1.684 Hakim Baru dan Turbulensi Dunia Peradilan
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
REKRUTMEN 1.684 hakim baru jangan dijadikan proyek atau membangun kelompok kekuatan di dunia peradilan. Rekrutmen komunitas hakim baru harus dikaitkan dengan keinginan bersama memperbaiki citra korps hakim dan citra lembaga peradilan itu sendiri.
Belum lama ini, Kemenpan RB telah memberikan lampu hijau bagi rekrutmen hakim untuk 1.684 kursi lewat jalur CPNS. Rekrutmen mulai dilaksanakan Juli 2017 ini. Semua pihak berharap panitia seleksi dan rekrutmen 1.684 hakim baru tidak menggunakan kaca mata kuda, dalam arti hanya mengejar target jumlah kebutuhan. Seleksi dan rekrutmen hakim baru harus menjadi bagian tak terpisah dari upaya memperbaiki citra korps hakim dan citra dunia peradilan itu sendiri.
Benar bahwa negara ini mengalami kekurangan tenaga hakim. Terakhir, rekrutmen hakim dilakukan pada 2010. Banyak daerah mengalami kekurangan tenaga hakim. Banyak pengadilan di daerah hanya diperkuat tiga hakim. Padahal, minimal harus enam hakim untuk mengantisipasi penanganan perkara peninjauan kembali (PK). Pasalnya, majelis hakim yang sama tidak boleh memeriksa perkara berstatus PK, sehingga per pengadilan harus ada dua majelis hakim yang siaga. Dengan gambaran ini, negara memang harus bekerja cepat dalam mencukupi kebutuhan tenaga hakim.
Akan tetapi, dalam konteks supremasi hukum dan peran signifikan dunia peradilan, persoalan yang dihadapi negara ini tidak semata-mata kurangnya tenaga hakim. Korps hakim dan praktik pengadilan sudah dicemarkan oleh beragam noda akibat tindakan tidak terpuji puluhan oknum hakim. Dakwaan, tuntutan, hingga vonis pengadilan bisa dinegosiasikan. Bahkan, Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan pun sudah berlumur noda.
Tahun 2015, MA menjatuhkan sanksi etik kepada 118 hakim, berupa sanksi disiplin berat, sanksi disiplin sedang, dan sanksi disiplin ringan. Selain itu, empat hakim Ad-hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga dijatuhi hukuman. Bahkan, MA juga harus menjatuhkan sanksi bagi 144 staf pengadilan.
Komisi Yudisial (KY) pun terus kebanjiran laporan masyarakat berisi pengaduan tentang hakim nakal. Pada 2015, KY menerima 1.491 laporan mengenai hakim nakal; sementara sepanjang 2016, publik melaporkan 1.095 kasus tentang hakim nakal.
Kalau data-data resmi ini disandingkan dengan rangkaian kasus yang menggambarkan oknum MA menjadi bagian dari mafia kasus dan mafia peradilan, gambaran yang segera mengemuka adalah kerusakan parah dunia peradilan di Indonesia. Memang, dunia peradilan di negara ini sempat mengalami turbulensi karena puluhan hakim dan panitera sempat menjadi target operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima uang suap dari hasil jual-beli pasal-pasal pidana. Bahkan, seorang sekretaris MA pun harus mundur dari jabatannya karena diduga terlibat perkara yang ditangani KPK. Lalu, ada kasus Akil Mochtar yang ditangkap KPK pada 2013 ketika masih menjabat ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dia ditangkap karena menerima suap. Begitu juga dengan kasus Patrialis Akbar, yang ditangkap KPK saat masih menjabat hakim MK. Patrialis ditangkap juga karena diduga menerima uang suap.
Peran dan fungsi hakim tentu saja tidak bisa dipisahkan dari gonjang-ganjing dunia peradilan itu. Sebab, pada akhirnya, hakim-lah yang memutus final sebuah perkara. Citra korps hakim yang sudah terpuruk meninggalkan noda hitam bagi wajah peradilan. Kepercayaan masyarakat terhadap korps hakim dan pengadilan merosot sangat tajam. MA, yang diharapkan lebih agresif dalam mereformasi peradilan, tidak bisa berbuat banyak karena dirundung masalah internal. Kerusakan parah di dunia peradilan ini tidak mudah untuk diperbaiki.
Prudent
Maka berangkat dari fakta itu, rekrutmen 1.684 hakim baru tidak boleh asal-asalan. Rekrutmen hakim baru hendaknya menjadi bagian tak terpisah dari kehendak bersama memulihkan citra korps hakim dan citra dunia peradilan. Jangan dilupakan juga bahwa pemerintah sedang mengupayakan percepatan program reformasi hukum. Dalam konteks itu, korps hakim harus berperan signifikan. Sebagai pelaksana seleksi dan rekrutmen hakim baru, MA harus mau mendengarkan masukan dari pihak lain.
MA memang tidak perlu terburu-buru, karena harus mengutamakan aspek prudent atau kehati-hatian. Jangan juga MA menyederhanakan persoalan. Soalnya, yang dicari adalah sosok manusia berintegritas, bukan sekadar barang kualitas tinggi. Mencari sosok manusia dengan integritas teruji bukan pekerjaan gampang, apalagi untuk mencari hakim baru dengan jumlah sebanyak itu.
Faktor pertama yang tidak boleh diabaikan MA adalah belum selesainya pembahasan RUU Jabatan Hakim. Masih ada belasan poin dalam RUU itu yang pembahasannya belum tuntas, termasuk pola rekrutmen hakim dan penjelasan tentang status hakim sebagai pejabat negara. Selama ini, hakim masih diperlakukan sebagai PNS biasa.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kematangan sebagai praktisi hukum untuk seorang calon hakim. Karena kebutuhannya seperti itu, calon dengan latar belakang dari fresh graduate tentunya bukan pilihan yang tepat dan juga tidak relevan. Satu-satunya opsi adalah praktisi hukum yang matang dan sarat pengalaman, profesional dan integritasnya sudah teruji.
Ketika seseorang maju atau menawarkan diri untuk menjadi hakim, harus diasumsikan bahwa yang bersangkutan sudah punya kompetensi. Tidak perlu berlama-lama belajar untuk menjadi hakim. Kualifikasi itu ada pada praktisi hukum yang sarat pengalaman.
Karena kualifikasi yang dibutuhkan seperti itu, menjadi tidak relevan jika MA hanya membuka pendaftaran calon hakim baru dari jalur calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kalau hanya CPNS yang diberi peluang, proses seleksi dan rekrutmen akan memakan waktu sangat lama. Bahkan, target jumlah hakim baru akan sangat sulit dipenuhi jika panitia seleksi harus konsisten dengan syarat tentang kualifikasi dan kompetensi itu.
Dengan begitu, perlu juga dipertimbangkan untuk memberi peluang kepada kalangan praktisi hukum profesional. Di luar jalur CPNS, banyak praktisi hukum profesional yang juga meminati jabatan hakim. Sumber daya seperti itu hendaknya tidak disia-siakan oleh MA.
Jadi, aspek kehati-hatian memang menjadi sangat penting. Kalau MA tidak peduli dengan aspek kehati-hatian dan profesionalisme, akan muncul anggapan bahwa target merekrut 1.684 hakim baru hanya dijadikan proyek oleh panitia seleksi. Bisa juga muncul anggapan bahwa oknum-oknum di MA ingin membangun kekuatan kelompok untuk mengontrol dan mengendalikan para hakim di seluruh Indonesia untuk tujuan-tujuan yang tidak terpuji. Sepuluh pimpinan MA memiliki wewenang teramat besar karena membawahi lebih dari 300 peradilan di seluruh Indonesia.
MA telah dirundung rangkaian masalah. Karena itu, semua jajaran di MA harus belajar dari pengalaman yang tidak mengenakan itu. Institusi MA harus menempatkan para hakim di posisi yang sangat terhormat. Independensi hakim tidak boleh direduksi oleh kesemena-menaan sekretaris MA atau petinggi MA lainnya.
Karena itu, harus ada keterbukaan MA dalam proses seleksi dan rekrutmen hakim-hakim baru. Berikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui dan memahami proses seleksi dan rekrutmen itu. Masyarakat kini menunggu penjelasan MA tentang mekanisme seleksi serta jadwal.
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
REKRUTMEN 1.684 hakim baru jangan dijadikan proyek atau membangun kelompok kekuatan di dunia peradilan. Rekrutmen komunitas hakim baru harus dikaitkan dengan keinginan bersama memperbaiki citra korps hakim dan citra lembaga peradilan itu sendiri.
Belum lama ini, Kemenpan RB telah memberikan lampu hijau bagi rekrutmen hakim untuk 1.684 kursi lewat jalur CPNS. Rekrutmen mulai dilaksanakan Juli 2017 ini. Semua pihak berharap panitia seleksi dan rekrutmen 1.684 hakim baru tidak menggunakan kaca mata kuda, dalam arti hanya mengejar target jumlah kebutuhan. Seleksi dan rekrutmen hakim baru harus menjadi bagian tak terpisah dari upaya memperbaiki citra korps hakim dan citra dunia peradilan itu sendiri.
Benar bahwa negara ini mengalami kekurangan tenaga hakim. Terakhir, rekrutmen hakim dilakukan pada 2010. Banyak daerah mengalami kekurangan tenaga hakim. Banyak pengadilan di daerah hanya diperkuat tiga hakim. Padahal, minimal harus enam hakim untuk mengantisipasi penanganan perkara peninjauan kembali (PK). Pasalnya, majelis hakim yang sama tidak boleh memeriksa perkara berstatus PK, sehingga per pengadilan harus ada dua majelis hakim yang siaga. Dengan gambaran ini, negara memang harus bekerja cepat dalam mencukupi kebutuhan tenaga hakim.
Akan tetapi, dalam konteks supremasi hukum dan peran signifikan dunia peradilan, persoalan yang dihadapi negara ini tidak semata-mata kurangnya tenaga hakim. Korps hakim dan praktik pengadilan sudah dicemarkan oleh beragam noda akibat tindakan tidak terpuji puluhan oknum hakim. Dakwaan, tuntutan, hingga vonis pengadilan bisa dinegosiasikan. Bahkan, Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan pun sudah berlumur noda.
Tahun 2015, MA menjatuhkan sanksi etik kepada 118 hakim, berupa sanksi disiplin berat, sanksi disiplin sedang, dan sanksi disiplin ringan. Selain itu, empat hakim Ad-hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga dijatuhi hukuman. Bahkan, MA juga harus menjatuhkan sanksi bagi 144 staf pengadilan.
Komisi Yudisial (KY) pun terus kebanjiran laporan masyarakat berisi pengaduan tentang hakim nakal. Pada 2015, KY menerima 1.491 laporan mengenai hakim nakal; sementara sepanjang 2016, publik melaporkan 1.095 kasus tentang hakim nakal.
Kalau data-data resmi ini disandingkan dengan rangkaian kasus yang menggambarkan oknum MA menjadi bagian dari mafia kasus dan mafia peradilan, gambaran yang segera mengemuka adalah kerusakan parah dunia peradilan di Indonesia. Memang, dunia peradilan di negara ini sempat mengalami turbulensi karena puluhan hakim dan panitera sempat menjadi target operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima uang suap dari hasil jual-beli pasal-pasal pidana. Bahkan, seorang sekretaris MA pun harus mundur dari jabatannya karena diduga terlibat perkara yang ditangani KPK. Lalu, ada kasus Akil Mochtar yang ditangkap KPK pada 2013 ketika masih menjabat ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dia ditangkap karena menerima suap. Begitu juga dengan kasus Patrialis Akbar, yang ditangkap KPK saat masih menjabat hakim MK. Patrialis ditangkap juga karena diduga menerima uang suap.
Peran dan fungsi hakim tentu saja tidak bisa dipisahkan dari gonjang-ganjing dunia peradilan itu. Sebab, pada akhirnya, hakim-lah yang memutus final sebuah perkara. Citra korps hakim yang sudah terpuruk meninggalkan noda hitam bagi wajah peradilan. Kepercayaan masyarakat terhadap korps hakim dan pengadilan merosot sangat tajam. MA, yang diharapkan lebih agresif dalam mereformasi peradilan, tidak bisa berbuat banyak karena dirundung masalah internal. Kerusakan parah di dunia peradilan ini tidak mudah untuk diperbaiki.
Prudent
Maka berangkat dari fakta itu, rekrutmen 1.684 hakim baru tidak boleh asal-asalan. Rekrutmen hakim baru hendaknya menjadi bagian tak terpisah dari kehendak bersama memulihkan citra korps hakim dan citra dunia peradilan. Jangan dilupakan juga bahwa pemerintah sedang mengupayakan percepatan program reformasi hukum. Dalam konteks itu, korps hakim harus berperan signifikan. Sebagai pelaksana seleksi dan rekrutmen hakim baru, MA harus mau mendengarkan masukan dari pihak lain.
MA memang tidak perlu terburu-buru, karena harus mengutamakan aspek prudent atau kehati-hatian. Jangan juga MA menyederhanakan persoalan. Soalnya, yang dicari adalah sosok manusia berintegritas, bukan sekadar barang kualitas tinggi. Mencari sosok manusia dengan integritas teruji bukan pekerjaan gampang, apalagi untuk mencari hakim baru dengan jumlah sebanyak itu.
Faktor pertama yang tidak boleh diabaikan MA adalah belum selesainya pembahasan RUU Jabatan Hakim. Masih ada belasan poin dalam RUU itu yang pembahasannya belum tuntas, termasuk pola rekrutmen hakim dan penjelasan tentang status hakim sebagai pejabat negara. Selama ini, hakim masih diperlakukan sebagai PNS biasa.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kematangan sebagai praktisi hukum untuk seorang calon hakim. Karena kebutuhannya seperti itu, calon dengan latar belakang dari fresh graduate tentunya bukan pilihan yang tepat dan juga tidak relevan. Satu-satunya opsi adalah praktisi hukum yang matang dan sarat pengalaman, profesional dan integritasnya sudah teruji.
Ketika seseorang maju atau menawarkan diri untuk menjadi hakim, harus diasumsikan bahwa yang bersangkutan sudah punya kompetensi. Tidak perlu berlama-lama belajar untuk menjadi hakim. Kualifikasi itu ada pada praktisi hukum yang sarat pengalaman.
Karena kualifikasi yang dibutuhkan seperti itu, menjadi tidak relevan jika MA hanya membuka pendaftaran calon hakim baru dari jalur calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kalau hanya CPNS yang diberi peluang, proses seleksi dan rekrutmen akan memakan waktu sangat lama. Bahkan, target jumlah hakim baru akan sangat sulit dipenuhi jika panitia seleksi harus konsisten dengan syarat tentang kualifikasi dan kompetensi itu.
Dengan begitu, perlu juga dipertimbangkan untuk memberi peluang kepada kalangan praktisi hukum profesional. Di luar jalur CPNS, banyak praktisi hukum profesional yang juga meminati jabatan hakim. Sumber daya seperti itu hendaknya tidak disia-siakan oleh MA.
Jadi, aspek kehati-hatian memang menjadi sangat penting. Kalau MA tidak peduli dengan aspek kehati-hatian dan profesionalisme, akan muncul anggapan bahwa target merekrut 1.684 hakim baru hanya dijadikan proyek oleh panitia seleksi. Bisa juga muncul anggapan bahwa oknum-oknum di MA ingin membangun kekuatan kelompok untuk mengontrol dan mengendalikan para hakim di seluruh Indonesia untuk tujuan-tujuan yang tidak terpuji. Sepuluh pimpinan MA memiliki wewenang teramat besar karena membawahi lebih dari 300 peradilan di seluruh Indonesia.
MA telah dirundung rangkaian masalah. Karena itu, semua jajaran di MA harus belajar dari pengalaman yang tidak mengenakan itu. Institusi MA harus menempatkan para hakim di posisi yang sangat terhormat. Independensi hakim tidak boleh direduksi oleh kesemena-menaan sekretaris MA atau petinggi MA lainnya.
Karena itu, harus ada keterbukaan MA dalam proses seleksi dan rekrutmen hakim-hakim baru. Berikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui dan memahami proses seleksi dan rekrutmen itu. Masyarakat kini menunggu penjelasan MA tentang mekanisme seleksi serta jadwal.
(mhd)