Hamdan Zoelva: Presidential Threshold Bertentangan dengan Konstitusi
A
A
A
BANDUNG - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menyebut ada dua keputusan MK terkait presidential threshold. Keputusan pertama adalah pada 2008 dengan dua gugatan.
Gugatan pertama terkait presidential threshold. Gugatan kedua adalah terkait implikasi pemilu serentak yang harusnya tidak menggunakan presidential threshold.
"Tapi ditolak (gugatannya). Menurut MK pada saat itu, threshold itu adalah kebijakan legislatif yang terbuka," ujar Hamdan di Kampus Universitas Padjadjaran, Kota Bandung, Senin (10/7/2017).
Pada 2014, menurutnya MK kembali mengeluarkan putusan terkait gugatan terhadap undang-undang yang sama. Tapi objek gugatannya adalah terkait pemilu serentak.
"Jadi mereka (penggugat) menggugat bahwa pemilu yang tidak serentak adalah tidak sesuai dengan konstitusi. MK mengabulkan gugatan itu dan menyatakan bahwa pemilu yang tidak serentak itu adalah bertentangan dengan konstitusi, dan itu mulai berlaku mulai 2018," ungkap Hamdan.
Karena pemilukada harus digelar serentak, maka tidak lagi ada presidential threshold. Apalagi, putusan MK tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
"Mengenai presidential threshold, itu pertimbangan MK adalah wilayah kebijakan hukum yang terbuka bagi pembentuk UU, tetapi tidak boleh bertentangan dengan UUD."
"Tidak boleh bertentangan dengan UUD itu merupakan satu inti poin penting dari putusan itu yang maknanya adalah sebenarnya kalau pemilunya sudah serentak, tidak relevan lagi presidential threshold, sebenarnya, itu maknanya," sambungnya.
Hamdan memandang ada hal yang dibaca secara tidak utuh dari putusan MK. "Jadi orang tidak membaca, bahwa betul ditolak gugatan mengenai presidential threshold. Tapi MK memberikan catatan. Catatannya adalah sepanjang tidak bertentangan dengan UUD," tegasnya.
Ia pun meminta siapapun untuk mencari penafsiran atas putusan MK terkait presidential threshold. "Coba dicari berbagai alasan rasional, baik penafsiran secara sistematis, secara konstruksi, dari keseluruhan pertimbangan MK itu, bahwa dengan pemilu yang serentak, itu tidak relevan lagi dengan presidential threshold," bebernya.
Jika presidential threshold diberlakukan, menurutnya akan sangat rawan untuk digugat. Sebab, jika presidential threshold diberlakukan, berapapun persentasenya, itu bertentangan dengan konstitusi.
"Kalau saya, seberapapun presidential threshold, itu bertentangan dengan konstitusi," tandas Hamdan.
Gugatan pertama terkait presidential threshold. Gugatan kedua adalah terkait implikasi pemilu serentak yang harusnya tidak menggunakan presidential threshold.
"Tapi ditolak (gugatannya). Menurut MK pada saat itu, threshold itu adalah kebijakan legislatif yang terbuka," ujar Hamdan di Kampus Universitas Padjadjaran, Kota Bandung, Senin (10/7/2017).
Pada 2014, menurutnya MK kembali mengeluarkan putusan terkait gugatan terhadap undang-undang yang sama. Tapi objek gugatannya adalah terkait pemilu serentak.
"Jadi mereka (penggugat) menggugat bahwa pemilu yang tidak serentak adalah tidak sesuai dengan konstitusi. MK mengabulkan gugatan itu dan menyatakan bahwa pemilu yang tidak serentak itu adalah bertentangan dengan konstitusi, dan itu mulai berlaku mulai 2018," ungkap Hamdan.
Karena pemilukada harus digelar serentak, maka tidak lagi ada presidential threshold. Apalagi, putusan MK tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
"Mengenai presidential threshold, itu pertimbangan MK adalah wilayah kebijakan hukum yang terbuka bagi pembentuk UU, tetapi tidak boleh bertentangan dengan UUD."
"Tidak boleh bertentangan dengan UUD itu merupakan satu inti poin penting dari putusan itu yang maknanya adalah sebenarnya kalau pemilunya sudah serentak, tidak relevan lagi presidential threshold, sebenarnya, itu maknanya," sambungnya.
Hamdan memandang ada hal yang dibaca secara tidak utuh dari putusan MK. "Jadi orang tidak membaca, bahwa betul ditolak gugatan mengenai presidential threshold. Tapi MK memberikan catatan. Catatannya adalah sepanjang tidak bertentangan dengan UUD," tegasnya.
Ia pun meminta siapapun untuk mencari penafsiran atas putusan MK terkait presidential threshold. "Coba dicari berbagai alasan rasional, baik penafsiran secara sistematis, secara konstruksi, dari keseluruhan pertimbangan MK itu, bahwa dengan pemilu yang serentak, itu tidak relevan lagi dengan presidential threshold," bebernya.
Jika presidential threshold diberlakukan, menurutnya akan sangat rawan untuk digugat. Sebab, jika presidential threshold diberlakukan, berapapun persentasenya, itu bertentangan dengan konstitusi.
"Kalau saya, seberapapun presidential threshold, itu bertentangan dengan konstitusi," tandas Hamdan.
(kri)