Mengkriminalisasi Lawan Politik
A
A
A
PERNYATAAN Jaksa Agung HM Prasetyo, Jumat (16/6) lalu, yang mengatakan Chairman dan CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) sebagai tersangka sangat mengejutkan dan menuai kontroversi. Sebagai penjabat tertinggi yang memimpin Kejaksaan, pernyataan HM Prasetyo sangat disayangkan dan patut dipertanyakan. Apakah yang bersangkutan memberikan pernyataan selaku jaksa agung atau sebagai pribadi yang notabene adalah kader partai politik? Publik perlu mengingat kembali bahwa HM Prasetyo merupakan kader partai politik pendukung utama pemerintahan kabinet Jokowi-JK dan pernah duduk sebagai wakil rakyat di parlemen. Tentunya seorang pejabat publik tak akan keluar dari pakemnya saat berkomentar, apalagi mengenai kasus hukum yang bukan domainnya.
Sedikit melihat ke belakang, diangkatnya HM Prasetyo sebagai jaksa agung di awal pembentukan kabinet, telah menjadi polemik dan menuai kritik baik antara sesama partai pendukung maupun di masyarakat. Pengangkatan jaksa agung berlatar belakang partai politik menjadi pertanyaan seberapa serius pemerintah melakukan penegakan hukum tanpa tekanan partai politik. Hukum seharusnya berdiri tegak dan tak dikangkangi oleh kepentingan politik. Meski pengangkatan Prasetyo merupakan hak prerogatif presiden, tetap saja hal itu menjadi cacat kabinet karena penunjukan yang bersangkutan tidak transparan.
Seperti dikutip KORAN SINDO (18/6), Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menilai apa yang dilakukan pemerintah terhadap HT adalah bentuk matinya akal sehat dalam mengembangkan demokrasi dengan menggunakan hukum sebagai palu untuk mematikan pesaing potensial dalam pilpres mendatang. Politikus Partai Demokrat itu menilai pemerintah terlalu kasar dalam berpolitik, tidak beradab, dan tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Tensi politik yang tinggi pasca-Pilkada DKI Jakarta dan menjelang Pilpres 2019 seharusnya dihadapi dengan kedewasaan berpolitik, bukan menikam lawan politik dengan cara yang kasar. Ketegasan presiden selaku kepala pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menjaga profesionalitas penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan selaku lembaga negara yang sedang berada dalam genggaman partai politik, karena campur aduk politik dalam lembaga hukum sangat meruntuhkan wibawa negara dan seharusnya dapat dihindari.
Beberapa isu harus menjadi bahan evaluasi Presiden Jokowi terhadap pimpinan korps Adhyaksa tersebut. Pertama , kinerja Kejaksaan Agung yang sering kali kalah ketika beperkara di pengadilan. Ketidakcermatan Kejaksaan dalam menangani suatu kasus menjadi pertanyaan banyak kalangan. Kedua , berbagai kasus yang ditangani kental bermuatan politis. Misalnya kasus Mobile-8, kasus di pengadilan Tipikor yang memvonis bebas mantan Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti, dan penanganan kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahja Purnama di mana jaksa penuntut umum memberikan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun kepada terdakwa. Ketiga , Kejaksaan di bawah pimpinan HM Prasetyo lebih banyak menimbulkan polemik ketimbang prestasi. Kejaksaan Agung selama ini juga tidak mengelola informasi publik secara transparan. Keempat , akuntabilitas kinerja kejaksaan yang sangat rendah. Seperti diketahui, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melansir hasil evaluasi akuntabilitas kinerja kementerian dan lembaga pada 2015. Dari hasil penilaian itu, Kejagung mendapat peringkat akhir atau ke-86 dengan skor 50,2.
Seharusnya Presiden Jokowi peka terhadap pembantunya yang tidak memenuhi kriteria sebagai penegak hukum. Presiden harus mengambil langkah tegas menyelamatkan wajah korps Kejaksaan yang semakin memburuk di bawah HM Prasetyo. Polemik yang terjadi sejak awal pengangkatan Prasetyo hingga saat ini tidak bisa dihindari begitu saja oleh Presiden. Sudah saatnya mengambil sikap kepada penjabat yang tidak memiliki prestasi, tetapi justru menimbulkan kontroversi. Semoga Kejaksaan ke depan lebih baik dan bebas dari tunggangan partai politik!
Sedikit melihat ke belakang, diangkatnya HM Prasetyo sebagai jaksa agung di awal pembentukan kabinet, telah menjadi polemik dan menuai kritik baik antara sesama partai pendukung maupun di masyarakat. Pengangkatan jaksa agung berlatar belakang partai politik menjadi pertanyaan seberapa serius pemerintah melakukan penegakan hukum tanpa tekanan partai politik. Hukum seharusnya berdiri tegak dan tak dikangkangi oleh kepentingan politik. Meski pengangkatan Prasetyo merupakan hak prerogatif presiden, tetap saja hal itu menjadi cacat kabinet karena penunjukan yang bersangkutan tidak transparan.
Seperti dikutip KORAN SINDO (18/6), Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menilai apa yang dilakukan pemerintah terhadap HT adalah bentuk matinya akal sehat dalam mengembangkan demokrasi dengan menggunakan hukum sebagai palu untuk mematikan pesaing potensial dalam pilpres mendatang. Politikus Partai Demokrat itu menilai pemerintah terlalu kasar dalam berpolitik, tidak beradab, dan tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Tensi politik yang tinggi pasca-Pilkada DKI Jakarta dan menjelang Pilpres 2019 seharusnya dihadapi dengan kedewasaan berpolitik, bukan menikam lawan politik dengan cara yang kasar. Ketegasan presiden selaku kepala pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menjaga profesionalitas penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan selaku lembaga negara yang sedang berada dalam genggaman partai politik, karena campur aduk politik dalam lembaga hukum sangat meruntuhkan wibawa negara dan seharusnya dapat dihindari.
Beberapa isu harus menjadi bahan evaluasi Presiden Jokowi terhadap pimpinan korps Adhyaksa tersebut. Pertama , kinerja Kejaksaan Agung yang sering kali kalah ketika beperkara di pengadilan. Ketidakcermatan Kejaksaan dalam menangani suatu kasus menjadi pertanyaan banyak kalangan. Kedua , berbagai kasus yang ditangani kental bermuatan politis. Misalnya kasus Mobile-8, kasus di pengadilan Tipikor yang memvonis bebas mantan Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti, dan penanganan kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahja Purnama di mana jaksa penuntut umum memberikan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun kepada terdakwa. Ketiga , Kejaksaan di bawah pimpinan HM Prasetyo lebih banyak menimbulkan polemik ketimbang prestasi. Kejaksaan Agung selama ini juga tidak mengelola informasi publik secara transparan. Keempat , akuntabilitas kinerja kejaksaan yang sangat rendah. Seperti diketahui, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melansir hasil evaluasi akuntabilitas kinerja kementerian dan lembaga pada 2015. Dari hasil penilaian itu, Kejagung mendapat peringkat akhir atau ke-86 dengan skor 50,2.
Seharusnya Presiden Jokowi peka terhadap pembantunya yang tidak memenuhi kriteria sebagai penegak hukum. Presiden harus mengambil langkah tegas menyelamatkan wajah korps Kejaksaan yang semakin memburuk di bawah HM Prasetyo. Polemik yang terjadi sejak awal pengangkatan Prasetyo hingga saat ini tidak bisa dihindari begitu saja oleh Presiden. Sudah saatnya mengambil sikap kepada penjabat yang tidak memiliki prestasi, tetapi justru menimbulkan kontroversi. Semoga Kejaksaan ke depan lebih baik dan bebas dari tunggangan partai politik!
(mhd)