Garam Mainan Kartel?

Kamis, 03 Agustus 2017 - 08:01 WIB
Garam Mainan Kartel?
Garam Mainan Kartel?
A A A
KENAPA garam langka, padahal laut kita sangat luas? Karena gudang garam ternyata isinya rokok”. Anekdot yang viral di sosial media (sosmed) itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia meski sedang dilanda masalah masih tetap bisa bercanda.

Kurangnya pasokan garam di sejumlah daerah di Indonesia dalam tiga pekan terakhir ini telah melambungkan harga garam di pasaran. Berbagai spekulasi pun bermunculan mengiringi melonjaknya harga garam, di antaranya ada yang menuduh situasi ini dimainkan para pemain besar bisnis garam (kartel).

Namun, pemerintah punya dalih sendiri bahwa kelangkaan garam kali ini disebabkan kondisi cuaca tidak mendukung produksi garam di dalam negeri. Jalan pintas mengatasi masalah ini, pemerintah lalu membuka keran impor garam. Ribuan ton garam dari Australia segera mengatasi kelangkaan garam di pasar.

Bicara soal kartel dalam bisnis garam, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak bersedia menunjuk hidung langsung, tetapi berangkat dari pengalaman sebelumnya saat terjadi polemik seputar garam ada indikasi dimainkan oleh kartel. Susi yang dikenal dengan program sangarnya menenggelamkan kapal pencuri ikan yang tertangkap, membeberkan bahwa beberapa waktu lalu saat terjadi kebocoran garam impor dilakukan oleh importir garam.

Mereka mengimpor melebihi kapasitas seharusnya. Separuh lebih bocor ke pasar garam konsumsi dan akhirnya importir menjadi pedagang. Sekarang importir garam tidak bisa lagi bermain di pasar garam konsumsi. Sebab telah terbit regulasi baru mengatur soal impor garam konsumsi.

Kebijakan terbaru hanya memberi kesempatan pada PT Garam untuk menangani impor garam konsumsi. Alasan pemerintah menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu supaya pengendalian harga dan stok garam bisa lebih mudah.

Tugas perusahaan negara yang hanya mengurusi garam bukan hanya diberi kewenangan melakukan impor garam konsumsi sebagai importir tunggal, tetapi juga menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam hal stabilisasi garam di tingkat petani garam. Karena itu, PT Garam akan membeli dan menyerap produksi garam petambak yang dapat menjamin stabilisasi harga.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti optimistis bila BUMN garam itu berfungsi dengan baik, maka tidak akan ada cerita lagi di negeri penghasil garam ini terjadi kelangkaan garam, seraya meningkatkan pengaturan dan pengawasan yang benar terhadap importir garam dijalankan pihak swasta.

Pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim persoalan kesejahteraan petambak garam adalah bagian dari tanggung jawabnya. Karena itu, pihak KKP mengakui telah mengalokasikan anggaran kepada petambak garam setiap tahun, misalnya anggaran untuk geomembran guna membuat garam lebih putih dan lebih bersih agar harga garam tetap tinggi.

Menteri Susi meyakini apabila dari dulu harga garam produksi dalam negeri tersangga baik, lalu impor hanya ditujukan untuk industri yang memang membutuhkan garam tertentu serta tata niaga diawasi penuh, maka ruang tumbuh industri garam domestik pasti akan lebih baik.

Terlepas dari persoalan kartel dalam bisnis garam, yang perlu diketahui berapa sebenarnya kebutuhan garam nasional saat ini? Mengutip dari data Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), kebutuhan garam nasional mencapai 4,23 juta ton per tahun. Adapun kebutuhan garam untuk masyarakat (rumah tangga, pengawetan ikan dan pengasinan) mencapai sebesar 750 ribu ton, sedangkan kebutuhan garam untuk industri jauh lebih besar dari kebutuhan konsumsi masyarakat yang mencapai 3 juta ton lebih per tahun.

Produksi garam dalam negeri pada tahun lalu hanya mencapai 116 ribu ton dari target 3 juta ton. Sementara stok garam saat ini hanya 112 ribu ton lebih. Jadi, produksi garam dalam negeri belum bisa menutupi kebutuhan berdasarkan data yang disajikan versi AIPGI.

Memang garis pantai yang panjang mencapai 95 ribu kilometer ternyata bukan semua lahan potensial menghasilkan garam. Pihak AIPGI memperkirakan hanya sekitar 34 ribu hingga 40 ribu kilometer garis pantai yang efektif dijadikan ladang garam. Karena itu, kelangkaan garam untuk konsumsi dimainkan kartel bisa jadi karena garam adalah sebuah bisnis menggiurkan.

Lalu, diperparah kondisi industri garam dalam negeri dengan teknologi yang sudah tertinggal dan tidak didukung pergudangan memadai untuk menjamin stok garam dalam negeri.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0753 seconds (0.1#10.140)