Terlalu Sensitif Tanggapi Kritik, Negara Berjalan Mundur
A
A
A
JAKARTA - Pesan singkat atau SMS Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo kepada Jaksa Yulianto harus dipandang sebagai kritik membangun, bukan justru dianggap ancaman.
Ketua Pemuda Perindo Yogyakarta, RM Lanang Hadiwidjoyo mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu sensitif, apalagi sampai berlebihan dalam menanggapi kritik yang dilancarkan oleh masyarakat
Menurut dia, pemerintah harus menyadari realitas sosiologis saat ini, yakni perilaku masyarakat yang mengungkapkan aspirasi melalui beragam media, baik media sosial maupun media elektronik.
"Saya merasa resah terhadap perilaku kekuasaan kekinian yang terlalu sensitif terhadap kritik," kata Ketua Pemuda Perindo Yogyakarta, Lanang Hadiwidjoyo, Kamis (29/7/2017). (Baca juga: Bukan Ancaman, SMS HT Justru Bentuk Kritik terhadap Penegak Hukum )
Dia menilai, kekuasaan yang terlalu sensitif terhadap kritik justru membuat negara berjalan mundur. Lanang berharap penguasa seharusnya terbuka terhadap kritik. Menurut dia, negara harus dibangun tidak dengan gerakan-gerakan manifes, melainkan melalui gerakan laten dan penuh etika.
"Kebijakan-kebijakan politik, keputusan-keputusan politik harus lah didasarkan pada logika, etika, dan estetika," tuturnya.
Lanang juga mengatakan, seharusnya penegak hukum dapat mengindentifikasi secara benar ucapan masyarakat. "Saya berpesan agar penegak hukum benar-benar dapat mengidentifikasi ucapan, ujaran, tindakan, dan teks kalimat ancaman dengan cita-cita," tutur Lanang.
Seperti diketahui, melalui SMS, HT hanya menyampaikan sebuah ajakan untuk membuktikan siapa yang profesional antara dirinya dan Yulianto.
HT mengatakan masuk ke dunia politik dengan maksud baik, yakni memberantas oknum-oknum penegak hukum yang abuse of power. SMS itu justru ditanggapi Yulianto dengan melaporkan HT ke Bareskrim Polri, 28 Januari 2016.
Setelah lebih dari satu tahun, Bareskrim melakukan pemanggilan terhadap HT dalam kapasitas sebagai saksi pada 12 Juni 2017. Tidak hanya itu, pada 16 Juni 2017 Jaksa Agung M Prasetyo menyebut HT tersangka. Pada hari yang sama, Polri membantah dengan menyatakan status pengusutan laporan SMS Yulianto masih penyelidikan.
Pernyataan Jaksa Agung menuai banyak kritikan berbagai kalangan. Tidak ingin diperlakukan sewenang-wenang, Kuasa hukum HT melaporkan Jaksa Agung ke Bareskrim Polri.
Setelah berbagai rangkaian peristiwa itu, Mabes Polri baru mengakui menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) laporan Jaksa Yulianto terhadap HT.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Perindo Ricky Margono menduga tuduhan terhadap HT berkaitan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. Pasalnya, HT disebut-sebut sebagai salah seorang yang akan maju pada Pilpres 2019 mendatang.
"Ini kayak ada agenda terselubung atau agenda bersih-bersih untuk menuju 2019," katanya, Jumat 16 Juni 2017. (Baca juga: Kasus SMS Disinyalir untuk Hadang Langkah Politik HT )
Dia mengaku bingung dengan tuduhan mengancam yang dialamatkan kepada HT. "Itu saya jadi berpikir jorok ya kepada penegakan hukum di bangsa ini, yang cenderung dipaksakan sesuai dengan kepentingan," tutur Ricky.
Ketua Pemuda Perindo Yogyakarta, RM Lanang Hadiwidjoyo mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu sensitif, apalagi sampai berlebihan dalam menanggapi kritik yang dilancarkan oleh masyarakat
Menurut dia, pemerintah harus menyadari realitas sosiologis saat ini, yakni perilaku masyarakat yang mengungkapkan aspirasi melalui beragam media, baik media sosial maupun media elektronik.
"Saya merasa resah terhadap perilaku kekuasaan kekinian yang terlalu sensitif terhadap kritik," kata Ketua Pemuda Perindo Yogyakarta, Lanang Hadiwidjoyo, Kamis (29/7/2017). (Baca juga: Bukan Ancaman, SMS HT Justru Bentuk Kritik terhadap Penegak Hukum )
Dia menilai, kekuasaan yang terlalu sensitif terhadap kritik justru membuat negara berjalan mundur. Lanang berharap penguasa seharusnya terbuka terhadap kritik. Menurut dia, negara harus dibangun tidak dengan gerakan-gerakan manifes, melainkan melalui gerakan laten dan penuh etika.
"Kebijakan-kebijakan politik, keputusan-keputusan politik harus lah didasarkan pada logika, etika, dan estetika," tuturnya.
Lanang juga mengatakan, seharusnya penegak hukum dapat mengindentifikasi secara benar ucapan masyarakat. "Saya berpesan agar penegak hukum benar-benar dapat mengidentifikasi ucapan, ujaran, tindakan, dan teks kalimat ancaman dengan cita-cita," tutur Lanang.
Seperti diketahui, melalui SMS, HT hanya menyampaikan sebuah ajakan untuk membuktikan siapa yang profesional antara dirinya dan Yulianto.
HT mengatakan masuk ke dunia politik dengan maksud baik, yakni memberantas oknum-oknum penegak hukum yang abuse of power. SMS itu justru ditanggapi Yulianto dengan melaporkan HT ke Bareskrim Polri, 28 Januari 2016.
Setelah lebih dari satu tahun, Bareskrim melakukan pemanggilan terhadap HT dalam kapasitas sebagai saksi pada 12 Juni 2017. Tidak hanya itu, pada 16 Juni 2017 Jaksa Agung M Prasetyo menyebut HT tersangka. Pada hari yang sama, Polri membantah dengan menyatakan status pengusutan laporan SMS Yulianto masih penyelidikan.
Pernyataan Jaksa Agung menuai banyak kritikan berbagai kalangan. Tidak ingin diperlakukan sewenang-wenang, Kuasa hukum HT melaporkan Jaksa Agung ke Bareskrim Polri.
Setelah berbagai rangkaian peristiwa itu, Mabes Polri baru mengakui menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) laporan Jaksa Yulianto terhadap HT.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Perindo Ricky Margono menduga tuduhan terhadap HT berkaitan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. Pasalnya, HT disebut-sebut sebagai salah seorang yang akan maju pada Pilpres 2019 mendatang.
"Ini kayak ada agenda terselubung atau agenda bersih-bersih untuk menuju 2019," katanya, Jumat 16 Juni 2017. (Baca juga: Kasus SMS Disinyalir untuk Hadang Langkah Politik HT )
Dia mengaku bingung dengan tuduhan mengancam yang dialamatkan kepada HT. "Itu saya jadi berpikir jorok ya kepada penegakan hukum di bangsa ini, yang cenderung dipaksakan sesuai dengan kepentingan," tutur Ricky.
(dam)