MK Batasi Calon Terpidana Maju di Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyelipkan frasa tambahan pada Pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 untuk mengatur syarat seseorang yang tengah berurusan dengan hukum dapat ikut dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Pada pasal yang ada sebelumnya, syarat tersebut masih cukup luas, berbunyi tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Oleh Mahkamah, frasa tersebut kemudian ditafsirkan menjadi karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 7 ayat 2 huruf g UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta, Rabu (19/7/2017).
Dalam amar putusannya, MK juga memberikan tafsiran yang lebih detail terkait kata terdakwa dan terpidana pada Pasal 163 ayat 7 dan 8 UU 10 Tahun 2016 yang kemudian diartikan sebagai orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemohon dalam uji materi adalah Gubernur Gorontalo (2012-2017) Rusli Habibie yang pada saat mengajukan permohonan tengah mencalonkan kembali sebagai kepala daerah petahana.
Status yang bersangkutan pada saat itu adalah terpidana berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tanggal 21 Juli 2016 yang disampaikan melalui PN Gorontalo tertanggal 16 Agustus 2016. Yang bersangkutan dihukum satu tahun dengan masa percobaan dua tahun karena kasus pencemaran nama baik.
Kuasa hukum pemohon Heru Widodo bersyukur dengan adanya putusan mahkamah. Menurut dia dengan adanya pembatasan syarat calon kepala daerah yang berasal dari mantan terpidana ini akan memberikan kepastian hukum kepada mereka.
“Karena jika tanpa batasan minimal ancaman hukuman maka orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas juga bisa kehilangan haknya dong untuk bisa maju di pilkada,” kata Heru.
Heru juga mengatakan putusan ini menutup peluang digunakannya pasal pilkada untuk menjegal lawan politik. Sebab putusan MK telah jelas membatasi hanya terpidana yang diancam hukuman lima tahun yang tidak dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
“Demikian juga status kepala daerah yang menjadi terdakwa dapat diberhentikan sementara hanya yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih,” ujarnya.
Pada pasal yang ada sebelumnya, syarat tersebut masih cukup luas, berbunyi tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Oleh Mahkamah, frasa tersebut kemudian ditafsirkan menjadi karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 7 ayat 2 huruf g UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta, Rabu (19/7/2017).
Dalam amar putusannya, MK juga memberikan tafsiran yang lebih detail terkait kata terdakwa dan terpidana pada Pasal 163 ayat 7 dan 8 UU 10 Tahun 2016 yang kemudian diartikan sebagai orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemohon dalam uji materi adalah Gubernur Gorontalo (2012-2017) Rusli Habibie yang pada saat mengajukan permohonan tengah mencalonkan kembali sebagai kepala daerah petahana.
Status yang bersangkutan pada saat itu adalah terpidana berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tanggal 21 Juli 2016 yang disampaikan melalui PN Gorontalo tertanggal 16 Agustus 2016. Yang bersangkutan dihukum satu tahun dengan masa percobaan dua tahun karena kasus pencemaran nama baik.
Kuasa hukum pemohon Heru Widodo bersyukur dengan adanya putusan mahkamah. Menurut dia dengan adanya pembatasan syarat calon kepala daerah yang berasal dari mantan terpidana ini akan memberikan kepastian hukum kepada mereka.
“Karena jika tanpa batasan minimal ancaman hukuman maka orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas juga bisa kehilangan haknya dong untuk bisa maju di pilkada,” kata Heru.
Heru juga mengatakan putusan ini menutup peluang digunakannya pasal pilkada untuk menjegal lawan politik. Sebab putusan MK telah jelas membatasi hanya terpidana yang diancam hukuman lima tahun yang tidak dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
“Demikian juga status kepala daerah yang menjadi terdakwa dapat diberhentikan sementara hanya yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih,” ujarnya.
(dam)