Jangan Politisasi Hukum

Senin, 10 Juli 2017 - 08:00 WIB
Jangan Politisasi Hukum
Jangan Politisasi Hukum
A A A
Anna Luthfie
Ketua DPP Partai Perindo

"Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik antara lain salah satu penyebabnya mau memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena, yang transaksional yang suka abuse of power. Catat kata-kata saya di sini, Saya pasti jadi pimpinan negeri ini. Di situlah saatnya Indonesia dibersihkan."

Itu SMS lengkap HT kepada Yulianto yang kemudian dijadikan sebagai barang bukti penetapan status tersangka. Penetapan status tersangka terhadap Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia Hary Tanoesoedibjo (HT) mengagetkan dan mengundang ragam pertanyaan, dan banyak pihak memandang kasus ini terkesan dipaksakan, karena SMS ini tidak hanya sudah berlangsung lama (Januari 2016), juga dari sisi konten jauh dari napas tekanan, ancaman, dan atau intimidasi.

Ahli bahasa pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Sriyanto menegaskan isi SMS tidak dapat dikategorikan sebagai ancaman, terutama jika dikaitkan dengan UU ITE. Pasal 27 ayat (3) UU ITE mensyaratkan bahwa yang disebut ancaman ditujukan secara pribadi, dan SMS itu tidak ditujukan secara pribadi melainkan untuk kelompok, yaitu oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena. Begitu juga diungkap oleh Dr Margarito Kamis menyampaikan bahwa yang ditulis di SMS merupakan sesuatu yang normal, malah semestinya orang-orang bersyukur karena ada yang mengingatkannya (KORAN SINDO), 6/2/2017).

Di tengah-tengah publik berharap besar ke depan, proses penegakan hukum bisa berjalan atas dasar kejujuran dan keadilan, jauh dari aroma politik dan kekuasaan, dalam kasus SMS ini institusi kejaksaan dan kepolisian sedang dipertaruhkan, sudah seharusnya proses hukum dihormati dan salah satu upaya menghormatinya adalah menjauhkan proses hukum tersebut dari sentimen-sentimen lainnya yang tidak terkait hukum.

HT sendiri dijerat dalam kasus pengiriman pesan pendek atau SMS dengan Pasal 29 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diduga bernada ancaman kepada jaksa penyidik. Jaksa tersebut adalah penyidik kasus dugaan korupsi restitusi pajak Mobile-8 di Kejaksaan Agung. Jaksa melaporkan ancaman ini sejak akhir Januari lalu. Kasus ini bergulir sejak laporan sang jaksa terhadap ketua umum Partai Perindo. Pelapor mengaku mendapat ancaman dari seseorang yang mengirimkan pesan kepadanya secara beruntun. Pesan itu dikirimkan melalui nomor yang diduga kuat milik HT.

Sejumlah pihak memandang penetapan tersangka pada HT dalam kasus dugaan ancaman melalui SMS, dianggap sebagai preseden buruk bagi aparat penegak hukum. Hal ini tidak lepas dari argumentasi yang menyatakan kejaksaan lebih dahulu menyebut HT sebagai tersangka, padahal kasus ini dilaporkan ke pihak polisi (baca: Bareskrim).

Keanehan ini juga dinyatakan oleh sejumlah pegiat hukum. Pengamat hukum Universitas Muhammadiyah Malang Alungsyah menyebut preseden buruk ini tidak lepas dari pernyataan status tersangka dari pihak kejaksaan, padahal status ini pernah dibantah oleh pihak polisi yang menyelidiki kasus tersebut. Meskipun pada akhirnya status tersangka ini ditetapkan, pernyataan kejaksaan sebelum penyidik polisi menjadi sinyalemen kasus ini tidak murni berdasarkan hasil penyidikan polisi.

Arogansi Kekuasaan?

Lebih keras lagi pernyataan yang disampaikan pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Profesor Romli Atmasasmita yang menilai HT mengalami over-kriminalisasi dan kental politisasi dalam kasus SMS yang dipermasalahkan oleh Jaksa Yulianto. Prof Romli Atmasasmita menjadi aneh seorang aparatur hukum merasa takut karena suatu SMS. Sesuatu yang biasa dibuat luar biasa, sesuatu perbuatan yang bukan kriminal dibuat jadi kriminal. Begitu opini pakar hukum pidana ini.

Bagaimanapun, indikasi adanya "pemaksaan" kasus ini ditingkatkan menjadi penyidikan tidak bisa hilang begitu saja. Seperti halnya pernyataan Prof Romli Atmasasmita, soal over-kriminalisasi, karena isi pesan pendek yang dikirimkan tersebut tidak ubahnya sebuah aspirasi, bukan ancaman. Posisi HT sebagai pengusaha nasional dan ketua umum Partai Perindo tidak bisa begitu saja diabaikan bahwa kasus hukum yang menjeratnya dipandang serta dinilai semata-mata persoalan hukum.

Indikasi kekerasan hukum ini jangan sampai membuat publik tidak lagi percaya kepada institusi hukum, kalau publik melihat kasus ini tidak ubahnya sebagai sebuah arogansi kekuasaan semata, apalagi pelapor adalah penegak hukum, maka akan berakibat fatal, buruk dan buram terhadap pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia. Baru-baru ini kita juga baru disuguhi tontonan kasus pemukulan petugas bandara oleh seorang penumpang yang kebetulan istri perwira tinggi polisi, gambaran arogansi serta kesewenang-wenanganlah yang membuat si ibu berani memukul petugas bandara yang hanya menjalankan tugas tersebut. Potret arogansi kekuasaan melekat dalam diri si ibu. Semoga HT tidak menjadi korban kekerasan hukum dan arogansi kekuasaan.

Nah, kembali pada kasus hukum HT, tidak ada jalan lain proses hukum memang harus dihormati dan dijalani. Hanya, ketika proses hukum sudah dipilih, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan hukum sebagai panglima. Mengumpulkan pembuktian hukum dalam kasus HT menjadi sebuah keniscayaan.

Ada pandangan menarik dari pakar hukum Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf yang menyebutkan bahwa hukum itu memiliki kriteria. Isi pesan pendek yang diduga bermuatan ancaman tersebut sejatinya tidak mengandung unsur pidana. Menurutnya, ada empat alasan yang membuat kasus itu tidak layak diproses secara hukum. Dari segi motif, tidak ada motif yang tegas mengancam dalam SMS tersebut. Subjek yang diancam pun tidak jelas, apakah pribadi atau institusi kejaksaan. Substansi ancaman juga kabur. Apalagi, isi pesan pendek tidak mengandung risiko jika pesan pendek tersebut diabaikan oleh jaksa pelapor.

Meskipun demikian, jalan terbaik tetap di proses penyidikan, apakah penyidik berhasil menguatkan bukti yang membuat HT sampai menjadi tersangka dan sampai pada proses peradilan. Pembuktian menjadi kata kunci yang utama karena di sinilah basis material hukum yang menjadi pijakan utama, apakah kasus ini benar-benar murni pertimbangan hukum atau ada unsur lain terkait posisi HT sebagai seorang pengusaha dan politisi ketua umum Partai Perindo.

Menjadikan hukum sebagai pedoman dan panglima kebenaran adalah sebuah kewajiban kita sebagai warga negara. Hal yang sama juga menjadi kewajiban kita untuk menjaga proses hukum ini berjalan di jalur koridor hukum, bukan koridor lainnya yang tidak terkait dengan hukum. Jangan politisasi hukum, untuk masa depan hukum Indonesia yang berkeadilan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3885 seconds (0.1#10.140)