Mengatasi Ketimpangan
A
A
A
PEMERINTAH mengakui ketimpangan salah satu pekerjaan rumah terberat di bidang ekonomi. Masalah ketimpangan di Indonesia semakin rumit, seperti disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam acara Indonesia Development Forum (IDF) karena terkombinasi dengan kemiskinan. Negara super power sekelas Amerika Serikat (AS) juga tak luput dari ketimpangan yang tinggi, tapi warga AS tergolong makmur secara ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi belum merata dinikmati semua level masyarakat adalah sebuah indikator umum terjadinya ketimpangan yang meliputi berbagai lini kehidupan mulai dari desa, kota, sektor, hingga tingkat pendapatan. Banyak ukuran untuk mengungkapkan ketimpangan di Indonesia.
Masalah ketimpangan dan kemiskinan memang sangat kompleks. Kedua persoalan tersebut menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro tidak terlepas dari ketiadaan aset produktif. Masyarakat bawah tanpa aset produktif sulit keluar dari kemiskinan apalagi meningkatkan pendapatannya.
Kalau ini tak teratasi, maka akan menjadi lingkaran setan karena sudah pasti kondisi generasi berikutnya terulang. Jadi, aset produktif adalah salah satu faktor penentu dalam kaitan meminimalisasi ketimpangan di tengah masyarakat.
Soal rasio gini yang menjadi salah satu indikator ketimpangan memang sejak 2014 sudah mengalami penurunan. Namun, penurunan rasio gini dikontribusi dari konsumsi bukan karena kenaikan pendapatan.
Secara jujur, Bambang mengakui, ketimpangan di negeri ini cenderung meningkat dalam 10 tahun terakhir ini. Rasio gini telah dikikis dari sekitar 0,408 pada 2015 menjadi sebesar 0,393 pada Maret 2017 namun penurunan itu dimotori proporsi konsumsi per kapita.
Karena itu, Wapres JK menekankan bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan guna mengatasi masalah ketimpangan ekonomi dan kemiskinan dengan jalan membimbing petani, buruh, dan karyawan untuk meningkatkan produktivitas.
Sekadar menyegarkan ingatan bahwa jumlah penduduk miskin saat ini mengalami peningkatan. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini menunjukkan penduduk miskin bertambah 6.900 orang sepanjang periode September 2016 hingga Maret 2017. Begitu pula garis kemiskinan pada periode sama juga mencatat kenaikan sekitar 3,45% menjadi Rp374.478 per kapita per bulan. Padahal enam bulan sebelumnya garis kemiskinan di level Rp361.990 per kapita per bulan.
Garis kemiskinan adalah sebuah indikator yang dijadikan patokan pemerintah dalam memberi cap, apakah penduduk tergolong miskin atau tidak miskin. Saat ini penduduk dinyatakan miskin apabila pengeluarannya sebesar Rp374.478 per kapita per bulan. BPS mencatat total penduduk miskin mencapai 27,77 juta orang.
Dari angka pengeluaran penduduk miskin tersebut, BPS membagi dua, yakni konsumsi makanan sebesar Rp274.544 atau 73,31% dari total pendapatan dan konsumsi bukan makanan senilai Rp99.933 atau 26,69% dari pendapatan.
Bertambahnya angka penduduk miskin dipicu oleh peningkatan pengeluaran atau belanja, sementara tidak diiringi kenaikan pendapatan yang signifikan hanya bergeser sedikit. Adapun pendapatan orang miskin bekerja di sektor konstruksi dan perdagangan meningkat 2%, tapi tergerus oleh garis kemiskinan yang dipicu kenaikan angka inflasi.
Selain itu, penyaluran beras sejahtera (rastra) yang terlambat juga berkontribusi dalam penambahan penduduk miskin. Berdasarkan data BPS, beras merupakan kontributor utama penyebab kemiskinan di perkotaan dengan porsi sekitar 20,11% dan sebesar 26,46% di perdesaan.
Pemerintah menargetkan angka kemiskinan bisa turun di bawah 10% pada 2019. Pada Maret 2015 angka kemiskinan bertengger di level 11,22% dan enam bulan kemudian atau September 2015 turun di level 11,13%. Selanjutnya pada Maret 2016 angka kemiskinan mengecil menjadi sekitar 10,86%, enam bulan kemudian atau September 2016 turun lagi pada level 10,70%, dan pada Maret 2017 tercatat sekitar 10,64%.
Masalah ketimpangan dan kemiskinan di negeri ini memang pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemerintah. Lihat, untuk menurunkan angka kemiskinan 0,58% saja dibutuhkan waktu dua tahun lamanya.
Pertumbuhan ekonomi belum merata dinikmati semua level masyarakat adalah sebuah indikator umum terjadinya ketimpangan yang meliputi berbagai lini kehidupan mulai dari desa, kota, sektor, hingga tingkat pendapatan. Banyak ukuran untuk mengungkapkan ketimpangan di Indonesia.
Masalah ketimpangan dan kemiskinan memang sangat kompleks. Kedua persoalan tersebut menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro tidak terlepas dari ketiadaan aset produktif. Masyarakat bawah tanpa aset produktif sulit keluar dari kemiskinan apalagi meningkatkan pendapatannya.
Kalau ini tak teratasi, maka akan menjadi lingkaran setan karena sudah pasti kondisi generasi berikutnya terulang. Jadi, aset produktif adalah salah satu faktor penentu dalam kaitan meminimalisasi ketimpangan di tengah masyarakat.
Soal rasio gini yang menjadi salah satu indikator ketimpangan memang sejak 2014 sudah mengalami penurunan. Namun, penurunan rasio gini dikontribusi dari konsumsi bukan karena kenaikan pendapatan.
Secara jujur, Bambang mengakui, ketimpangan di negeri ini cenderung meningkat dalam 10 tahun terakhir ini. Rasio gini telah dikikis dari sekitar 0,408 pada 2015 menjadi sebesar 0,393 pada Maret 2017 namun penurunan itu dimotori proporsi konsumsi per kapita.
Karena itu, Wapres JK menekankan bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan guna mengatasi masalah ketimpangan ekonomi dan kemiskinan dengan jalan membimbing petani, buruh, dan karyawan untuk meningkatkan produktivitas.
Sekadar menyegarkan ingatan bahwa jumlah penduduk miskin saat ini mengalami peningkatan. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini menunjukkan penduduk miskin bertambah 6.900 orang sepanjang periode September 2016 hingga Maret 2017. Begitu pula garis kemiskinan pada periode sama juga mencatat kenaikan sekitar 3,45% menjadi Rp374.478 per kapita per bulan. Padahal enam bulan sebelumnya garis kemiskinan di level Rp361.990 per kapita per bulan.
Garis kemiskinan adalah sebuah indikator yang dijadikan patokan pemerintah dalam memberi cap, apakah penduduk tergolong miskin atau tidak miskin. Saat ini penduduk dinyatakan miskin apabila pengeluarannya sebesar Rp374.478 per kapita per bulan. BPS mencatat total penduduk miskin mencapai 27,77 juta orang.
Dari angka pengeluaran penduduk miskin tersebut, BPS membagi dua, yakni konsumsi makanan sebesar Rp274.544 atau 73,31% dari total pendapatan dan konsumsi bukan makanan senilai Rp99.933 atau 26,69% dari pendapatan.
Bertambahnya angka penduduk miskin dipicu oleh peningkatan pengeluaran atau belanja, sementara tidak diiringi kenaikan pendapatan yang signifikan hanya bergeser sedikit. Adapun pendapatan orang miskin bekerja di sektor konstruksi dan perdagangan meningkat 2%, tapi tergerus oleh garis kemiskinan yang dipicu kenaikan angka inflasi.
Selain itu, penyaluran beras sejahtera (rastra) yang terlambat juga berkontribusi dalam penambahan penduduk miskin. Berdasarkan data BPS, beras merupakan kontributor utama penyebab kemiskinan di perkotaan dengan porsi sekitar 20,11% dan sebesar 26,46% di perdesaan.
Pemerintah menargetkan angka kemiskinan bisa turun di bawah 10% pada 2019. Pada Maret 2015 angka kemiskinan bertengger di level 11,22% dan enam bulan kemudian atau September 2015 turun di level 11,13%. Selanjutnya pada Maret 2016 angka kemiskinan mengecil menjadi sekitar 10,86%, enam bulan kemudian atau September 2016 turun lagi pada level 10,70%, dan pada Maret 2017 tercatat sekitar 10,64%.
Masalah ketimpangan dan kemiskinan di negeri ini memang pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemerintah. Lihat, untuk menurunkan angka kemiskinan 0,58% saja dibutuhkan waktu dua tahun lamanya.
(poe)