Yusril: Presidential Treshold Konstitusional atau Inkonstitusional
A
A
A
JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu yang belum juga tuntas, terus mendapat perhatian publik, salah satunya dari Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Menurut Yusril, seandainya Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum, maka dalam menyelesaikan kontroversi pembahasan RUU Pemilu sekarang ini pantas kiranya jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR meminta fatwa kepada MK.
Diakuinya, fatwa MK yang patut diminta itu ialah untuk menjawab pertanyaan: Apakah dengan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memutuskan bahwa Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden dilakukan serentak tahun 2019 ini, maka masih tetap konstitusionalkah keberadaan presidential treshold berapapun angka prosentasenya 10, 15 atau 20% yang sedang diperdebatkan itu atau sebaliknya telah menjadi inkonstitusional?
"Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting karena berkaitan dengan konstitusionalitas Pemilu 2019 yang akan menentukan perjalanan bangsa dan negara lima tahun berikutnya," kata Yusril dalam siaran pers, Minggu (9/7/2017)
Yusril mengungkapkan, sebab apabila pilpres itu konstitusional, maka selamatlah negara ini, walau rasa tidak puas tentu akan tetap ada. Namun jika pilpres itu inkonstitusional, maka hancur leburlah negara ini sebab pemimpin negaranya tidak mempunyai legitimasi menjalankan roda pemerintahan.
"Kalau Presidennya inkonstitusional, maka setiap orang berhak untuk membangkang kepada Pemerintah," tegasnya.
(Baca juga: Paksakan Presidential Threshold 20%, Pemerintah Dinilai Keliru)
Karenanya sambung Yusril, hal ini sama saja dengan orang yang tidak memenuhi syarat menjadi imam salat, namun memaksakan diri menjadi imam, maka makmum yang ada di belakang tidak punya kewajiban apapun untuk mengikuti iman tersebut. Maka makmum boleh salat sendiri-sendiri tanpa mengikuti imam yang tidak memenuhi syarat itu.
"Namun sayang, berbeda dengan Mahkamah Agung (MA), MK tidak berwenang untuk mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum, sehingga pencarian penyelesaian kontroversi presidential treshold itu bukan dengan cara meminta fatwa kepada MK, haruslah dilakukan dengan ijtihad menggunakan filsafat hukum," tuturnya.
"Teori hukum dan logika hukum. Kalau ketiga jalan ini kita tempuh, maka kesimpulan kita akan sama, yakni kalau pileg dan pilpres dilaksanakan serentak pada hari yang sama, maka membicarakan presidential treshold menjadi samasekali tidak relevan. Kalau dipaksakan, maka presidential treshold itu menjadi inkonstitusional," imbuhnya.
Menurut Yusril, seandainya Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum, maka dalam menyelesaikan kontroversi pembahasan RUU Pemilu sekarang ini pantas kiranya jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR meminta fatwa kepada MK.
Diakuinya, fatwa MK yang patut diminta itu ialah untuk menjawab pertanyaan: Apakah dengan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memutuskan bahwa Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden dilakukan serentak tahun 2019 ini, maka masih tetap konstitusionalkah keberadaan presidential treshold berapapun angka prosentasenya 10, 15 atau 20% yang sedang diperdebatkan itu atau sebaliknya telah menjadi inkonstitusional?
"Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting karena berkaitan dengan konstitusionalitas Pemilu 2019 yang akan menentukan perjalanan bangsa dan negara lima tahun berikutnya," kata Yusril dalam siaran pers, Minggu (9/7/2017)
Yusril mengungkapkan, sebab apabila pilpres itu konstitusional, maka selamatlah negara ini, walau rasa tidak puas tentu akan tetap ada. Namun jika pilpres itu inkonstitusional, maka hancur leburlah negara ini sebab pemimpin negaranya tidak mempunyai legitimasi menjalankan roda pemerintahan.
"Kalau Presidennya inkonstitusional, maka setiap orang berhak untuk membangkang kepada Pemerintah," tegasnya.
(Baca juga: Paksakan Presidential Threshold 20%, Pemerintah Dinilai Keliru)
Karenanya sambung Yusril, hal ini sama saja dengan orang yang tidak memenuhi syarat menjadi imam salat, namun memaksakan diri menjadi imam, maka makmum yang ada di belakang tidak punya kewajiban apapun untuk mengikuti iman tersebut. Maka makmum boleh salat sendiri-sendiri tanpa mengikuti imam yang tidak memenuhi syarat itu.
"Namun sayang, berbeda dengan Mahkamah Agung (MA), MK tidak berwenang untuk mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum, sehingga pencarian penyelesaian kontroversi presidential treshold itu bukan dengan cara meminta fatwa kepada MK, haruslah dilakukan dengan ijtihad menggunakan filsafat hukum," tuturnya.
"Teori hukum dan logika hukum. Kalau ketiga jalan ini kita tempuh, maka kesimpulan kita akan sama, yakni kalau pileg dan pilpres dilaksanakan serentak pada hari yang sama, maka membicarakan presidential treshold menjadi samasekali tidak relevan. Kalau dipaksakan, maka presidential treshold itu menjadi inkonstitusional," imbuhnya.
(maf)