Halalbihalal dan Kohesi Sosial

Rabu, 05 Juli 2017 - 08:45 WIB
Halalbihalal dan Kohesi Sosial
Halalbihalal dan Kohesi Sosial
A A A
Faozan Amar
Dosen Studi Islam FEB UHAMKA dan Direktur Eksekutif Al Wasath Institute

Salah satu tradisi yang menyertai perayaan Hari Raya Idul Fitri adalah silaturahim dan halalbihalal. Tradisi ini biasanya dirayakan setelah puasa Ramadan bersamaan lebaran Idul Fitri. Tradisi tersebut tak hanya dilakukan di kampung-kampung saat mudik, tapi juga di perkotaan, kantor-kantor pemerintah dan swasta, bahkan sampai ke Istana Negara. Uniknya lagi, sekarang halalbihalal telah menjadi "kalender resmi" dan agenda tahunan di hampir setiap instansi pemerintah, bahwa hari pertama kerja dimulai dengan silaturahim dan halalbihalal.

Kata halalbihalal itu sendiri telah ada sejak sekitar tahun 1935-1936 yang diucapkan oleh tukang martabak saat jualan di Taman Sriwedari Solo (Hendri F Isnaeni, 2017). Sejarah mencatat, 1948 lalu Presiden Soekarno mengadakan halal­bihalal di Istana Negara, duduk satu meja dengan pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda, dan hasilnya ada solusi bersama untuk mengatasi keadaan dan kegentingan memaksa, sehingga persatuan dan kesatuan bangsa dapat terjalin kembali.

Begitu juga pada 1963, Presiden Soekarno berjabat tangan dengan Buya Hamka, ulama karismatik yang sempat berbeda pandangan dengannya. Ketika berjabat saat perayaan Idul Fitri di Istana Negara, Buya Hamka mengatakan "kita halalbihalal". Hal yang sama juga dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dengan bertemu pimpinan GNPF MUI, yang menggerakkan Aksi 212 saat Pilkada DKI, menjelang Idul Fitri kemarin. Hal itu pun mengurangi ketegangan pasca-Pilkada DKI, baik di tingkat elite maupun akar rumput.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indo­nesia, halalbihalal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Sementara dalam Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan bahwa halalbihalal berasal dari bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikalnya yang benar sebagai pengganti istilah silaturahmi.

Menurut M Quraish Shihab (1992), pakar tafsir Alquran; halalbihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Araba halala, yang diapit dengan suku kata penghubung ba (dibaca bi). Halal bermakna sesuatu yang dibolehkan, tidak dilarang, atau tidak diharamkan. Jadi halalbihalal secara sederhana bermakna halal dengan halal. Sehingga tak ada lagi dosa, kesalahan, ganjalan, dendam, dan sebagainya karena sudah dihalalkan dengan saling memaafkan.

Budayawan Umar Kayam menilai bawah tradisi halalbihalal merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Jadi khas Islam Indonesia karena tidak ditemukan di negara-negara Arab.

Kebinekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, di satu sisi merupakan anugerah dari Tuhan, jika kita dapat mengelolanya dengan baik dan benar. Namun, di sisi lain jika kita tidak mampu memanfaatkannya dengan baik maka akan menjadi laknat atau hukuman yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Halalbihalal merupakan salah satu bentuk kebinekaan yang menjadi kekayaan dan kekuatan bangsa Indonesia. Maka itu, alangkah indahnya jika dimanfaatkan untuk memperkuat kohesi sosial, sehingga Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dalam segala bidang.

Salah satu dinamika yang menyertai kehidupan perpolitikan Indonesia adalah perbedaan pilihan dalam Pilkada DKI Jakarta. Pilkada tersebut tak hanya merebutkan kursi gubernur dan wakilnya, tapi juga pertarungan kepentingan partai politik pengusung pasangan calon, kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan bahkan "kepentingan agama" tertentu turut menyertainya. Dinamika yang terjadi begitu keras dan tajam sampai ke tataran akar rumput (grassroot), dan sangat menguras energi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, momentum silaturahim Idul Fitri dan halalbihalal ini harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Halalbihalal harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kohesivitas sosial yang sempat putus akibat terjadinya perbedaan sikap, pandangan dan perilaku, utamanya politik dalam setahun terakhir ini. Yakni dengan sama-sama menghilangkan sifat dan sikap egois untuk saling memberi dan memaafkan antarsesama umat manusia. Sebab, sifat memaafkan kesalahan orang lain me­rupakan ciri dari orang yang bertakwa (QS. Ali Imran ; 133).

Di samping itu, kita diperintahkan untuk berlapang dada dengan saling memaafkan satu sama lain, sebab dengan jalan cara tersebut Allah akan mengampuni manusia (QS An Nur; 22). Sehingga derajat takwa merupakan tujuan utama dari ibadah puasa itu sendiri yang dijalani selama sebulan, dapat diraih (QS. Al Baqarah ; 183).

Apalagi sebagai manusia, kita memang diciptakan berbeda, baik jenis kelamin, suku, agama, ras, bangsa maupun golongan (QS. Al Hujurat : 113). Begitu juga manusia tidak terlepas dari dosa dan kesalahan, baik yang disengaja (lupa, khilaf) maupun yang tidak disengaja. Itulah sebabnya Allah SWT memiliki sifat Maha Pengampun (al Ghafur), yang kemudian dalam tradisi sungkeman di Jawa, orang yang muda, yang bersalah datang ke yang lebih tua untuk nyuwun ngapuro, meminta maaf sehingga proses halalbihalal terjadi.

Ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari halalbihalal, yakni antara lain: pertama, saling memaafkan satu sama lain, baik antarkeluarga, antarmasyarakat, maupun antarpegawai dan karyawan di lingkungan kerja. Kedua, menjaga keharmonisan dalam lingkungan sehingga kerukunan antardiri dan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Ketiga, memperbanyak umur dan memperbanyak rezeki, sebab dengan hubungan sesama manusia menjadi lancar dan mudah sehingga pintu rezeki terbuka lebar. Keempat, terwujudnya kohesi sosial yang makin kokoh sehingga memudahkan jalan untuk meraih kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Mari kita manfaatkan momentum halalbihalal ini dengan sebaik-baiknya agar kohesi sosial makin kuat, sehingga jalan menuju kemajuan bangsa dan terlaksana. Wallahu a'lam.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7025 seconds (0.1#10.140)