Perkotaan Menyambut Pendatang

Selasa, 04 Juli 2017 - 08:12 WIB
Perkotaan Menyambut Pendatang
Perkotaan Menyambut Pendatang
A A A
Dr. Edy Purwo Saputro, SE, MSi
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

KETIKA hingar-bingar Idul Fitri berlalu, maka yang tersisa adalah hiruk-pikuk arus balik menuju ke perkotaan, Jakarta tetaplah menjadi favorit tujuan para perantau melalui rutinitas arus balik pasca-Idul Fitri yang selalu dua kali atau lebih dari arus mudik. Justru yang menjadikan pertanyaan bagaimana perkotaan menyikapi tantangan arus balik Idul Fitri? Problem perkotaan memang kompleks, tidak hanya terkait dengan tata ruang, tapi juga aspek lingkungan sosial, kemasyarakatan, dan budaya.

Oleh karena itu, seiring laju pembangunan perkotaan, maka yang harus lebih diperhatikan adalah bagaimana supaya pembangunan benar-benar manusiawi dan tidak sebaliknya, yang justru makin memicu kerentanan terhadap masyarakat perkotaan atau lebih parah lagi memacu timbulnya kelompok masyarakat miskin perkotaan.

Oleh karena itu, dibalik laju pembangunan kota selalu ada sejumlah kasus klasik, yaitu pertama, mengapa dan apa sebabnya cenderung terjadi kompleksitas problem sosial di perkotaan yang meliputi persoalan kependudukan, urbanisasi, kesenjangan sosial yang makin kuat, disorganisasi kelembagaan masyarakat, meningkatnya penyandang masalah sosial, patologi sosial, ketimpangan pendidikan dan derajat kesehatan, serta fenomena PKL. Kedua, mengapa dan apa sebabnya cenderung terjadi kompleksitas permasalahan ekonomi di perkotaan yang meliputi lemahnya kemampuan dunia usaha, pengangguran, dan realitas kemiskinan di perkotaan.

Ketiga, mengapa dan apa sebabnya cenderung terjadi kompleksitas permasalahan sarana-prasarana perkotaan yang meliputi persoalan penataan ruang tidak efektif, sampah dan air limbah, transportasi kota semakin buruk, keterbatasan air bersih, perumahan dan permukiman kumuh, gangguan pelestarian aliran sungai, serta merosotnya kualitas lingkungan secara makro.

Acuan Mendasar
Pembangunan sejumlah kota baru juga rentan memicu implikasi sosial-ekonomi karena pembangunan sejumlah kota baru secara tidak langsung menjadi lampion menarik bagi laron-laron desa untuk menyerbu perkotaan, terutama pasca-Idul Fitri. Ironisnya, laron-laron desa tersebut ada yang memiliki keterampilan, tapi banyak juga yang hanya bonek sehingga sangat rentan memicu dampak sosial-ekonomi baru di perkotaan sebagai daerah tujuan migrasi dari laron-laron desa itu.

Konsekuensinya kue hasil pembangunan di perkotaan akan semakin banyak pembaginya dan ini rentan gesekan antara warga asli versus pendatang. Sementara semua memiliki hak untuk mendapatkan kue pembangunan. Artinya, konflik sosial sangat rentan dan tentu ini menjadi pembelajaran bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memacu ekonomi di daerah secara maksimal.

Berbagai persoalan klasik tersebut tentu semakin membebani perkotaan, terutama untuk perkotaan yang menjadi tujuan pendatang, baik pendatang murni berbekal skill atau pendatang yang memanfaatkan arus balik pasca-Idul Fitri untuk mengadu nasib di kota dengan berbekal sanak saudara yang terlebih dahulu hidup di perkotaan. Dengan begitu, tidak peduli apakah mereka termasuk yang beruntung di kota atau justru menjadi komunitas miskin kota, termasuk juga komunitas pendatang yang marak menjadi PKL.

Tidak bisa dimungkiri banyak pendatang beralih profesi menjadi PKL karena tidak mendapat kesempatan berkiprah di sektor formal. PKL bisa menjadi simbol eksistensi ekonomi kerakyatan, meski di sisi lain, PKL juga memicu kerawanan dan implikasi sosial lainnya. Jadi beralasan jika pemerintah berkomitmen memacu kewirausahaan untuk mereduksi pengangguran dan mengurangi fenomena migrasi pasca Lebaran.

Gerakan kewirausahaan ternyata menjadi tantangan berat, terutama dikaitkan dengan kegagalan program kewirausahaan sehingga hal ini harus dilakukan berkelanjutan. Oleh karena itu, migrasi pasca-Lebaran menjadi PR besar, terutama bagi instansi di pusat daerah yang berkompeten dengan keberhasilan kewirausahaan. Selain itu, keberhasilan program ini berpengaruh terhadap perkembangan industri kreatif yang notabene juga menjadi agenda bagi daerah di era otda, terutama untuk menciptakan produk unggulan berbasis sumber daya lokal agar menggerakkan ekonomi daerah dan mereduksi pengangguran.

Implikasi program kewirausahaan, yaitu memacu perekonomian di daerah, mereduksi kesenjangan, dan mencegah terjadinya migrasi pasca-Lebaran. Program ini juga bisa didukung dengan alokasi dana desa. Tahun 2016 dana desa Rp776,3 triliun terdiri dari dana transfer daerah Rp729,3 triliun dan dana desa Rp47 triliun. Tahun 2017 menjadi Rp764,9 triliun terdiri dari dana transfer ke daerah Rp704,9 triliun plus dana desa Rp60 triliun.

Berkelanjutan
Salah satu esensi pendukung gerakan kewirausahaan adalah peran dari perbankan. Sebuah bank persero gencar mengiklankan kewirausahaan dengan fokus ekspo kewirausahaan melalui skim kredit untuk memacu kewirausahaan di kalangan generasi muda. Pada satu sisi, ini menarik terkait komitmen memacu kewirausahaan di kalangan generasi muda. Target generasi muda ini adalah tepat karena migrasi pasca-Lebaran mayoritas dilakukan usia muda. Di sisi lain, membangun etos kewirausahaan juga butuh spirit sosial karena tidak hanya sekadar dibantu modal.

Data BPS menegaskan bahwa rasio wirausaha pada 2013/2014 sekitar 1,67% dan per Maret 2017 menjadi 3,1%. Tidak mudah membangun wirausaha baru, apalagi jika iklim makro tidak sejalan dengan komitmen ini. Belum lagi ancaman suku bunga jika terkait bantuan modal.

Jika gerakan ini berhasil, maka selain memacu etos kewirausahaan, juga bisa mereduksi kemiskinan, pengangguran, dan mereduksi tingginya migrasi pasca-Lebaran. Wirausaha menjadi dasar pengembangan mental wirausaha secara nasional sehingga akan semakin bermunculan wirausaha yang bisa menyerap tenaga kerja. Hal ini selain membangun karakter generasi muda, juga memacu etos kewirausahaan generasi muda dan menciptakan mental generasi muda yang tangguh, mandiri, dan membangun ekonomi di daerahnya sehingga mereduksi migrasi pasca-Lebaran.

Terkait ini, beralasan jika Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta Sandiaga Uno menegaskan agar calon pendatang pasca-Lebaran berbekal keahlian bisa bersaing di pasar kerja di Jakarta khususnya dan perkotaan lain pada umumnya. Apalagi prediksi jumlah pendatang ke Jakarta bisa mencapai lebih dari 500.000 orang, termasuk di daerah penyangga, yaitu Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor.

(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5732 seconds (0.1#10.140)