Target Swasembada Gula
A
A
A
Saat ini produksi gula konsumsi dalam negeri telah mencapai 2,5 juta ton dari total kebutuhan gula konsumsi 3 juta ton per tahun. Pemerintah optimistis dalam dua tahun ke depan kebutuhan gula konsumsi terpenuhi alias sudah swasembada. Untuk meraih swasembada gula belakangan ini pemerintah memang cukup getol membangun pabrik gula baru dan meremajakan pabrik gula lama milik badan usaha milik negara (BUMN) yang umumnya sisa-sisa zaman Belanda. Selain itu, pemerintah juga mendorong peningkatan produktivitas kebun petani dan menggalakkan pengembangan bibit tebu unggul.
Untuk dua tahun ke depan, pemerintah telah mematok penambahan hingga 11 pabrik gula. Saat ini telah hadir empat pabrik gula baru yang berlokasi di Blora, Lamongan, Dompu, dan Lampung. Sedangkan tujuh pabrik yang lain akan dibangun di Sumba Timur, Ogan Komering Ilir, Timor Tengah Selatan, Indramayu, Blitar, Kotawaringin, dan Timor Tengah Utara. Selama ini pemerintah mengakui tidak bisa menggenjot produksi gula konsumsi karena tidak didukung oleh kapasitas pabrik yang mumpuni. Kondisi pabrik sudah tua tak bisa dipacu lagi. Selain melonggarkan keran pembukaan pabrik baru, pemerintah juga terus mendorong pembukaan lahan baru untuk penanaman tebu.
Persoalan industri gula domestik begitu kompleks di mana persoalan satu sama lain tak bisa dipisahkan. Selain usia pabrik gula yang semakin menua karena rata-rata warisan Belanda, juga lantaran minim penggunaan bibit tebu unggul dengan tingkat kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dalam persen (rendemen) yang rendah. Persoalannya semakin lengkap ketika lahan tebu semakin mengecil. Untuk pengembangan bibit tebu unggul, Badan Penelitian dan Pengembangan KemenĀteriĀan Pertanian membidik sejumlah varietas tebu dengan target rendemen antara 12% hingga 14% dengan produktivitas di atas 150 ton per hektare.
Memang sungguh ironis bila menengok ke belakang ketika negeri ini masih berlabel Hindia Belanda yang menyandang status satu di antara pengekspor gula terbesar di dunia, puncaknya pada era 1929 hingga 1930. Sejak 1920, Belanda telah membangun tak kurang dari 179 pabrik gula dengan konsentrasi pendirian pabrik di Pulau Jawa. Saat itu kapasitas produksi sudah menembus di atas 3 juta ton per tahun. Sebuah angka produksi yang sangat besar pada zaman itu. Sisa-sisa pabrik itulah kemudian yang dioperasikan oleh BUMN.
Karena itu, sepak terjang pemerintah yang belakangan ini sangat serius mengundang investor untuk mendirikan pabrik gula dengan berbagai insentif, seperti penyiapan lahan untuk perkebunan tebu, perlu diapresiasi dengan baik. Tak kurang dari 62.000 hektare lahan Perhutani yang sudah dikerjasamakan untuk ditanami tebu di Pulau Jawa. Namun, terkait penyediaan lahan, Kementerian Pertanian yang membidik alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan tebu dengan status hutan produksi (HP), hutan produksi konversi (HPK), dan hutan yang berstatus areal penggunaan lain (APL), sepertinya bakal terganjal sejumlah regulasi.
Peringatan dini sudah diembuskan dari pihak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang menegaskan bahwa kawasan hutan tak bisa leluasa dikonversi pemanfaatannya meski untuk menciptakan ketahanan pangan. Mengubah peruntukan hutan harus lewat kajian mendalam dengan sejumlah rambu-rambu yang tidak boleh ditabrak begitu saja. Meski demikian, dalam keadaan sangat genting bukan berarti areal hutan tidak bisa dikonversi. Hal itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Hutan. Jadi, tetap ada jalan meski sejumlah prosedur yang berbelit harus dilalui.
Memang menimbulkan sebuah pertanyaan besar mengapa pemerintah abai membangun pabrik gula baru di tengah kebutuhan masyarakat terhadap gula terus meningkat. Sebelumnya pemerintah kesannya lebih memilih jalan pintas dengan membuka keran impor gula selebar-lebarnya. Program impor gula ini menjadi sarana atau lahan bisnis yang menarik bagi pengusaha karena bisa mendongkrak pendapatan setinggi-tingginya. Akibat itu, program impor gula ini menjadi bancakan yang empuk, baik dari kalangan pengusaha maupun penguasa pemburu komisi impor. Kasus penyelewengan impor gula yang lebih akrab di telinga para pemburu kuota impor gula seakan tak pernah berakhir. Akankah swasembada gula bakal mengakhiri kisah para petualang importir gula yang cenderung menghalalkan segala cara? Harapannya demikian.
Untuk dua tahun ke depan, pemerintah telah mematok penambahan hingga 11 pabrik gula. Saat ini telah hadir empat pabrik gula baru yang berlokasi di Blora, Lamongan, Dompu, dan Lampung. Sedangkan tujuh pabrik yang lain akan dibangun di Sumba Timur, Ogan Komering Ilir, Timor Tengah Selatan, Indramayu, Blitar, Kotawaringin, dan Timor Tengah Utara. Selama ini pemerintah mengakui tidak bisa menggenjot produksi gula konsumsi karena tidak didukung oleh kapasitas pabrik yang mumpuni. Kondisi pabrik sudah tua tak bisa dipacu lagi. Selain melonggarkan keran pembukaan pabrik baru, pemerintah juga terus mendorong pembukaan lahan baru untuk penanaman tebu.
Persoalan industri gula domestik begitu kompleks di mana persoalan satu sama lain tak bisa dipisahkan. Selain usia pabrik gula yang semakin menua karena rata-rata warisan Belanda, juga lantaran minim penggunaan bibit tebu unggul dengan tingkat kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dalam persen (rendemen) yang rendah. Persoalannya semakin lengkap ketika lahan tebu semakin mengecil. Untuk pengembangan bibit tebu unggul, Badan Penelitian dan Pengembangan KemenĀteriĀan Pertanian membidik sejumlah varietas tebu dengan target rendemen antara 12% hingga 14% dengan produktivitas di atas 150 ton per hektare.
Memang sungguh ironis bila menengok ke belakang ketika negeri ini masih berlabel Hindia Belanda yang menyandang status satu di antara pengekspor gula terbesar di dunia, puncaknya pada era 1929 hingga 1930. Sejak 1920, Belanda telah membangun tak kurang dari 179 pabrik gula dengan konsentrasi pendirian pabrik di Pulau Jawa. Saat itu kapasitas produksi sudah menembus di atas 3 juta ton per tahun. Sebuah angka produksi yang sangat besar pada zaman itu. Sisa-sisa pabrik itulah kemudian yang dioperasikan oleh BUMN.
Karena itu, sepak terjang pemerintah yang belakangan ini sangat serius mengundang investor untuk mendirikan pabrik gula dengan berbagai insentif, seperti penyiapan lahan untuk perkebunan tebu, perlu diapresiasi dengan baik. Tak kurang dari 62.000 hektare lahan Perhutani yang sudah dikerjasamakan untuk ditanami tebu di Pulau Jawa. Namun, terkait penyediaan lahan, Kementerian Pertanian yang membidik alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan tebu dengan status hutan produksi (HP), hutan produksi konversi (HPK), dan hutan yang berstatus areal penggunaan lain (APL), sepertinya bakal terganjal sejumlah regulasi.
Peringatan dini sudah diembuskan dari pihak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang menegaskan bahwa kawasan hutan tak bisa leluasa dikonversi pemanfaatannya meski untuk menciptakan ketahanan pangan. Mengubah peruntukan hutan harus lewat kajian mendalam dengan sejumlah rambu-rambu yang tidak boleh ditabrak begitu saja. Meski demikian, dalam keadaan sangat genting bukan berarti areal hutan tidak bisa dikonversi. Hal itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Hutan. Jadi, tetap ada jalan meski sejumlah prosedur yang berbelit harus dilalui.
Memang menimbulkan sebuah pertanyaan besar mengapa pemerintah abai membangun pabrik gula baru di tengah kebutuhan masyarakat terhadap gula terus meningkat. Sebelumnya pemerintah kesannya lebih memilih jalan pintas dengan membuka keran impor gula selebar-lebarnya. Program impor gula ini menjadi sarana atau lahan bisnis yang menarik bagi pengusaha karena bisa mendongkrak pendapatan setinggi-tingginya. Akibat itu, program impor gula ini menjadi bancakan yang empuk, baik dari kalangan pengusaha maupun penguasa pemburu komisi impor. Kasus penyelewengan impor gula yang lebih akrab di telinga para pemburu kuota impor gula seakan tak pernah berakhir. Akankah swasembada gula bakal mengakhiri kisah para petualang importir gula yang cenderung menghalalkan segala cara? Harapannya demikian.
(zik)