Purjito dan Patung
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
DALAM katalog ini, Dwi Maryanto menyebut dengan catatan khusus bahwa salah satu patung Purjito, ”Merenung”, mengandung inti ‘penyatuan’ antara sang pematung dengan karyanya. Maksudnya, Purjito dan patungnya dianggap telah menyatu dalam jiwa. Mungkin di sini perlu diberi catatan latar belakang penciptaan itu.
Kesaksian Suwarno Wisetrotomo dalam pameran tunggal Purjito, ”Memorandum”, di Galeri Nasional Jakarta, Desember 2015, menyebutkan, Purjito hendak menjadikan istrinya model untuk karyanya, ”Merenung” tadi. Ketika hendak memulai bekerja, tiba-tiba sang pematung merasa seperti kebingungan, bahkan nyaris putus asa. Saat itu dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tetapi, seniman yang jiwanya sudah mengendap itu secara intuitif kemudian meminta istrinya agar ikhlas dijadikan model. Tak ada penjelasan mengapa ikhlas di sini menjadi penting dan apa sebabnya. Orang luar tidak tahu apa hubungan kesiapan sang pematung dan keikhlasan istrinya.
Kelihatannya semua ini merupakan misteri yang tak pernah dijelaskan hingga hari ini. Dan ketika ucapan ‘ikhlas’ itu keluar dari lubuk hati sang istri, tangan Purjito pun kemudian bergerak begitu ringan, seperti sebuah gerak yang dibimbing oleh suatu kekuatan yang tetap merupakan misterius tadi.
Apa sebenarnya yang terjadi di dalam jiwa orang yang pada suatu momen pendek merasa kebingungan, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan kemudian seperti tiba-tiba sajamenjadi tahu dan kemudian terbukti berhasil menyelesaikan karyanya bukan sekedar asal selesai? Apakah makna ‘tiba-tiba’ menjadi tahu ini artinya dia otomatis tahu dengan sendirinya? Kelihatannya di sini ada ”Purjito yang bukan Purjito”.
Tapi demi menghindari kemungkinan yang tak kita kehendaki agar tak menimbulkan salah paham yang tak perlu, di sini harus ditegaskan lebih dulu bahwa kita tak sedang berbicara mengenai lelembut dan segenap makhluk halus yang ‘bekerja’ di balik kreativitas seni Purjito.
Kita tak sedang membahas dan yang penjaga sumber mata air di lereng bukit di luar desa, atau ruh nenek moyang yang bersemayam di pohon randu besar di batas pagar kuburan, yang setiap tahun diberi sajen, kembang-kembang, dan dupa menyala oleh para warga desa ‘kita’.
Sebuah paham keagamaan dengan tegas menganggap makhluk-makhluk seperti itu tidak pernah ada. Dan jika kita punya pendirian lain, yang meyakini bahwa secara empiris mereka ternyata ada, mungkin tak menjadi soal karena pemerintah tak bakal bisa melarangnya.
Tapi sebaiknya kita percaya bahwa mereka tak pernah punya kepentingan dengan atau tak begitu tertarik pada keindahan alam imajiner di dalam diri Purjito. Kita hanya tahu, patung dengan model istrinya itu kemudian jadi.
Dan kita merasa saat menatapnya dengan tatapan mata mungkin mata hati yang dalam, tampak jelas bahwa ”Merenung” merupakan sebuah karya seni yang tidak sekadar asal jadi. Di balik itu semua, seperti dikatakan oleh Dwi Maryanto tadi, ada inti penyatuan diri. Adakah di sini Purjito menyatu dengan Patungnya? Purjito dan Patung itu sebenarnya satu?
Pada mulanya, setahu saya, pelukis Nasharlah yang mengawali diskursus tentang penyatuan jiwa seperti itu. Dia tiap kali melukis perahu, perahu, dan perahu lagi, sesudah pengembaraannya yang penuh penghayatan di Kali Baru, Cilincing, pantai utara Jakarta.
Mengembara merupakan tindakan yang diambil untuk memberi jawaban atas ketidakpuasannya dalam berkarya. Tiap saat dia temukan karyanya masih terasa begitu hampa. Tapi pengembaraan demi pengembaraan mematangkannya.
Karyanya kemudian memancarkan jiwa. Dia berhasil manunggal secara estetis dengan obyek lukisannya. Pada tahap ini kita tak lagi bicara perkara teknik, garis, warna maupun gaya. Pergulatan intenens dalam kerisauan itu ‘beyond’ segenap urusan teknis. Mungkin ini merupakan pemahaman mengenai ‘bobot’ sang seniman. Pendeknya, kita bicara mengenai ‘kaliber’ apa dia sebagai seniman.
Pada tataran itu, sang seniman tak perlu lagi disibukkan oleh tetek bengek tentang teknik, tentang gaya dan segenap pertimbangan lain dalam berkarya. Dalam diri seniman macam itu mungkin ‘berkarya’ ya ‘berkarya’ saja. Kerjakan. Wujudkan. Jangan banyak bicara.
Jangan digoda oleh teori, oleh pemikiran, dan hal-hal lain yang diajarkan oleh guru. Dia sudah guru, bahkan Maha Guru. Satu-satunya Guru tempat dia bertanya hanya dirinya sendiri. Jika kita bicara mengenai Purjito, dia akan bertanya tidak dengan kata-kata pada yang bukan Purjito, yaitu sesuatu yang bukan di luar dirinya, melainkan yang ada di dalam dirinya sendiri.
Bagaimana kita memahami logika tak jelas macam ini? Dalam pemikiran kebudayaan orang Jawa, ada kesadaran yang bersifat relasional antara satu sosok pribadi dengan ‘sing momong’, yaitu sosok yang mengayomi pribadi tadi. Sebaiknya di sini kita bicara mengenai Purjito dan ‘sing momong’ Purjito. Sosok yang mengayomi itu disebut Purjito yang bukan Purjito tadi. Siapa ‘sing momong’ itu?
Pertanyaan itu tak begitu cocok untuk dijawab di sini. Pertama, uraiannya akan terlalu panjang, dan kita harus memasuki wilayah lain yang bukan dunia seni, yang boleh jadi membosankan. Kedua, uraian akan mengubah tulisan ini menjadi sebuah diskursus tentang dunia orang Jawa yang akan bisa membuat sebagian pembaca dunia seni merasa keberatan.
Namun, Purjito yang bukan Purjito itu mungkin juga unsur-unsur Purjito sendiri. Mungkin Purjito yang sudah tercerahkan. Kita tahu tak setiap saat Purjito tampil dengan sosok tercerahkan itu. Ada saat, dan sering sekali, Purjito tampil sebagai Purjito sehari-hari. Purjito yang tercerahkan itu tampil hanya pada saat khusus, saat istimewa, ketika jiwanya diizinkan untuk menjadi istimewa.
Dia sudah berada pada tataran paling atas di dalam dunia seni patung. Mungkin, sekali lagi mungkin, dia sudah sampai pada tingkat ‘makrifat’ yang jika berkarya, ya berkarya saja, dan kerjakan saja seperti disebut di atas. Guru Purjito, siapa tahu ternyata memang Purjito sendiri?
Apakah ini sebuah kultus? Dan ada niat untuk memitoskan Purjito? Dunia yang kering kerontang, yang penuh perkara teknis ini memang butuh guru yang tak bicara teknis dan teori-teori kuno yang ketinggalan zaman, dan tak lagi mampu menjelaskan realitas. Dunia membutuhkan mitos agung yang tak terjangkau nalar dalam kehidupan kita sehari-hari. Tapi mungkin Purjito belum saatnya dikultuskan. Dan sebaiknya dia juga tak usah dimitoskan sekarang.
Dia bukan Cepetto, seorang tukang kayu, yang mencipta Pinocchio, sebuah boneka kecil boleh saja disebut ‘patung’, yang hidup dan sekolah seperti layaknya bocah-bocah kecil lainnya. Kisah Gepetto dan Pinocchio tak mungkin dipaparkan semua di sini. Cukup diakhiri di sini untuk sekadar memberi gambaran tentang manusia yang menciptakan patung. Gepetto menjadi klasik, dikenang di seluruh dunia, dan Purjito belum.
Karya Purjito, ”Sembah”, yang super kolosal itu, oleh Ainun Nadjib dibuat lengkap menjadi ”Sembah pada Hyang”. Saya mencermati dengan baik wajah demi wajah, dan pancaran jiwa tiap wajah dalam karya itu. Purjito terlalu terpesona pada sosok luar.
Dalam ”Merenung” dia berhasil memancarkan karakter yang hidup dan begitu kuat, dalam ”Sembah” mungkin tidak. Bagi saya, ”Sembah” itu terkesan dalam sebagai ”sembah” di atas panggung, sebuah atraksi kesenian yang sedang ditonton banyak orang.
Indah, memperosa, super kolosal, dan punya daya parik. Tapi untuk level Purjito sendiri, orang Jawa, doyan berdialog dengan alam dan mungkin juga meditasi, ”Sembah” itu tampak penuh pesona duniawi, dan pamrih-pamrih duniawi. ”Sembah” dengan tangan menyadong, menanti pemberian, belum jadi sebuah pengabdian.
Sembah yang kelihatannya tanpa pamrih, dengan posisi sedakep seperti Bagawan Ciptaning, pun bukan sembah murni. ”Sembah” yang sebenarnya ”sembah” mungkin tak berharap apa pun. Tak terpesona apa pun. Dan tak diniatkan menjadi sebuah pesona lahiriah yang begitu meriah. ”Sembah” itu ”ning” kaya banyu, ”neng” kaya watu: menghaturkan ”sembah” demi ”sembah” itu sendiri.
Ini sekadar membuktikan bahwa Purjito tak selalu bersama dengan yang bukan Purjito. Dan tak selamanya Purjito tampil dalam sosok yang tercerahkan. Tapi, Purjito yang sehari-hari itu lebih realis, lebih apa adanya. Dan tak membuat kita merasa rendah di sampingnya.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
DALAM katalog ini, Dwi Maryanto menyebut dengan catatan khusus bahwa salah satu patung Purjito, ”Merenung”, mengandung inti ‘penyatuan’ antara sang pematung dengan karyanya. Maksudnya, Purjito dan patungnya dianggap telah menyatu dalam jiwa. Mungkin di sini perlu diberi catatan latar belakang penciptaan itu.
Kesaksian Suwarno Wisetrotomo dalam pameran tunggal Purjito, ”Memorandum”, di Galeri Nasional Jakarta, Desember 2015, menyebutkan, Purjito hendak menjadikan istrinya model untuk karyanya, ”Merenung” tadi. Ketika hendak memulai bekerja, tiba-tiba sang pematung merasa seperti kebingungan, bahkan nyaris putus asa. Saat itu dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tetapi, seniman yang jiwanya sudah mengendap itu secara intuitif kemudian meminta istrinya agar ikhlas dijadikan model. Tak ada penjelasan mengapa ikhlas di sini menjadi penting dan apa sebabnya. Orang luar tidak tahu apa hubungan kesiapan sang pematung dan keikhlasan istrinya.
Kelihatannya semua ini merupakan misteri yang tak pernah dijelaskan hingga hari ini. Dan ketika ucapan ‘ikhlas’ itu keluar dari lubuk hati sang istri, tangan Purjito pun kemudian bergerak begitu ringan, seperti sebuah gerak yang dibimbing oleh suatu kekuatan yang tetap merupakan misterius tadi.
Apa sebenarnya yang terjadi di dalam jiwa orang yang pada suatu momen pendek merasa kebingungan, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan kemudian seperti tiba-tiba sajamenjadi tahu dan kemudian terbukti berhasil menyelesaikan karyanya bukan sekedar asal selesai? Apakah makna ‘tiba-tiba’ menjadi tahu ini artinya dia otomatis tahu dengan sendirinya? Kelihatannya di sini ada ”Purjito yang bukan Purjito”.
Tapi demi menghindari kemungkinan yang tak kita kehendaki agar tak menimbulkan salah paham yang tak perlu, di sini harus ditegaskan lebih dulu bahwa kita tak sedang berbicara mengenai lelembut dan segenap makhluk halus yang ‘bekerja’ di balik kreativitas seni Purjito.
Kita tak sedang membahas dan yang penjaga sumber mata air di lereng bukit di luar desa, atau ruh nenek moyang yang bersemayam di pohon randu besar di batas pagar kuburan, yang setiap tahun diberi sajen, kembang-kembang, dan dupa menyala oleh para warga desa ‘kita’.
Sebuah paham keagamaan dengan tegas menganggap makhluk-makhluk seperti itu tidak pernah ada. Dan jika kita punya pendirian lain, yang meyakini bahwa secara empiris mereka ternyata ada, mungkin tak menjadi soal karena pemerintah tak bakal bisa melarangnya.
Tapi sebaiknya kita percaya bahwa mereka tak pernah punya kepentingan dengan atau tak begitu tertarik pada keindahan alam imajiner di dalam diri Purjito. Kita hanya tahu, patung dengan model istrinya itu kemudian jadi.
Dan kita merasa saat menatapnya dengan tatapan mata mungkin mata hati yang dalam, tampak jelas bahwa ”Merenung” merupakan sebuah karya seni yang tidak sekadar asal jadi. Di balik itu semua, seperti dikatakan oleh Dwi Maryanto tadi, ada inti penyatuan diri. Adakah di sini Purjito menyatu dengan Patungnya? Purjito dan Patung itu sebenarnya satu?
Pada mulanya, setahu saya, pelukis Nasharlah yang mengawali diskursus tentang penyatuan jiwa seperti itu. Dia tiap kali melukis perahu, perahu, dan perahu lagi, sesudah pengembaraannya yang penuh penghayatan di Kali Baru, Cilincing, pantai utara Jakarta.
Mengembara merupakan tindakan yang diambil untuk memberi jawaban atas ketidakpuasannya dalam berkarya. Tiap saat dia temukan karyanya masih terasa begitu hampa. Tapi pengembaraan demi pengembaraan mematangkannya.
Karyanya kemudian memancarkan jiwa. Dia berhasil manunggal secara estetis dengan obyek lukisannya. Pada tahap ini kita tak lagi bicara perkara teknik, garis, warna maupun gaya. Pergulatan intenens dalam kerisauan itu ‘beyond’ segenap urusan teknis. Mungkin ini merupakan pemahaman mengenai ‘bobot’ sang seniman. Pendeknya, kita bicara mengenai ‘kaliber’ apa dia sebagai seniman.
Pada tataran itu, sang seniman tak perlu lagi disibukkan oleh tetek bengek tentang teknik, tentang gaya dan segenap pertimbangan lain dalam berkarya. Dalam diri seniman macam itu mungkin ‘berkarya’ ya ‘berkarya’ saja. Kerjakan. Wujudkan. Jangan banyak bicara.
Jangan digoda oleh teori, oleh pemikiran, dan hal-hal lain yang diajarkan oleh guru. Dia sudah guru, bahkan Maha Guru. Satu-satunya Guru tempat dia bertanya hanya dirinya sendiri. Jika kita bicara mengenai Purjito, dia akan bertanya tidak dengan kata-kata pada yang bukan Purjito, yaitu sesuatu yang bukan di luar dirinya, melainkan yang ada di dalam dirinya sendiri.
Bagaimana kita memahami logika tak jelas macam ini? Dalam pemikiran kebudayaan orang Jawa, ada kesadaran yang bersifat relasional antara satu sosok pribadi dengan ‘sing momong’, yaitu sosok yang mengayomi pribadi tadi. Sebaiknya di sini kita bicara mengenai Purjito dan ‘sing momong’ Purjito. Sosok yang mengayomi itu disebut Purjito yang bukan Purjito tadi. Siapa ‘sing momong’ itu?
Pertanyaan itu tak begitu cocok untuk dijawab di sini. Pertama, uraiannya akan terlalu panjang, dan kita harus memasuki wilayah lain yang bukan dunia seni, yang boleh jadi membosankan. Kedua, uraian akan mengubah tulisan ini menjadi sebuah diskursus tentang dunia orang Jawa yang akan bisa membuat sebagian pembaca dunia seni merasa keberatan.
Namun, Purjito yang bukan Purjito itu mungkin juga unsur-unsur Purjito sendiri. Mungkin Purjito yang sudah tercerahkan. Kita tahu tak setiap saat Purjito tampil dengan sosok tercerahkan itu. Ada saat, dan sering sekali, Purjito tampil sebagai Purjito sehari-hari. Purjito yang tercerahkan itu tampil hanya pada saat khusus, saat istimewa, ketika jiwanya diizinkan untuk menjadi istimewa.
Dia sudah berada pada tataran paling atas di dalam dunia seni patung. Mungkin, sekali lagi mungkin, dia sudah sampai pada tingkat ‘makrifat’ yang jika berkarya, ya berkarya saja, dan kerjakan saja seperti disebut di atas. Guru Purjito, siapa tahu ternyata memang Purjito sendiri?
Apakah ini sebuah kultus? Dan ada niat untuk memitoskan Purjito? Dunia yang kering kerontang, yang penuh perkara teknis ini memang butuh guru yang tak bicara teknis dan teori-teori kuno yang ketinggalan zaman, dan tak lagi mampu menjelaskan realitas. Dunia membutuhkan mitos agung yang tak terjangkau nalar dalam kehidupan kita sehari-hari. Tapi mungkin Purjito belum saatnya dikultuskan. Dan sebaiknya dia juga tak usah dimitoskan sekarang.
Dia bukan Cepetto, seorang tukang kayu, yang mencipta Pinocchio, sebuah boneka kecil boleh saja disebut ‘patung’, yang hidup dan sekolah seperti layaknya bocah-bocah kecil lainnya. Kisah Gepetto dan Pinocchio tak mungkin dipaparkan semua di sini. Cukup diakhiri di sini untuk sekadar memberi gambaran tentang manusia yang menciptakan patung. Gepetto menjadi klasik, dikenang di seluruh dunia, dan Purjito belum.
Karya Purjito, ”Sembah”, yang super kolosal itu, oleh Ainun Nadjib dibuat lengkap menjadi ”Sembah pada Hyang”. Saya mencermati dengan baik wajah demi wajah, dan pancaran jiwa tiap wajah dalam karya itu. Purjito terlalu terpesona pada sosok luar.
Dalam ”Merenung” dia berhasil memancarkan karakter yang hidup dan begitu kuat, dalam ”Sembah” mungkin tidak. Bagi saya, ”Sembah” itu terkesan dalam sebagai ”sembah” di atas panggung, sebuah atraksi kesenian yang sedang ditonton banyak orang.
Indah, memperosa, super kolosal, dan punya daya parik. Tapi untuk level Purjito sendiri, orang Jawa, doyan berdialog dengan alam dan mungkin juga meditasi, ”Sembah” itu tampak penuh pesona duniawi, dan pamrih-pamrih duniawi. ”Sembah” dengan tangan menyadong, menanti pemberian, belum jadi sebuah pengabdian.
Sembah yang kelihatannya tanpa pamrih, dengan posisi sedakep seperti Bagawan Ciptaning, pun bukan sembah murni. ”Sembah” yang sebenarnya ”sembah” mungkin tak berharap apa pun. Tak terpesona apa pun. Dan tak diniatkan menjadi sebuah pesona lahiriah yang begitu meriah. ”Sembah” itu ”ning” kaya banyu, ”neng” kaya watu: menghaturkan ”sembah” demi ”sembah” itu sendiri.
Ini sekadar membuktikan bahwa Purjito tak selalu bersama dengan yang bukan Purjito. Dan tak selamanya Purjito tampil dalam sosok yang tercerahkan. Tapi, Purjito yang sehari-hari itu lebih realis, lebih apa adanya. Dan tak membuat kita merasa rendah di sampingnya.
(pur)