Pengasuhan Anak Pasca-KDRT
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
CATATAN Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung, per Oktober 2016 menunjukkan penyebab dominan perceraian adalah tak bisa akurnya pasangan suami istri, yaitu mencapai 22.590 kasus (48,1%). Perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) "hanya" berjumlah 2.240 kasus (4,8%). Ketidakharmonisan suami istri dan KDRT sesungguhnya kurang tepat jika dikotak-kotakkan sebagai dua kategori terpisah. Keduanya bisa menjadi sebuah alur linear, yaitu andaikan ketidakakuran suami istri terus berlanjut dan bereskalasi. Boleh jadi pada fase berikutnya kekerasan domestik akan menjadi warna legam dalam relasi suami istri. Itu berarti KDRT berpotensi mempertinggi jumlah perceraian ketika ketidakakuran suami istri terus bereskalasi.
Meskipun pahit, perceraian menyusul KDRT semestinya bisa memperbesar peluang bagi anak untuk bertumbuh kembang secara lebih sehat. Namun problematis, pada sekian banyak kasus perceraian yang disebabkan KDRT, ada kesan kuat hakim cenderung otomatis memberikan kuasa asuh kepada pihak yang telah menjadi korban KDRT. Karena istri diidentikkan sebagai pihak yang lebih berpeluang menjadi korban KDRT, maka istrilah (ibu) yang mendapat kuasa asuh atas anak. Penyikapan apriori sedemikian rupa mengakibatkan peluang perceraian menjadi jalan keluar atas masalah anak justru menipis.
Tidak sedikit aktivis perempuan yang mendukung putusan hakim bahwa dalam perceraian disertai KDRT, kuasa asuh adalah milik ibu secara otomatis. Argumentasinya karena anak telah menyaksikan perilaku kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibu, maka cara menetralisasi dampak buruknya terhadap anak adalah dengan menjauhkan anak dari figur keji tersebut.
Pemisahan anak dari orang tua yang menjadi pelaku KDRT—dalam hal ini ayah—hingga beberapa segi memiliki pembenaran teoritis, yakni proses peniruan (modelling process, Social Learning Theory). Memosisikan anak dalam pengasuhan ibu diyakini akan mengikis pengaruh contoh buruk ayah sehingga anak nanti tidak menduplikasi kelakuan ayahnya. Ayah pun ditimpakan status tambahan, yaitu selain sebagai orang tua yang melakukan KDRT, dianggap juga pasti tidak mampu berperan sebagai orang tua efektif.
Parental alienation pun terlihat di depan mata. Wujudnya, setelah hakim memutuskan kuasa asuh berada pada pihak ibu, maka ibu kemudian menutup akses anak berinteraksi dengan ayahnya. Propaganda hitam dilakukan si ibu membangun jarak psikologis selebar mungkin antara anak dan ayah. Sampai-sampai anak menolak bahkan membenci ayah kandungnya sendiri.
Ibu abai pada kenyataan bahwa tindakannya tersebut senyatanya juga merupakan bentuk kekerasan psikis terhadap anak. Jadi sungguh ironis, korban KDRT memperoleh kuasa asuh namun kemudian juga menjadi pelaku kekerasan terhadap darah daging yang ia pegang kuasa asuhnya. Pemisahan sepihak seperti itu melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak karena pemisahan hanya boleh dilakukan sebagai opsi terakhir demi kepentingan terbaik anak serta dilakukan oleh otoritas terkait. Ketiga persyaratan tersebut mengindikasikan bahwa pemisahan harus didahului proses assesment.
Pada sisi lain, studi menemukan bahwa suami (ayah, pelaku KDRT) dan istri (ibu, korban KDRT) sama-sama membawa kecenderungan setara untuk menyakiti anak mereka. Kajian tersebut mematahkan Social Learning Theory sebagai justifikasi teoritis untuk menyerahkan anak-anak kepada ibu (korban KDRT) dan menjauhkan mereka dari ayah. Peniruan dengan kata lain, tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi tunggal apalagi mutlak untuk menyerahkan kuasa asuh kepada ibu semata-mata agar anak tidak mengembangkan tabiat dan perilaku kekerasan.
Berangkat dari studi di atas, katarsis-substitusi justru bisa berfungsi sebagai argumentasi untuk tidak serta-merta memberikan kuasa asuh kepada korban KDRT (ibu). Istri yang tidak mampu menyerang balik pasangannya justru bisa menjadikan anak sebagai sasaran pengganti. Kepada anak, ibu selaku korban KDRT melampiaskan amarah dan perasaan-perasaan negatif lainnya yang tidak bisa ia arahkan kepada suami selaku sasaran sebenarnya (pelaku KDRT).
Betapa pun simpati terulur kepada ibu selaku korban KDRT, tapi perkara kuasa asuh anak tidak semestinya ditilik dari sudut pandang tentang penderitaan korban KDRT. Kuasa asuh anak tetap merupakan persoalan berbeda dengan konflik antara suami dan istri. Kuasa asuh anak harus didudukkan semata-mata pada pemenuhan kepentingan terbaik anak, bukan pada fondasi lain. Hal ini penting digarisbawahi agar tidak terjadi kerancuan antara—di satu sisi—simpati terhadap istri yang bercerai sekaligus menjadi korban KDRT dan di sisi lain keberpihakan terhadap anak korban perceraian.
Kuasa asuh anak tidak boleh dipersembahkan sebagai penawar atas kegetiran yang dialami korban KDRT. Atas dasar itu, dalam kasus KDRT, termasuk istri adalah korban, kuasa asuh tetap tidak boleh secara by default diberikan kepada istri. Terlebih karena perceraian berlangsung pada pasangan yang bermusuhan satu sama lain, maka kompetensi pengasuhan masing-masing pihak, baik suami maupun istri, semakin penting untuk ditakar dengan sebaik-baiknya.
Esensi persidangan dalam menentukan pengasuhan anak, tak lain adalah bagaimana hakim menilai kompetensi calon pemegang kuasa asuh, baik dengan maupun tanpa bantuan amicus curiae. Amicus curiae adalah ahli atau pihak yang memang secara profesional memiliki kecakapan dalam menakar kompetensi calon pengasuh.
Pada akhirnya, perceraian bukanlah peristiwa ideal bagi tumbuh kembang anak. Terlebih manakala perceraian dilatarbelakangi oleh gontok-gontokan fisik antara ayah dan ibu serta tidak ada pembenaran untuk KDRT. Ini semua memantik kerisauan tentang bagaimana kelanggengan keluarga-keluarga Indonesia pada masa-masa ke depan. Tapi ketika tragedi perceraian tak terhindarkan, apakah pengalaman menjadi korban KDRT serta-merta membuat korban (terutama ibu) memiliki kompetensi pengasuhan sehingga langsung layak memegang kuasa asuh? Demi kepentingan terbaik anak, jawabannya adalah tentu tidak. Allahu alam.
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
CATATAN Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung, per Oktober 2016 menunjukkan penyebab dominan perceraian adalah tak bisa akurnya pasangan suami istri, yaitu mencapai 22.590 kasus (48,1%). Perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) "hanya" berjumlah 2.240 kasus (4,8%). Ketidakharmonisan suami istri dan KDRT sesungguhnya kurang tepat jika dikotak-kotakkan sebagai dua kategori terpisah. Keduanya bisa menjadi sebuah alur linear, yaitu andaikan ketidakakuran suami istri terus berlanjut dan bereskalasi. Boleh jadi pada fase berikutnya kekerasan domestik akan menjadi warna legam dalam relasi suami istri. Itu berarti KDRT berpotensi mempertinggi jumlah perceraian ketika ketidakakuran suami istri terus bereskalasi.
Meskipun pahit, perceraian menyusul KDRT semestinya bisa memperbesar peluang bagi anak untuk bertumbuh kembang secara lebih sehat. Namun problematis, pada sekian banyak kasus perceraian yang disebabkan KDRT, ada kesan kuat hakim cenderung otomatis memberikan kuasa asuh kepada pihak yang telah menjadi korban KDRT. Karena istri diidentikkan sebagai pihak yang lebih berpeluang menjadi korban KDRT, maka istrilah (ibu) yang mendapat kuasa asuh atas anak. Penyikapan apriori sedemikian rupa mengakibatkan peluang perceraian menjadi jalan keluar atas masalah anak justru menipis.
Tidak sedikit aktivis perempuan yang mendukung putusan hakim bahwa dalam perceraian disertai KDRT, kuasa asuh adalah milik ibu secara otomatis. Argumentasinya karena anak telah menyaksikan perilaku kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibu, maka cara menetralisasi dampak buruknya terhadap anak adalah dengan menjauhkan anak dari figur keji tersebut.
Pemisahan anak dari orang tua yang menjadi pelaku KDRT—dalam hal ini ayah—hingga beberapa segi memiliki pembenaran teoritis, yakni proses peniruan (modelling process, Social Learning Theory). Memosisikan anak dalam pengasuhan ibu diyakini akan mengikis pengaruh contoh buruk ayah sehingga anak nanti tidak menduplikasi kelakuan ayahnya. Ayah pun ditimpakan status tambahan, yaitu selain sebagai orang tua yang melakukan KDRT, dianggap juga pasti tidak mampu berperan sebagai orang tua efektif.
Parental alienation pun terlihat di depan mata. Wujudnya, setelah hakim memutuskan kuasa asuh berada pada pihak ibu, maka ibu kemudian menutup akses anak berinteraksi dengan ayahnya. Propaganda hitam dilakukan si ibu membangun jarak psikologis selebar mungkin antara anak dan ayah. Sampai-sampai anak menolak bahkan membenci ayah kandungnya sendiri.
Ibu abai pada kenyataan bahwa tindakannya tersebut senyatanya juga merupakan bentuk kekerasan psikis terhadap anak. Jadi sungguh ironis, korban KDRT memperoleh kuasa asuh namun kemudian juga menjadi pelaku kekerasan terhadap darah daging yang ia pegang kuasa asuhnya. Pemisahan sepihak seperti itu melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak karena pemisahan hanya boleh dilakukan sebagai opsi terakhir demi kepentingan terbaik anak serta dilakukan oleh otoritas terkait. Ketiga persyaratan tersebut mengindikasikan bahwa pemisahan harus didahului proses assesment.
Pada sisi lain, studi menemukan bahwa suami (ayah, pelaku KDRT) dan istri (ibu, korban KDRT) sama-sama membawa kecenderungan setara untuk menyakiti anak mereka. Kajian tersebut mematahkan Social Learning Theory sebagai justifikasi teoritis untuk menyerahkan anak-anak kepada ibu (korban KDRT) dan menjauhkan mereka dari ayah. Peniruan dengan kata lain, tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi tunggal apalagi mutlak untuk menyerahkan kuasa asuh kepada ibu semata-mata agar anak tidak mengembangkan tabiat dan perilaku kekerasan.
Berangkat dari studi di atas, katarsis-substitusi justru bisa berfungsi sebagai argumentasi untuk tidak serta-merta memberikan kuasa asuh kepada korban KDRT (ibu). Istri yang tidak mampu menyerang balik pasangannya justru bisa menjadikan anak sebagai sasaran pengganti. Kepada anak, ibu selaku korban KDRT melampiaskan amarah dan perasaan-perasaan negatif lainnya yang tidak bisa ia arahkan kepada suami selaku sasaran sebenarnya (pelaku KDRT).
Betapa pun simpati terulur kepada ibu selaku korban KDRT, tapi perkara kuasa asuh anak tidak semestinya ditilik dari sudut pandang tentang penderitaan korban KDRT. Kuasa asuh anak tetap merupakan persoalan berbeda dengan konflik antara suami dan istri. Kuasa asuh anak harus didudukkan semata-mata pada pemenuhan kepentingan terbaik anak, bukan pada fondasi lain. Hal ini penting digarisbawahi agar tidak terjadi kerancuan antara—di satu sisi—simpati terhadap istri yang bercerai sekaligus menjadi korban KDRT dan di sisi lain keberpihakan terhadap anak korban perceraian.
Kuasa asuh anak tidak boleh dipersembahkan sebagai penawar atas kegetiran yang dialami korban KDRT. Atas dasar itu, dalam kasus KDRT, termasuk istri adalah korban, kuasa asuh tetap tidak boleh secara by default diberikan kepada istri. Terlebih karena perceraian berlangsung pada pasangan yang bermusuhan satu sama lain, maka kompetensi pengasuhan masing-masing pihak, baik suami maupun istri, semakin penting untuk ditakar dengan sebaik-baiknya.
Esensi persidangan dalam menentukan pengasuhan anak, tak lain adalah bagaimana hakim menilai kompetensi calon pemegang kuasa asuh, baik dengan maupun tanpa bantuan amicus curiae. Amicus curiae adalah ahli atau pihak yang memang secara profesional memiliki kecakapan dalam menakar kompetensi calon pengasuh.
Pada akhirnya, perceraian bukanlah peristiwa ideal bagi tumbuh kembang anak. Terlebih manakala perceraian dilatarbelakangi oleh gontok-gontokan fisik antara ayah dan ibu serta tidak ada pembenaran untuk KDRT. Ini semua memantik kerisauan tentang bagaimana kelanggengan keluarga-keluarga Indonesia pada masa-masa ke depan. Tapi ketika tragedi perceraian tak terhindarkan, apakah pengalaman menjadi korban KDRT serta-merta membuat korban (terutama ibu) memiliki kompetensi pengasuhan sehingga langsung layak memegang kuasa asuh? Demi kepentingan terbaik anak, jawabannya adalah tentu tidak. Allahu alam.
(mhd)