Kemerdekaan sebagai Jembatan Emas
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
TERSEBUTLAH dalam salah satu seri Ramayana lakon Rama Tambak. Ini kisah Batara Rama membuat tambak untuk menyeberang lautan menuju Negeri Alengkadiraja. Raja Alengka, Rahwana, telah menculik Shinta, istri Rama. Tak ada pilihan bagi Rama kecuali membuat tambak agar segenap prajuritnya bisa mencapai Alengka.
Pengerahan kekuatan balatentara bukan sekadar untuk merebut kembali, atau membebaskan Shinta. Juga tak terkandung sedikit pun niat menguasai negeri itu. Rama bukan raja yang suka menjajah negeri lain.
Titisan Dewa Wisnu berbicara dalam bahasa rohani para dewa: menyeberang ke Alengka itu tujuan utamanya memelihara tegaknya kehidupan dan menata keadilan dunia. Wisnu, kita tahu, dewa yang memanggul kewajiban memelihara kehidupan ini dengan sebaik-baiknya agar hidup tetap lestari dalam semangat keadilan yang mencerminkan rasa kemanusiaan.
Menculik istri orang sebagaimana dilakukan Rahwana bukan hanya bertentangan dengan rasa adil dalam hidup, tapi juga merusak watak kemanusiaan. Dia merusak sang istri, merusak sang suami, dan merusak kehidupan. Ini watak angkara murka yang harus dibasmi. Dan, Rama memanggul kewajiban dunia untuk melakukannya.
Begitulah dalam penderitaannya yang panjang sesudah Shinta diculik, Rama hampir kehilangan kewarasannya. Namun, titisan Dewa Wisnu ini segera sadar. Dia memanggul kewajiban memelihara dunia. Dan, dewa-dewa di Kahyangan Suralaya pun memberikan bantuan.
Sesudah melalui perjuangan panjang, yang penuh ketegangan, Rama bertemu raja kera yang sedang menderita. Rama menolongnya dan sang raja kera, Sugriwa, bersedia menyerahkan kekuatan seluruh prajurit kera di hutan-hutan di sekitar Gua Kiskenda, untuk membantu Rama. Kera bernama Hanoman kemudian mengabdi pada Rama. Dan, barisan inilah yang kelak akan menyeberang ke Alengka sesudah jembatan itu selesai dibangun.
Ringkasnya, jembatan itu selesai dan mulailah prajurit kera itu menyeberang. Mereka bukan menyeberang dengan nyaman seperti kisah para wisatawan yang hanya bertujuan bersukacita. Prajurit kera ini menyeberang untuk berperang. Jadi, dapatlah dimengerti bila di sepanjang jalan menyeberang lautan itu mereka berhadapan dengan berbagai macam kekuatan lawan yang sakti dan tak mudah dikalahkan. Tapi prajurit Rama, prajurit titisan dewa yang mahasakti, unggul dalam pertarungan awal hingga mereka tiba di negeri lawan.
Kita tahu, Rama--yang memiliki jiwa merdeka itu, menggunakan jembatan tersebut sebagai sarana utama memelihara tegaknya kehidupan dan membebaskan kembali istrinya. Bagi Rama, ini bukan perjuangan pribadi. Melalui urusan pribadi, Rama mengabdi pada dunia, memastikan bahwa keadilan yang sedang terganggu hendak ditegakkannya kembali.
Rama menggunakan sebuah jembatan emas bikinannya sendiri untuk mengatur kebaikan dunia. Rama, titisan dewa, pun memerlukan sebuah jembatan, apalagi bangsa Indonesia.
Bangsa besar ini memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan sporadis di berbagai daerah, dengan pemimpin daerah: sultan, raja, atau pemimpin masyarakat lain, yang juga mendambakan kemerdekaan.
Banyak perlawanan bersenjata sejak awal pergerakan kemerdekaan. Banyak korban jatuh sebagai pembela bangsa. Mereka kita sebut kusuma bangsa. Dalam pemikiran lain, para korban itu disebut syuhada: mereka yang gugur dalam perang suci membela bangsa dan negara dan kita tak pernah memperhitungkan untung-rugi dalam pergerakan. Gugur, mati di medan tempur, tak menyurutkan semangat kita.
Sebaliknya, mereka yang gugur telah menjadi kekuatan dan semangat baru yang begitu berkobar di dalam jiwa kita. Diam-diam banyak di antara kita yang berkata setidaknya dalam hati untuk tak akan merasa gentar bila dia pun gugur di pematang sawah, atau di pinggir kali.
Ini perjuangan panjang yang tak pernah membuat kita merasa lelah. Tetapi di kemudian hari, kita memikirkan strategi. ‘Beradu otot, beradu senjata, tak terlalu strategis bagi kita. Maka kita pun mencari strategi lain. Dan bangkitlah kekuatan kita: kekuatan baru yang tampak dalam berbagai organisasi pergerakan modern.
Organisasi-organisasi itu menyebarkan kesadaran untuk merdeka ke seluas mungkin wilayah kita. Dan serentak dengan itu, tampillah kekuatan dari kalangan kaum muda. Kita menyebut mereka kaum muda pergerakan yang cerdas, berani, dan siap bertaruh apa saja demi kemerdekaan bangsa kita.
Kita harus merdeka. Hanya ada satu pilihan: merdeka atau mati. Ini teriakan kaum muda di medan laga. Dan, kaum muda ini datang dari berbagai kalangan masyarakat. Semua golongan bergerak. Semua golongan mengirimkan kaum mudanya untuk turut berjuang.
Kita tak pernah merasa ada satu golongan lebih baik lebih siap berkorban dari golongan lain. Semua golongan berjuang. Semua golongan siap turun ke medan tempur. Semua golongan menyerahkan tenaga, pikiran, harta dan jika perlu juga nyawanya untuk bisa membuat negeri dan bangsa kita merdeka.
Selain jerit perjuangan yang meneriakkan ungkapan "merdeka atau mati", di kemudian hari kita pun bernyanyi: merdeka, merdeka, seruan bangsa kita/tetap teguh negeri kita/Indonesia merdeka.
Di pihak lain, terdengar nyanyian sendu tapi patriotik dan begitu mendalam: ‘tanah airku Indonesia/negeri elok amat kucinta....pulau melati pujaan bangsa/ sejak dulu kala...’
Momentum sejarah paling romantik, paling heroik, dan paling dekat dengan jiwa kita, jiwa seluruh bangsa, terjadi pada pukul 10 pagi di Jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta: Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia meneriakkan Proklamasi Kemerdekaan ke seluruh dunia. Itu detik-detik ketika kita mulai merdeka. Kita merdeka karena kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Kita ini juga sebuah bangsa. Jadi mengapa kita tak boleh merdeka.
Bung Karno meneriakkan semangat bahwa kita merupakan kekuatan baru dunia: new emerging forces. Dan kemudian Bung Karno menggalang kekuatan negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia-Afrika.
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 merupakan tanda bangkitnya kekuatan baru yang tak harus mengiblat pada kekuatan lama ’old emerging forces’ karena di dalamnya terdapat kekuatan terkutuk: neokolonialisme dan imperialisme yang ditentang mati-matian oleh Bung Karno, pemimpin kita. Ganyang nekolim itu milik Bung Karno dan kemudian menjadi milik kita.
Negara-negara maju memiliki tradisi yang ditampilkan dalam suatu pesta olahraga yang disebut Olimpiade yang terkenal itu. Bung Karno punya Ganefo: Games of the new emerging forces yang telah menjadi milik dunia, untuk menyaingi Olimpiade.
Jiwa merdeka dan semangat mandiri ada dalam pribadi Bung Karno. Tak mengherankan bila sebagai tokoh politik, Bung Karno dipuja banyak kalangan dalam masyarakat sebagai tokoh yang penuh warna: Bung Karno tokoh historis yang kita hormati, tapi beliau pun didudukkan di dalam posisi sebagai tokoh mitologis yang kita puja-puja.
Orde Baru ketakutan pada Bung Karno, dan Pak Harto maupun Nugroho Notosusanto merasa wajib mengkhianatinya. Pak Harto punya pamrih politik agar sorot Bung Karno tak menyilaukannya. Nugroho punya pamrih menjadi rektor dan menteri pendidikan dan kebudayaan.
Bung Karno memandang kemerdekaan bangsa sebagai jembatan emas untuk mewujudkan mandat konstitusi memakmurkan rakyat, membikin rakyat mampu hidup mandiri dan sejajar dengan siapa pun bangsa lain di muka bumi ini.
Dan, idiom merdeka sebagai jembatan itu hidup hingga sekarang. Pak Jokowi menjadikannya kapital. Dan, presiden kita ini pelan-pelan mengikuti jejak Bung Karno untuk memuliakan rakyat, memuliakan bangsanya. Pak Jokowi punya sepak terjang tak terduga. Orang meremehkannya, mengejek, dan memfitnah. Tapi Pak Jokowi yang jiwanya merdeka itu tak terbakar. Beliau hanya bilang: ra popo , tidak apa-apa, dan kemudian memang tidak apa-apa.
Kita baru saja memperingati hari kemerdekaan itu. Kita memperingati kemerdekaan sebagai jembatan emas, dan presiden membuat jembatan seperti itu di mana-mana, yang selama ini tak dibuat dan diabaikan oleh mereka yang memerintah sebelumnya.
Batara Rama punya jembatan emas menuju Alengka, untuk menata kehidupan dan Presiden Jokowi memandang jembatan emas dengan optimisme seorang pekerja keras dan jujur. Beliau tahu untuk apa jembatan itu.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
TERSEBUTLAH dalam salah satu seri Ramayana lakon Rama Tambak. Ini kisah Batara Rama membuat tambak untuk menyeberang lautan menuju Negeri Alengkadiraja. Raja Alengka, Rahwana, telah menculik Shinta, istri Rama. Tak ada pilihan bagi Rama kecuali membuat tambak agar segenap prajuritnya bisa mencapai Alengka.
Pengerahan kekuatan balatentara bukan sekadar untuk merebut kembali, atau membebaskan Shinta. Juga tak terkandung sedikit pun niat menguasai negeri itu. Rama bukan raja yang suka menjajah negeri lain.
Titisan Dewa Wisnu berbicara dalam bahasa rohani para dewa: menyeberang ke Alengka itu tujuan utamanya memelihara tegaknya kehidupan dan menata keadilan dunia. Wisnu, kita tahu, dewa yang memanggul kewajiban memelihara kehidupan ini dengan sebaik-baiknya agar hidup tetap lestari dalam semangat keadilan yang mencerminkan rasa kemanusiaan.
Menculik istri orang sebagaimana dilakukan Rahwana bukan hanya bertentangan dengan rasa adil dalam hidup, tapi juga merusak watak kemanusiaan. Dia merusak sang istri, merusak sang suami, dan merusak kehidupan. Ini watak angkara murka yang harus dibasmi. Dan, Rama memanggul kewajiban dunia untuk melakukannya.
Begitulah dalam penderitaannya yang panjang sesudah Shinta diculik, Rama hampir kehilangan kewarasannya. Namun, titisan Dewa Wisnu ini segera sadar. Dia memanggul kewajiban memelihara dunia. Dan, dewa-dewa di Kahyangan Suralaya pun memberikan bantuan.
Sesudah melalui perjuangan panjang, yang penuh ketegangan, Rama bertemu raja kera yang sedang menderita. Rama menolongnya dan sang raja kera, Sugriwa, bersedia menyerahkan kekuatan seluruh prajurit kera di hutan-hutan di sekitar Gua Kiskenda, untuk membantu Rama. Kera bernama Hanoman kemudian mengabdi pada Rama. Dan, barisan inilah yang kelak akan menyeberang ke Alengka sesudah jembatan itu selesai dibangun.
Ringkasnya, jembatan itu selesai dan mulailah prajurit kera itu menyeberang. Mereka bukan menyeberang dengan nyaman seperti kisah para wisatawan yang hanya bertujuan bersukacita. Prajurit kera ini menyeberang untuk berperang. Jadi, dapatlah dimengerti bila di sepanjang jalan menyeberang lautan itu mereka berhadapan dengan berbagai macam kekuatan lawan yang sakti dan tak mudah dikalahkan. Tapi prajurit Rama, prajurit titisan dewa yang mahasakti, unggul dalam pertarungan awal hingga mereka tiba di negeri lawan.
Kita tahu, Rama--yang memiliki jiwa merdeka itu, menggunakan jembatan tersebut sebagai sarana utama memelihara tegaknya kehidupan dan membebaskan kembali istrinya. Bagi Rama, ini bukan perjuangan pribadi. Melalui urusan pribadi, Rama mengabdi pada dunia, memastikan bahwa keadilan yang sedang terganggu hendak ditegakkannya kembali.
Rama menggunakan sebuah jembatan emas bikinannya sendiri untuk mengatur kebaikan dunia. Rama, titisan dewa, pun memerlukan sebuah jembatan, apalagi bangsa Indonesia.
Bangsa besar ini memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan sporadis di berbagai daerah, dengan pemimpin daerah: sultan, raja, atau pemimpin masyarakat lain, yang juga mendambakan kemerdekaan.
Banyak perlawanan bersenjata sejak awal pergerakan kemerdekaan. Banyak korban jatuh sebagai pembela bangsa. Mereka kita sebut kusuma bangsa. Dalam pemikiran lain, para korban itu disebut syuhada: mereka yang gugur dalam perang suci membela bangsa dan negara dan kita tak pernah memperhitungkan untung-rugi dalam pergerakan. Gugur, mati di medan tempur, tak menyurutkan semangat kita.
Sebaliknya, mereka yang gugur telah menjadi kekuatan dan semangat baru yang begitu berkobar di dalam jiwa kita. Diam-diam banyak di antara kita yang berkata setidaknya dalam hati untuk tak akan merasa gentar bila dia pun gugur di pematang sawah, atau di pinggir kali.
Ini perjuangan panjang yang tak pernah membuat kita merasa lelah. Tetapi di kemudian hari, kita memikirkan strategi. ‘Beradu otot, beradu senjata, tak terlalu strategis bagi kita. Maka kita pun mencari strategi lain. Dan bangkitlah kekuatan kita: kekuatan baru yang tampak dalam berbagai organisasi pergerakan modern.
Organisasi-organisasi itu menyebarkan kesadaran untuk merdeka ke seluas mungkin wilayah kita. Dan serentak dengan itu, tampillah kekuatan dari kalangan kaum muda. Kita menyebut mereka kaum muda pergerakan yang cerdas, berani, dan siap bertaruh apa saja demi kemerdekaan bangsa kita.
Kita harus merdeka. Hanya ada satu pilihan: merdeka atau mati. Ini teriakan kaum muda di medan laga. Dan, kaum muda ini datang dari berbagai kalangan masyarakat. Semua golongan bergerak. Semua golongan mengirimkan kaum mudanya untuk turut berjuang.
Kita tak pernah merasa ada satu golongan lebih baik lebih siap berkorban dari golongan lain. Semua golongan berjuang. Semua golongan siap turun ke medan tempur. Semua golongan menyerahkan tenaga, pikiran, harta dan jika perlu juga nyawanya untuk bisa membuat negeri dan bangsa kita merdeka.
Selain jerit perjuangan yang meneriakkan ungkapan "merdeka atau mati", di kemudian hari kita pun bernyanyi: merdeka, merdeka, seruan bangsa kita/tetap teguh negeri kita/Indonesia merdeka.
Di pihak lain, terdengar nyanyian sendu tapi patriotik dan begitu mendalam: ‘tanah airku Indonesia/negeri elok amat kucinta....pulau melati pujaan bangsa/ sejak dulu kala...’
Momentum sejarah paling romantik, paling heroik, dan paling dekat dengan jiwa kita, jiwa seluruh bangsa, terjadi pada pukul 10 pagi di Jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta: Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia meneriakkan Proklamasi Kemerdekaan ke seluruh dunia. Itu detik-detik ketika kita mulai merdeka. Kita merdeka karena kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Kita ini juga sebuah bangsa. Jadi mengapa kita tak boleh merdeka.
Bung Karno meneriakkan semangat bahwa kita merupakan kekuatan baru dunia: new emerging forces. Dan kemudian Bung Karno menggalang kekuatan negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia-Afrika.
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 merupakan tanda bangkitnya kekuatan baru yang tak harus mengiblat pada kekuatan lama ’old emerging forces’ karena di dalamnya terdapat kekuatan terkutuk: neokolonialisme dan imperialisme yang ditentang mati-matian oleh Bung Karno, pemimpin kita. Ganyang nekolim itu milik Bung Karno dan kemudian menjadi milik kita.
Negara-negara maju memiliki tradisi yang ditampilkan dalam suatu pesta olahraga yang disebut Olimpiade yang terkenal itu. Bung Karno punya Ganefo: Games of the new emerging forces yang telah menjadi milik dunia, untuk menyaingi Olimpiade.
Jiwa merdeka dan semangat mandiri ada dalam pribadi Bung Karno. Tak mengherankan bila sebagai tokoh politik, Bung Karno dipuja banyak kalangan dalam masyarakat sebagai tokoh yang penuh warna: Bung Karno tokoh historis yang kita hormati, tapi beliau pun didudukkan di dalam posisi sebagai tokoh mitologis yang kita puja-puja.
Orde Baru ketakutan pada Bung Karno, dan Pak Harto maupun Nugroho Notosusanto merasa wajib mengkhianatinya. Pak Harto punya pamrih politik agar sorot Bung Karno tak menyilaukannya. Nugroho punya pamrih menjadi rektor dan menteri pendidikan dan kebudayaan.
Bung Karno memandang kemerdekaan bangsa sebagai jembatan emas untuk mewujudkan mandat konstitusi memakmurkan rakyat, membikin rakyat mampu hidup mandiri dan sejajar dengan siapa pun bangsa lain di muka bumi ini.
Dan, idiom merdeka sebagai jembatan itu hidup hingga sekarang. Pak Jokowi menjadikannya kapital. Dan, presiden kita ini pelan-pelan mengikuti jejak Bung Karno untuk memuliakan rakyat, memuliakan bangsanya. Pak Jokowi punya sepak terjang tak terduga. Orang meremehkannya, mengejek, dan memfitnah. Tapi Pak Jokowi yang jiwanya merdeka itu tak terbakar. Beliau hanya bilang: ra popo , tidak apa-apa, dan kemudian memang tidak apa-apa.
Kita baru saja memperingati hari kemerdekaan itu. Kita memperingati kemerdekaan sebagai jembatan emas, dan presiden membuat jembatan seperti itu di mana-mana, yang selama ini tak dibuat dan diabaikan oleh mereka yang memerintah sebelumnya.
Batara Rama punya jembatan emas menuju Alengka, untuk menata kehidupan dan Presiden Jokowi memandang jembatan emas dengan optimisme seorang pekerja keras dan jujur. Beliau tahu untuk apa jembatan itu.
(dam)