Merangkul Emiten Asing
A
A
A
MERANGKUL perusahaan asing terutama yang memiliki anak usaha atau kantor perwakilan di Indonesia menjadi emiten Bursa Efek Indonesia (BEI) baru sebatas keinginan. Apa boleh buat sejumlah persoalan yang menghadang justru bersumber dari regulasi di pasar modal sendiri.
Pasalnya, perusahaan asing yang ingin listing di pasar modal domestik harus memakai skema Sertifikat Penitipan Efek Indonesia (SPEI) atau Indonesia Depository Receipt (IDR). Skema IDR menjadi kendala sebab terdapat mekanisme pajak dan kustodi yang dianggap merepotkan.
Kendala lain, perusahaan asing harus berbentuk perseroan terbatas (PT).
Perusahaan asing berminat melantai di BEI tanpa harus melalui aturan yang dinilai tidak efisien seperti melalui mekanisme SPEI dan pembentukan PT. Karena itu, manajemen BEI sedang mengomunikasikan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk merevisi aturan SPEI.
Gayung bersambut, pihak OJK telah merespons keinginan manajemen BEI. Revisi kebijakan SPEI sedang digodok, tinggal menunggu waktu saja. Pihak OJK menyadari, untuk meramaikan bursa saham memang sejumlah aturan main harus direvisi dengan menyesuaikan perkembangan zaman, termasuk bagaimana mempermudah perusahaan asing untuk menjadi anggota emiten BEI.
Sementara itu, pihak BEI sudah membentuk tim khusus yang bertugas mengawal perusahaan asing yang siap melaksanakan initial public offering (IPO) di Indonesia. Selain mengawal perusahaan asing yang bersiap IPO, tim tersebut juga mengevaluasi dan mempelajari mengapa perusahaan asing tidak bersedia melantai di bursa saham Indonesia.
Manajemen BEI memang sedang berupaya keras menarik perusahaan asing untuk listing. Kehadiran perusahaan asing di pasar modal akan memengaruhi kapitalisasi pasar (market caps). Saat ini kapitalisasi pasar di pasar modal baru mencapai Rp6.250,3 triliun. Bandingkan dengan Singapura dengan nilai kapitalisasi pasarnya yang sudah mencapai Rp8.000 triliun.
Mengapa kapitalisasi pasar Indonesia masih kecil dibandingkan dengan Singapura? Untuk menjawab pertanyaan ini, Direktur Utama (Dirut) BEI Tito Sulistio tak perlu berpikir karena jawabannya di luar kepala, yakni minimnya perusahaan asing yang mencatatkan saham di pasar modal Indonesia.
Perusahaan asing dari China yang tercatat di Singapura tak kurang dari 250 perusahaan. Itu belum dari negara lain. Dalam dua tahun terakhir ini Tito Sulistio mengklaim telah mendongkrak ka-pitalisasi pasar sekitar 25%, dari level Rp5.000,3 triliun pada Juni 2015 melaju ke level Rp6.250,3 triliun pada pertengahan Mei 2017.
Selama dua tahun terakhir ini kinerja BEI di bawah kepemimpinan Tito Sulistio cukup meyakinkan. Sejumlah terobosan telah dilakukan baik untuk menghadirkan emiten baru maupun dalam upaya memperbesar jumlah investor pasar modal. Pada perdagangan terakhir sebelum Lebaran indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat menembus level 5.831.
Saat ini jumlah investor saham meningkat dari 389.089 single investor identification (SID) menjadi 583.762. Dan, investor saham yang aktif bertransaksi secara bulanan naik dari 73.943 menjadi 99.299. Adapun jumlah investor reksa dana telah menembus angka 523.309. Tahun lalu BEI meraih laba bersih sebesar Rp374,2 miliar atau meningkat sekitar 186% dari laba bersih sebesar Rp121 miliar pada 2015.
Hanya, penambahan emiten baru dalam dua tahun masih bergerak lamban, baru naik 6% dari 512 menjadi 543 emiten per Mei 2017. Meski demikian, manajemen BEI optimistis penambahan emiten baru tahun ini lebih signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Dari 35 emiten baru yang dipatok tahun ini, telah terealisasi 17 emiten baru pada semester pertama tahun ini.
Sedangkan semester kedua tak kurang dari 15 perusahaan yang sudah menyatakan minat untuk IPO. Di antaranya anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk, yakni PT Garuda Maintenance Facility (GMF). Sejumlah badan usaha milik daerah (BUMD) DKI Jakarta juga telah dipersiapkan melantai di bursa.
Yang menarik, perhatian pemerintah terhadap perkembangan pasar modal belakangan ini cukup serius. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memanggil Dirut BEI Tito Sulistio ke Istana Negara dengan maksud mendengar langsung perkembangan terkini pasar modal Indonesia.
Meski Presiden Jokowi tak memberi target khusus kepada nakhoda BEI tersebut, secara tersirat orang nomor satu di Indonesia itu berharap jumlah emiten di pasar modal semakin banyak. Perhatian pemerintah yang serius terhadap pasar modal adalah sebuah momentum manajemen BEI untuk menarik BUMN masuk pasar modal yang selama ini terganjal berbagai regulasi.
Pasalnya, perusahaan asing yang ingin listing di pasar modal domestik harus memakai skema Sertifikat Penitipan Efek Indonesia (SPEI) atau Indonesia Depository Receipt (IDR). Skema IDR menjadi kendala sebab terdapat mekanisme pajak dan kustodi yang dianggap merepotkan.
Kendala lain, perusahaan asing harus berbentuk perseroan terbatas (PT).
Perusahaan asing berminat melantai di BEI tanpa harus melalui aturan yang dinilai tidak efisien seperti melalui mekanisme SPEI dan pembentukan PT. Karena itu, manajemen BEI sedang mengomunikasikan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk merevisi aturan SPEI.
Gayung bersambut, pihak OJK telah merespons keinginan manajemen BEI. Revisi kebijakan SPEI sedang digodok, tinggal menunggu waktu saja. Pihak OJK menyadari, untuk meramaikan bursa saham memang sejumlah aturan main harus direvisi dengan menyesuaikan perkembangan zaman, termasuk bagaimana mempermudah perusahaan asing untuk menjadi anggota emiten BEI.
Sementara itu, pihak BEI sudah membentuk tim khusus yang bertugas mengawal perusahaan asing yang siap melaksanakan initial public offering (IPO) di Indonesia. Selain mengawal perusahaan asing yang bersiap IPO, tim tersebut juga mengevaluasi dan mempelajari mengapa perusahaan asing tidak bersedia melantai di bursa saham Indonesia.
Manajemen BEI memang sedang berupaya keras menarik perusahaan asing untuk listing. Kehadiran perusahaan asing di pasar modal akan memengaruhi kapitalisasi pasar (market caps). Saat ini kapitalisasi pasar di pasar modal baru mencapai Rp6.250,3 triliun. Bandingkan dengan Singapura dengan nilai kapitalisasi pasarnya yang sudah mencapai Rp8.000 triliun.
Mengapa kapitalisasi pasar Indonesia masih kecil dibandingkan dengan Singapura? Untuk menjawab pertanyaan ini, Direktur Utama (Dirut) BEI Tito Sulistio tak perlu berpikir karena jawabannya di luar kepala, yakni minimnya perusahaan asing yang mencatatkan saham di pasar modal Indonesia.
Perusahaan asing dari China yang tercatat di Singapura tak kurang dari 250 perusahaan. Itu belum dari negara lain. Dalam dua tahun terakhir ini Tito Sulistio mengklaim telah mendongkrak ka-pitalisasi pasar sekitar 25%, dari level Rp5.000,3 triliun pada Juni 2015 melaju ke level Rp6.250,3 triliun pada pertengahan Mei 2017.
Selama dua tahun terakhir ini kinerja BEI di bawah kepemimpinan Tito Sulistio cukup meyakinkan. Sejumlah terobosan telah dilakukan baik untuk menghadirkan emiten baru maupun dalam upaya memperbesar jumlah investor pasar modal. Pada perdagangan terakhir sebelum Lebaran indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat menembus level 5.831.
Saat ini jumlah investor saham meningkat dari 389.089 single investor identification (SID) menjadi 583.762. Dan, investor saham yang aktif bertransaksi secara bulanan naik dari 73.943 menjadi 99.299. Adapun jumlah investor reksa dana telah menembus angka 523.309. Tahun lalu BEI meraih laba bersih sebesar Rp374,2 miliar atau meningkat sekitar 186% dari laba bersih sebesar Rp121 miliar pada 2015.
Hanya, penambahan emiten baru dalam dua tahun masih bergerak lamban, baru naik 6% dari 512 menjadi 543 emiten per Mei 2017. Meski demikian, manajemen BEI optimistis penambahan emiten baru tahun ini lebih signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Dari 35 emiten baru yang dipatok tahun ini, telah terealisasi 17 emiten baru pada semester pertama tahun ini.
Sedangkan semester kedua tak kurang dari 15 perusahaan yang sudah menyatakan minat untuk IPO. Di antaranya anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk, yakni PT Garuda Maintenance Facility (GMF). Sejumlah badan usaha milik daerah (BUMD) DKI Jakarta juga telah dipersiapkan melantai di bursa.
Yang menarik, perhatian pemerintah terhadap perkembangan pasar modal belakangan ini cukup serius. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memanggil Dirut BEI Tito Sulistio ke Istana Negara dengan maksud mendengar langsung perkembangan terkini pasar modal Indonesia.
Meski Presiden Jokowi tak memberi target khusus kepada nakhoda BEI tersebut, secara tersirat orang nomor satu di Indonesia itu berharap jumlah emiten di pasar modal semakin banyak. Perhatian pemerintah yang serius terhadap pasar modal adalah sebuah momentum manajemen BEI untuk menarik BUMN masuk pasar modal yang selama ini terganjal berbagai regulasi.
(maf)