Memaknai Hari Lebaran
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KATA Idul Fitri mengandung dua makna. Pertama, kembali pada fitrah kesucian seseorang setelah sebulan berpuasa. Ini sesungguhnya lebih tepat dipahami sebagai sebuah doa. Semoga dosa-dosa diampuni dan dengan puasa memperoleh kekuatan serta komitmen baru untuk senantiasa menjaga kefitrian kita.
Kedua, kembali pada kebiasaan sebelumnya, yaitu pagi-pagi kita makan dan minum. Makanya Idul Fitri merupakan perayaan dan tasyakuran rohani dan jasmani sekaligus. Pada hari itu Allah melarang seorang mukmin berpuasa.
Dalam masyarakat Jawa khususnya, Idul Fitri dikenal dengan sebutan Lebaran. Lebar artinya rampung, usai; yaitu berhasil merampungkan perintah puasa.
Terdapat beberapa kata dan istilah yang serumpun dengan kata lebar (usai), yang memiliki spirit dan pengayaan arti dari Idul Fitri, yaitu luber. Maksudnya, perayaan Idul Fitri ditandai dengan jiwa luber, melimpah, yang diwujudkan dengan pelunasan zakat fitrah dan sedekah untuk menyempurnakan ibadah Ramadan.
Ketika kita berkunjung ke rumah tetangga, saudara atau teman, berbagai hidangan sudah tersedia. Kenangan waktu kecil dulu, ruang tamu seakan disulap jadi warung, menyediakan berbagai makanan yang tentu saja gratis.
Kata lain yang serumpun adalah lebur. Idul Fitri merupakan momentum seseorang untuk melebur ke dalam jaringan sosial yang penuh semangat perdamaian dan egaliter. Kita saling memaafkan dan menghargai sesama manusia yang pada dasarnya adalah baik.
Sikap lebur hanya dimungkinkan jika kita memiliki pandangan positif serta respek pada yang lain. Untuk ini diperlukan jiwa yang lebar atau luas.
Ini terlihat dan terasakan, ketika Idul Fitri tiba, jiwa kita menjadi lebar, lapang, karena sekat-sekat yang membatasi persaudaraan telah kita robohkan. Kita saling memaafkan dan mendoakan.
Dalam bahasa Sunda juga dikenal kata lubar, yang artinya lapang. Kalau semua itu kita wujudkan dengan sungguh-sungguh maka muncul istilah labur. Dalam masyarakat Jawa, labur berarti membuat pagar dan tembok menjadi putih kembali. Begitulah semangat Idul Fitri, semoga kita berhasil membuat hati, pikiran dan perilaku menjadi putih kembali.
Uraian singkat di atas sedikitnya menjelaskan sebuah realitas sosial keagamaan, bahwa Islam di Nusantara ini telah berbaur dengan tradisi lokal, keduanya saling mengisi dan memperkaya. Tentu saja sumber agama datang dari wahyu ilahi, sedangkan budaya adalah kreasi manusia.
Tetapi hubungan agama dan budaya, bagaikan hubungan ruh dan tubuh. Tanpa budaya maka pesan wahyu sulit dipahami dan diterapkan dalam sebuah masyarakat, atau ibarat pesawat tidak punya landasan untuk mendarat.
Bahkan, halalbihalal dan mudik Lebaran yang sedemikian kolosal saat ini menjadi acara khas Indonesia. Sebuah inovasi dan kreasi budaya keagamaan yang sangat jenius dan berhasil, bahkan telah menjadi bagian dari agenda negara.
Lebaran sepenuhnya agenda masyarakat tanpa minta APBN. Namun, pemerintah membantu memfasilitasi terhadap warga negaranya. Adapun ritual salat Id dan khotbahnya seragam di seluruh dunia. Namun, ekspresi kulturalnya berbeda-beda. Ini sebuah bidah budaya (cultural innovation) yang mesti kita apresiasi dan lestarikan.
Makanya kalau ada kelompok ekstremis yang menempatkan negara RI sebagai musuh agama, pemikiran itu jelas salah. Ajaran agama apa yang dilarang di Indonesia?
Agenda yang mendesak itu bagaimana memberantas korupsi, meningkatkan kualitas pendidikan, menciptakan lapangan kerja, dan bersama-sama menjaga kedamaian. Bukan gerakan merobohkan Indonesia, lalu diganti dengan ideologi lain yang tak punya akar historis-politis di Indonesia. Itu hanya akan menciptakan segregasi dan perseteruan sosial yang sia-sia, bahkan menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebaikan apa yang mau ditiru dan diimpor dari krisis Suriah yang dimotori oleh ISIS? Yang ada hanyalah sebuah kehancuran dan kesengsaraan rakyat dan tercorengnya martabat Islam.
Sebagai pesan penutup, dengan datangnya Idul Fitri, yang berakhir itu puasa makan dan minum di siang hari. Adapun pesan puasa hati, pikiran, dan tindakan justru akan diuji setelah Idul Fitri, apakah kita berhasil menjalani training Ramadan ataukah gagal.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KATA Idul Fitri mengandung dua makna. Pertama, kembali pada fitrah kesucian seseorang setelah sebulan berpuasa. Ini sesungguhnya lebih tepat dipahami sebagai sebuah doa. Semoga dosa-dosa diampuni dan dengan puasa memperoleh kekuatan serta komitmen baru untuk senantiasa menjaga kefitrian kita.
Kedua, kembali pada kebiasaan sebelumnya, yaitu pagi-pagi kita makan dan minum. Makanya Idul Fitri merupakan perayaan dan tasyakuran rohani dan jasmani sekaligus. Pada hari itu Allah melarang seorang mukmin berpuasa.
Dalam masyarakat Jawa khususnya, Idul Fitri dikenal dengan sebutan Lebaran. Lebar artinya rampung, usai; yaitu berhasil merampungkan perintah puasa.
Terdapat beberapa kata dan istilah yang serumpun dengan kata lebar (usai), yang memiliki spirit dan pengayaan arti dari Idul Fitri, yaitu luber. Maksudnya, perayaan Idul Fitri ditandai dengan jiwa luber, melimpah, yang diwujudkan dengan pelunasan zakat fitrah dan sedekah untuk menyempurnakan ibadah Ramadan.
Ketika kita berkunjung ke rumah tetangga, saudara atau teman, berbagai hidangan sudah tersedia. Kenangan waktu kecil dulu, ruang tamu seakan disulap jadi warung, menyediakan berbagai makanan yang tentu saja gratis.
Kata lain yang serumpun adalah lebur. Idul Fitri merupakan momentum seseorang untuk melebur ke dalam jaringan sosial yang penuh semangat perdamaian dan egaliter. Kita saling memaafkan dan menghargai sesama manusia yang pada dasarnya adalah baik.
Sikap lebur hanya dimungkinkan jika kita memiliki pandangan positif serta respek pada yang lain. Untuk ini diperlukan jiwa yang lebar atau luas.
Ini terlihat dan terasakan, ketika Idul Fitri tiba, jiwa kita menjadi lebar, lapang, karena sekat-sekat yang membatasi persaudaraan telah kita robohkan. Kita saling memaafkan dan mendoakan.
Dalam bahasa Sunda juga dikenal kata lubar, yang artinya lapang. Kalau semua itu kita wujudkan dengan sungguh-sungguh maka muncul istilah labur. Dalam masyarakat Jawa, labur berarti membuat pagar dan tembok menjadi putih kembali. Begitulah semangat Idul Fitri, semoga kita berhasil membuat hati, pikiran dan perilaku menjadi putih kembali.
Uraian singkat di atas sedikitnya menjelaskan sebuah realitas sosial keagamaan, bahwa Islam di Nusantara ini telah berbaur dengan tradisi lokal, keduanya saling mengisi dan memperkaya. Tentu saja sumber agama datang dari wahyu ilahi, sedangkan budaya adalah kreasi manusia.
Tetapi hubungan agama dan budaya, bagaikan hubungan ruh dan tubuh. Tanpa budaya maka pesan wahyu sulit dipahami dan diterapkan dalam sebuah masyarakat, atau ibarat pesawat tidak punya landasan untuk mendarat.
Bahkan, halalbihalal dan mudik Lebaran yang sedemikian kolosal saat ini menjadi acara khas Indonesia. Sebuah inovasi dan kreasi budaya keagamaan yang sangat jenius dan berhasil, bahkan telah menjadi bagian dari agenda negara.
Lebaran sepenuhnya agenda masyarakat tanpa minta APBN. Namun, pemerintah membantu memfasilitasi terhadap warga negaranya. Adapun ritual salat Id dan khotbahnya seragam di seluruh dunia. Namun, ekspresi kulturalnya berbeda-beda. Ini sebuah bidah budaya (cultural innovation) yang mesti kita apresiasi dan lestarikan.
Makanya kalau ada kelompok ekstremis yang menempatkan negara RI sebagai musuh agama, pemikiran itu jelas salah. Ajaran agama apa yang dilarang di Indonesia?
Agenda yang mendesak itu bagaimana memberantas korupsi, meningkatkan kualitas pendidikan, menciptakan lapangan kerja, dan bersama-sama menjaga kedamaian. Bukan gerakan merobohkan Indonesia, lalu diganti dengan ideologi lain yang tak punya akar historis-politis di Indonesia. Itu hanya akan menciptakan segregasi dan perseteruan sosial yang sia-sia, bahkan menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebaikan apa yang mau ditiru dan diimpor dari krisis Suriah yang dimotori oleh ISIS? Yang ada hanyalah sebuah kehancuran dan kesengsaraan rakyat dan tercorengnya martabat Islam.
Sebagai pesan penutup, dengan datangnya Idul Fitri, yang berakhir itu puasa makan dan minum di siang hari. Adapun pesan puasa hati, pikiran, dan tindakan justru akan diuji setelah Idul Fitri, apakah kita berhasil menjalani training Ramadan ataukah gagal.
(poe)