Elite Politik Memberi Contoh
A
A
A
PEMIMPIN memberikan contoh, yang dipimpin akan mengikuti. Konsep itu ada dalam konsep kepemimpinan mana pun, termasuk dalam konsep-konsep klasik yang menjadi kearifan budaya Indonesia yang majemuk.
Dalam dunia yang terus berkembang dengan laju yang sangat cepat ini, contoh yang baik kian dibutuhkan oleh rakyat dari para pemimpinnya.
Sayangnya, contoh itu sempat hilang beberapa waktu belakangan. Rivalitas politik yang dijalani oleh para elite rupanya terlalu dianggap personal sehingga tercium aroma permusuhan. Situasi negatif seperti ini akan dengan sangat mudah menular ke rakyat.
Syukurlah, pada perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-72 tahun di Istana Negara pada 17 Agustus lalu para elite politik negeri ini memberikan contoh bagaimana kehangatan masih harus tetap dijaga walaupun berseberangan kepentingan politik.
Untuk pertama kalinya setelah 13 tahun, seluruh Presiden Republik Indonesia yang masih hidup bersama-sama merayakan hari sakral tersebut di Istana Negara. Ada Presiden Bacharudin Jusuf Habibie, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan tentunya tak lupa Presiden Joko Widodo yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Acara kenegaraan dengan baju adat itu tentu bukan rutinitas biasa. Ada suatu nilai yang dipampangkan ke hadapan publik untuk dicontoh. Selain menjadi penanda terkait kebinekaan Indonesia yang tetap tunggal ika, juga menunjukkan bahwa politik hanyalah masalah rivalitas, bukan permusuhan.
Cairnya komunikasi yang sempat beku tentu mendatangkan kelegaan. Sudah menjadi rahasia umum misalnya bahwa hubungan Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak akur.
Hubungan keduanya memburuk sejak Presiden SBY sebagai salah satu menteri dalam kabinet Presiden Mega mengundurkan diri hingga akhirnya mengalahkan Presiden Megawati pada Pemilihan Presiden 2004.
Namun, apa yang kita lihat pada perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus lalu sangat melegakan. Kedua pemimpin tersebut akhirnya menunjukkan kelasnya sebagai negarawan ketika saling sapa dengan cukup hangat. "Beda pilihan politik, tapi untuk urusan Merah Putih harus bersama," frase ini dan variannya tiba-tiba menyeruak ke wacana publik sejak perayaan 17 Agustus dua hari lalu. Sangat banyak politisi yang mengatakannya.
Sungguh sangat melegakan setelah kita beberapa waktu belakangan menghadapi badai politik yang sedemikian hebat. Bahkan tak sedikit pihak yang menilai badai politik yang kita hadapi bisa menggoyahkan sendi-sendi persatuan Indonesia.
Memang banyak pepatah bangsa kita yang pada intinya mengatakan bahwa badai, tantangan, bencana, dan berbagai kesusahan lainnya akan memperkuat hubungan jika kita mengambil pelajaran darinya. Pada konteks inilah badai politik yang kita hadapi akhirnya bisa diambil pelajarannya oleh para elite politik untuk makin memajukan Indonesia.
Sekarang, para pemimpin sudah memberikan contoh yang sangat elok. Alangkah indahnya jika kita sebagai rakyat juga melakukan seperti apa yang sudah dicontohkan oleh para elite politik.
Menjaga rivalitas itu penting, tapi menjaga permusuhan akan membinasakan. Rivalitas selalu bicara tentang untuk menjadi lebih baik, sementara permusuhan selalu bicara tentang menjelek-jelekkan dan menyengsarakan musuh.
Rivalitas yang sehat akan membuat negara dan bangsa ini makin besar, sementara permusuhan yang dijaga dan dibesar-besarkan akan menenggelamkan negara ini. Rivalitas akan membuat demokrasi kita sehat karena satu sama lain saling mengawasi. Sementara permusuhan akan menghancurkan demokrasi karena satu sama lain akan saling menegasikan dan meniadakan.
Dalam dunia yang terus berkembang dengan laju yang sangat cepat ini, contoh yang baik kian dibutuhkan oleh rakyat dari para pemimpinnya.
Sayangnya, contoh itu sempat hilang beberapa waktu belakangan. Rivalitas politik yang dijalani oleh para elite rupanya terlalu dianggap personal sehingga tercium aroma permusuhan. Situasi negatif seperti ini akan dengan sangat mudah menular ke rakyat.
Syukurlah, pada perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-72 tahun di Istana Negara pada 17 Agustus lalu para elite politik negeri ini memberikan contoh bagaimana kehangatan masih harus tetap dijaga walaupun berseberangan kepentingan politik.
Untuk pertama kalinya setelah 13 tahun, seluruh Presiden Republik Indonesia yang masih hidup bersama-sama merayakan hari sakral tersebut di Istana Negara. Ada Presiden Bacharudin Jusuf Habibie, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan tentunya tak lupa Presiden Joko Widodo yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Acara kenegaraan dengan baju adat itu tentu bukan rutinitas biasa. Ada suatu nilai yang dipampangkan ke hadapan publik untuk dicontoh. Selain menjadi penanda terkait kebinekaan Indonesia yang tetap tunggal ika, juga menunjukkan bahwa politik hanyalah masalah rivalitas, bukan permusuhan.
Cairnya komunikasi yang sempat beku tentu mendatangkan kelegaan. Sudah menjadi rahasia umum misalnya bahwa hubungan Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak akur.
Hubungan keduanya memburuk sejak Presiden SBY sebagai salah satu menteri dalam kabinet Presiden Mega mengundurkan diri hingga akhirnya mengalahkan Presiden Megawati pada Pemilihan Presiden 2004.
Namun, apa yang kita lihat pada perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus lalu sangat melegakan. Kedua pemimpin tersebut akhirnya menunjukkan kelasnya sebagai negarawan ketika saling sapa dengan cukup hangat. "Beda pilihan politik, tapi untuk urusan Merah Putih harus bersama," frase ini dan variannya tiba-tiba menyeruak ke wacana publik sejak perayaan 17 Agustus dua hari lalu. Sangat banyak politisi yang mengatakannya.
Sungguh sangat melegakan setelah kita beberapa waktu belakangan menghadapi badai politik yang sedemikian hebat. Bahkan tak sedikit pihak yang menilai badai politik yang kita hadapi bisa menggoyahkan sendi-sendi persatuan Indonesia.
Memang banyak pepatah bangsa kita yang pada intinya mengatakan bahwa badai, tantangan, bencana, dan berbagai kesusahan lainnya akan memperkuat hubungan jika kita mengambil pelajaran darinya. Pada konteks inilah badai politik yang kita hadapi akhirnya bisa diambil pelajarannya oleh para elite politik untuk makin memajukan Indonesia.
Sekarang, para pemimpin sudah memberikan contoh yang sangat elok. Alangkah indahnya jika kita sebagai rakyat juga melakukan seperti apa yang sudah dicontohkan oleh para elite politik.
Menjaga rivalitas itu penting, tapi menjaga permusuhan akan membinasakan. Rivalitas selalu bicara tentang untuk menjadi lebih baik, sementara permusuhan selalu bicara tentang menjelek-jelekkan dan menyengsarakan musuh.
Rivalitas yang sehat akan membuat negara dan bangsa ini makin besar, sementara permusuhan yang dijaga dan dibesar-besarkan akan menenggelamkan negara ini. Rivalitas akan membuat demokrasi kita sehat karena satu sama lain saling mengawasi. Sementara permusuhan akan menghancurkan demokrasi karena satu sama lain akan saling menegasikan dan meniadakan.
(dam)