan manusia yang dalam wisdom Minangkabau dianggap selangkah didahulukan, seranting ditinggikan.
Dengan kata lain, semangat untuk selalu berada di depan, menjadi yang terhitung dan terpuji, mungkin bisa diraih dengan cara tersebut. Mereka yang di depan menjadi bukan sekadar perintis, melainkan juga teladan bagi mereka yang di belakang, jauh dari kita. Ini polisi elite yang mahal dan tak mungkin diraih oleh lebih banyak kalangan. Top ten tidak mungkin. Terlalu banyak dan tidak elite lagi. Kita memimpikan menjadi top three yang memang adiluhung beneran.
Menghadapi perubahan sosial yang pasti terjadi, mengantisipasinya secara akademik dan menata kembali perubahan tersebut dengan terampil secara teknis birokratik juga reflektif dari segi pendidikan, terutama segi-segi yang menggarap dan memfasilitasi lahirnya kaum intelektual yang sangat dihormati, mungkin bagus dijadikan impian bersama. Ini sebuah think big tadi.
Kita latihan membangun proyek-proyek akademik yang kecil, mikro, dengan fokus utama di bidang humaniora, yang agak nyata dan membumbung ke langit, akan menjadi teladan bagi universitas lain. Unika Soegijapranata mencetak identitas baru yang menarik perhatian publik kita. Mungkin kita teladan ilmu. Syukur sekaligus teladan laku.
Kapasitas seperti itu menjadi modal kita melangkah di zaman penuh tantangan sekarang. Sekali lagi, posisi kita sebagai aktor, penentu perubahan, perumus realitas, dan arsitek bagi diri kita sendiri tadi begitu jelas memandu kita untuk tiap saat mengantisipasi serta menciptakan perubahan yang membikin kita maju dan lebih dewasa.
(kri)