Merekrut Para Wakil Tuhan
Senin, 10 Juli 2017 - 07:30 WIB

Merekrut Para Wakil Tuhan
A
A
A
Prof Amzulian Rifai PhD
Ketua Ombudsman RI
SEBENARNYA "ngeri-ngeri sedap" juga saya menggunakan istilah para wakil Tuhan ketika yang dimaksud adalah para hakim. Namun, begitulah istilah yang sudah akrab di telinga sebagian kita untuk menyinonimkan profesi hakim. Hakim telanjur diistilahkan sebagai wakil Tuhan di dunia. Bagi sebagian kita, tidak berlebihan juga menggunakan istilah ini disebabkan beberapa alasan.
Pertama, memang begitu krusialnya peran seorang hakim yang memutus bersalah atau tidak bersalahnya seseorang (guilty or not guilty). Padahal di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon (Civil Law), penentuan bersalah tidak bersalahnya seorang terdakwa itu oleh sekumpulan juri (jurors).
Kedua, lebih luar biasanya lagi dalam sistem hukum kita (dan civil law pada umumnya), hakim pula yang menentukan berapa lama atau apa bentuk hukuman kepada seorang terdakwa itu. Vonis mati kata hakim, maka berakhirlah hidup seseorang. Sebaliknya "bandit besar sekalipun" ketika dinyatakan tidak bersalah dan bebas dari hukuman, maka selamatlah dia.
Ketiga, palu hakim dapat berakibat fatal luar biasa apabila salah mengetuknya. Seorang terdakwa dapat mengakhiri hidupnya di penjara untuk suatu tuduhan kesalahan yang tidak diperbuatnya. Bagi kalangan hukum kasus Sengkon dan Karta di tahun 1977 cukup populer sebagai contoh dahsyatnya vonis para wakil Tuhan.
Sengkon dan Karta adalah petani dari Bojongsari, Bekasi Barat. Mereka divonis Pengadilan Negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun untuk Sengkon dan 7 tahun bagi Karta atas dakwaan pembunuhan dan perampokan yang tidak pernah mereka lakukan. Tragisnya, Sengkon terkena penyakit TBC di penjara dan Karta tewas kecelakaan tidak lama setelah dibebaskan dari penjara.
Rencana Rekrutmen
Di masyarakat, saat ini heboh karena akan ada penerimaan calon hakim pada 2017. Kehebohan di tengah masyarakat, khususnya bagi lulusan fakultas hukum, karena sudah beberapa tahun tidak ada penerimaan PNS. Ini artinya, terbuka bagi mereka kesempatan untuk mengabdi dalam bidangnya. Ada banyak sarjana hukum yang sudah lama menanti dibukanya kesempatan berkompetisi di profesi hukum.
Agak sulit mengetahui angka pasti lulusan fakultas hukum setiap tahunnya. Namun sebagai gambaran, saat ini ada 33 universitas negeri dan 466 universitas swasta di Indonesia. Mayoritas universitas memiliki fakultas hukum. Menjadi lebih banyak lagi jumlahnya karena IAIN yang bertransformasi menjadi UIN, juga memiliki fakultas hukum (syariah) yang lulusannya bergelar sarjana hukum saja (sebelumnya sarjana hukum Islam/SHI) yang memiliki kesempatan yang sama.
Sungguh pun tidak ada angka pasti lulusan fakultas hukum setiap tahunnya, namun dapat dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang kesempatan kerja yang tersedia, khususnya jika status CPNS yang dituju.
Khusus untuk rencana seleksi penerimaan hakim pada 2017, tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 2 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengadaan Hakim. Untuk jumlah sudah disetujui oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yaitu 1.684 orang calon hakim.
Bagi Mahkamah Agung, dibukanya kesempatan untuk merekrut para hakim ini terutama untuk memenuhi kebutuhan hakim. Beban kerja para hakim yang semakin tinggi dihadapkan dengan jumlah hakim yang kurang.
Mengutip Ketua Mahkamah Agung RI Hatta Ali bahwa berdasarkan beban kerja 2015, kebutuhan hakim pengadilan tingkat pertama dan banding sebanyak 12.847 orang. Sementara jumlah hakim yang ada saat ini baru 7.989 orang. Jumlah tersebut belum termasuk untuk 86 satuan kerja baru di peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
Oleh karena itu, terjadi kekurangan hakim dalam jumlah signifikan. Sebenarnya dibutuhkan hakim, dengan melihat volume perkara sekitar 12.000 lebih, maka masih dibutuhkan 4.000 hakim.
Trust kepada Mekanisme Seleksi
Saya tidak akan membahas pro-kontra sekitar seleksi hakim pada 2017 ini. Ada yang berpandangan bahwa seharusnya seleksi hakim menunggu disahkan dahulu RUU Jabatan Hakim. Ada juga berpendapat sebaiknya rekrutmen hakim tidak melalui mekanisme seleksi PNS karena hakim adalah pejabat negara. Hakim seharusnya diseleksi dari mereka yang sudah berpengalaman, bukan yang fresh graduate.
Prof Jimly Asshiddiqie, misalnya, menegaskan bahwa negara seharusnya merekrut hakim dari kelompok profesional, bukan jalur CPNS. Bahwa hakim itu jabatan khusus, pejabat negara dan sifatnya itu kehormatan, bukan jabatan kepegawaian, melainkan jabatan dari orang-orang yang mempunyai integritas dan kehormatan tertentu untuk direkrut menjadi hakim.
Selalu ada saja bahan untuk diperdebatkan dan hal semacam itu wajar saja terjadi di era Indonesia yang sudah terbiasa bersilang pendapat. Namun, realitanya kebutuhan hakim dan tuntutan mendesak dari masyarakat atas proses peradilan yang adil tidak memihak dengan putusan hakim yang berkualitas.
Memang ada banyak faktor untuk hadirnya proses peradilan yang fair, tidak memihak dengan kualitas putusan hakim yang berkualitas. Namun, sulit mendapatkan proses peradilan yang cepat dan dirasa adil apabila terjadi kekurangan hakim dalam jumlah signifikan. Putusan hakim yang berkualitas juga memerlukan proses kehati-hatian, waktu yang patut. Jumlah hakim yang memadai berpengaruh atas kondisi ini.
Justru publik lebih konsen terhadap mekanisme rekrutmennya. Sudah sejak lama seleksi penerimaan CPNS tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Publik menilai penerimaan CPNS penuh dengan rekayasa, belepotan KKN. Kebetulan dalam beberapa kejadian, tuduhan itu memang terbukti secara hukum.
Beberapa tahun ini pemerintah menunjukkan keseriusannya dengan membentuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Kita menyaksikan terjadi perubahan signifikan dalam seleksi CPNS di negeri ini, walaupun masih ada keraguan di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, seleksi hakim 2017 ini dengan status CPNS harus benar-benar bersih, bebas dari unsur KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Zero KKN yang diteriakkan bukan hanya slogan belaka.
Salah satu cara yang harus dilakukan dengan menggunakan sistem baku dalam rekrutmen CPNS untuk kementerian/lembaga mana pun. Tidak boleh kementerian/lembaga merekrut CPNS dengan cara dan gayanya sendiri. Sudah tepat jika mekanisme baku itu menggunakan keandalan Kemenpan-RB beserta mitranya.
Trust Kita kepada Wakil Tuhan
Kita harus jujur bahwa trust publik kepada birokrasi Indonesia, termasuk terhadap kementerian dan lembaga, masih relatif rendah. Memang berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki berbagai kekurangan itu. Namun, masih ada persepsi publik bahwa birokrasi pemerintah itu lamban, korup, dan diskriminatif. Berbagai laporan ke Ombudsman RI merefleksikan keadaan itu.
Bukan berarti dimaklumi untuk trust yang rendah terhadap aparatur lainnya, namun "runtuh negara ini" apabila trust (kepercayaan) itu tidak dimiliki oleh para hakim sebagai "wakil Tuhan." Untuk waktu yang lama, adanya istilah mafia peradilan merefleksikan adanya ketidakpercayaan itu.
Namun demikian, saya pribadi menilai secara bertahap kepercayaan (trust) terhadap peradilan kita mulai meningkat. Kepercayaan ini diperoleh setelah sebagian hakim terpublikasi menunjukkan independensi dalam berbagai kasus besar dan menarik perhatian.
Dalam kasus Jessica di Jakarta, misalnya, bukan main tekanan publik yang bagi orang awam pasti memengaruhi hakim. Tidak banyak negara di dunia ini yang menghadirkan siaran langsung di media elektronik untuk suatu persidangan. Terjadi perang opini luar biasa. Tapi ending -nya, semua pihak terpaksa menerima putusan hakim, tidak ada protes berlebihan sebagai indikasi trust kepada hakim.
Belakangan ini, putusan-putusan hakim juga terasa kualitasnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang cukup dalam. Mungkin ada korelasi dengan semakin banyaknya hakim yang berpendidikan S-2 atau bahkan doktor. Selain itu, tuntutan, yang berbeda tipis saja dengan tekanan publik yang sangat kuat agar terjadi reformasi di dunia peradilan. Para hakim tidak memiliki pilihan lain kecuali berbenah diri dan bagi publik kualitas putusan mereka menjadi tolok ukur utama.
Walaupun demikian, seharusnya trust ini diperoleh tidak hanya oleh para hakim di kota-kota besar atau di Jakarta yang mendapat liputan luas dari media. Harus ada jaminan bahwa para hakim di seluruh nusantara memiliki standar kemandirian, profesionalisme yang sama.
Hakim juga dikenal dengan istilah Mr Justice sebagai benteng keadilan terakhir seandainya dalam proses sebelumnya gagal. Ada saja terdakwa dipaksakan statusnya, ada banyak terdakwa merasa tidak adil proses yang dilaluinya. Harapan terakhir itu terhadap Mr. Justice dengan segala kearifannya.
Sepertinya tidak berlebihan menyamakan kata hakim dengan "wakil Tuhan." Mungkin sebutan ini juga muncul karena ada irah-irah "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam setiap putusan hakim. Kini publik menanti seleksi para wakil Tuhan yang objektif, bebas KKN, dan proses penerimaannya juga berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai cirinya.
Ketua Ombudsman RI
SEBENARNYA "ngeri-ngeri sedap" juga saya menggunakan istilah para wakil Tuhan ketika yang dimaksud adalah para hakim. Namun, begitulah istilah yang sudah akrab di telinga sebagian kita untuk menyinonimkan profesi hakim. Hakim telanjur diistilahkan sebagai wakil Tuhan di dunia. Bagi sebagian kita, tidak berlebihan juga menggunakan istilah ini disebabkan beberapa alasan.
Pertama, memang begitu krusialnya peran seorang hakim yang memutus bersalah atau tidak bersalahnya seseorang (guilty or not guilty). Padahal di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon (Civil Law), penentuan bersalah tidak bersalahnya seorang terdakwa itu oleh sekumpulan juri (jurors).
Kedua, lebih luar biasanya lagi dalam sistem hukum kita (dan civil law pada umumnya), hakim pula yang menentukan berapa lama atau apa bentuk hukuman kepada seorang terdakwa itu. Vonis mati kata hakim, maka berakhirlah hidup seseorang. Sebaliknya "bandit besar sekalipun" ketika dinyatakan tidak bersalah dan bebas dari hukuman, maka selamatlah dia.
Ketiga, palu hakim dapat berakibat fatal luar biasa apabila salah mengetuknya. Seorang terdakwa dapat mengakhiri hidupnya di penjara untuk suatu tuduhan kesalahan yang tidak diperbuatnya. Bagi kalangan hukum kasus Sengkon dan Karta di tahun 1977 cukup populer sebagai contoh dahsyatnya vonis para wakil Tuhan.
Sengkon dan Karta adalah petani dari Bojongsari, Bekasi Barat. Mereka divonis Pengadilan Negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun untuk Sengkon dan 7 tahun bagi Karta atas dakwaan pembunuhan dan perampokan yang tidak pernah mereka lakukan. Tragisnya, Sengkon terkena penyakit TBC di penjara dan Karta tewas kecelakaan tidak lama setelah dibebaskan dari penjara.
Rencana Rekrutmen
Di masyarakat, saat ini heboh karena akan ada penerimaan calon hakim pada 2017. Kehebohan di tengah masyarakat, khususnya bagi lulusan fakultas hukum, karena sudah beberapa tahun tidak ada penerimaan PNS. Ini artinya, terbuka bagi mereka kesempatan untuk mengabdi dalam bidangnya. Ada banyak sarjana hukum yang sudah lama menanti dibukanya kesempatan berkompetisi di profesi hukum.
Agak sulit mengetahui angka pasti lulusan fakultas hukum setiap tahunnya. Namun sebagai gambaran, saat ini ada 33 universitas negeri dan 466 universitas swasta di Indonesia. Mayoritas universitas memiliki fakultas hukum. Menjadi lebih banyak lagi jumlahnya karena IAIN yang bertransformasi menjadi UIN, juga memiliki fakultas hukum (syariah) yang lulusannya bergelar sarjana hukum saja (sebelumnya sarjana hukum Islam/SHI) yang memiliki kesempatan yang sama.
Sungguh pun tidak ada angka pasti lulusan fakultas hukum setiap tahunnya, namun dapat dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang kesempatan kerja yang tersedia, khususnya jika status CPNS yang dituju.
Khusus untuk rencana seleksi penerimaan hakim pada 2017, tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 2 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengadaan Hakim. Untuk jumlah sudah disetujui oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yaitu 1.684 orang calon hakim.
Bagi Mahkamah Agung, dibukanya kesempatan untuk merekrut para hakim ini terutama untuk memenuhi kebutuhan hakim. Beban kerja para hakim yang semakin tinggi dihadapkan dengan jumlah hakim yang kurang.
Mengutip Ketua Mahkamah Agung RI Hatta Ali bahwa berdasarkan beban kerja 2015, kebutuhan hakim pengadilan tingkat pertama dan banding sebanyak 12.847 orang. Sementara jumlah hakim yang ada saat ini baru 7.989 orang. Jumlah tersebut belum termasuk untuk 86 satuan kerja baru di peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
Oleh karena itu, terjadi kekurangan hakim dalam jumlah signifikan. Sebenarnya dibutuhkan hakim, dengan melihat volume perkara sekitar 12.000 lebih, maka masih dibutuhkan 4.000 hakim.
Trust kepada Mekanisme Seleksi
Saya tidak akan membahas pro-kontra sekitar seleksi hakim pada 2017 ini. Ada yang berpandangan bahwa seharusnya seleksi hakim menunggu disahkan dahulu RUU Jabatan Hakim. Ada juga berpendapat sebaiknya rekrutmen hakim tidak melalui mekanisme seleksi PNS karena hakim adalah pejabat negara. Hakim seharusnya diseleksi dari mereka yang sudah berpengalaman, bukan yang fresh graduate.
Prof Jimly Asshiddiqie, misalnya, menegaskan bahwa negara seharusnya merekrut hakim dari kelompok profesional, bukan jalur CPNS. Bahwa hakim itu jabatan khusus, pejabat negara dan sifatnya itu kehormatan, bukan jabatan kepegawaian, melainkan jabatan dari orang-orang yang mempunyai integritas dan kehormatan tertentu untuk direkrut menjadi hakim.
Selalu ada saja bahan untuk diperdebatkan dan hal semacam itu wajar saja terjadi di era Indonesia yang sudah terbiasa bersilang pendapat. Namun, realitanya kebutuhan hakim dan tuntutan mendesak dari masyarakat atas proses peradilan yang adil tidak memihak dengan putusan hakim yang berkualitas.
Memang ada banyak faktor untuk hadirnya proses peradilan yang fair, tidak memihak dengan kualitas putusan hakim yang berkualitas. Namun, sulit mendapatkan proses peradilan yang cepat dan dirasa adil apabila terjadi kekurangan hakim dalam jumlah signifikan. Putusan hakim yang berkualitas juga memerlukan proses kehati-hatian, waktu yang patut. Jumlah hakim yang memadai berpengaruh atas kondisi ini.
Justru publik lebih konsen terhadap mekanisme rekrutmennya. Sudah sejak lama seleksi penerimaan CPNS tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Publik menilai penerimaan CPNS penuh dengan rekayasa, belepotan KKN. Kebetulan dalam beberapa kejadian, tuduhan itu memang terbukti secara hukum.
Beberapa tahun ini pemerintah menunjukkan keseriusannya dengan membentuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Kita menyaksikan terjadi perubahan signifikan dalam seleksi CPNS di negeri ini, walaupun masih ada keraguan di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, seleksi hakim 2017 ini dengan status CPNS harus benar-benar bersih, bebas dari unsur KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Zero KKN yang diteriakkan bukan hanya slogan belaka.
Salah satu cara yang harus dilakukan dengan menggunakan sistem baku dalam rekrutmen CPNS untuk kementerian/lembaga mana pun. Tidak boleh kementerian/lembaga merekrut CPNS dengan cara dan gayanya sendiri. Sudah tepat jika mekanisme baku itu menggunakan keandalan Kemenpan-RB beserta mitranya.
Trust Kita kepada Wakil Tuhan
Kita harus jujur bahwa trust publik kepada birokrasi Indonesia, termasuk terhadap kementerian dan lembaga, masih relatif rendah. Memang berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki berbagai kekurangan itu. Namun, masih ada persepsi publik bahwa birokrasi pemerintah itu lamban, korup, dan diskriminatif. Berbagai laporan ke Ombudsman RI merefleksikan keadaan itu.
Bukan berarti dimaklumi untuk trust yang rendah terhadap aparatur lainnya, namun "runtuh negara ini" apabila trust (kepercayaan) itu tidak dimiliki oleh para hakim sebagai "wakil Tuhan." Untuk waktu yang lama, adanya istilah mafia peradilan merefleksikan adanya ketidakpercayaan itu.
Namun demikian, saya pribadi menilai secara bertahap kepercayaan (trust) terhadap peradilan kita mulai meningkat. Kepercayaan ini diperoleh setelah sebagian hakim terpublikasi menunjukkan independensi dalam berbagai kasus besar dan menarik perhatian.
Dalam kasus Jessica di Jakarta, misalnya, bukan main tekanan publik yang bagi orang awam pasti memengaruhi hakim. Tidak banyak negara di dunia ini yang menghadirkan siaran langsung di media elektronik untuk suatu persidangan. Terjadi perang opini luar biasa. Tapi ending -nya, semua pihak terpaksa menerima putusan hakim, tidak ada protes berlebihan sebagai indikasi trust kepada hakim.
Belakangan ini, putusan-putusan hakim juga terasa kualitasnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang cukup dalam. Mungkin ada korelasi dengan semakin banyaknya hakim yang berpendidikan S-2 atau bahkan doktor. Selain itu, tuntutan, yang berbeda tipis saja dengan tekanan publik yang sangat kuat agar terjadi reformasi di dunia peradilan. Para hakim tidak memiliki pilihan lain kecuali berbenah diri dan bagi publik kualitas putusan mereka menjadi tolok ukur utama.
Walaupun demikian, seharusnya trust ini diperoleh tidak hanya oleh para hakim di kota-kota besar atau di Jakarta yang mendapat liputan luas dari media. Harus ada jaminan bahwa para hakim di seluruh nusantara memiliki standar kemandirian, profesionalisme yang sama.
Hakim juga dikenal dengan istilah Mr Justice sebagai benteng keadilan terakhir seandainya dalam proses sebelumnya gagal. Ada saja terdakwa dipaksakan statusnya, ada banyak terdakwa merasa tidak adil proses yang dilaluinya. Harapan terakhir itu terhadap Mr. Justice dengan segala kearifannya.
Sepertinya tidak berlebihan menyamakan kata hakim dengan "wakil Tuhan." Mungkin sebutan ini juga muncul karena ada irah-irah "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam setiap putusan hakim. Kini publik menanti seleksi para wakil Tuhan yang objektif, bebas KKN, dan proses penerimaannya juga berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai cirinya.
(mhd)