Komedi dan Tragedi
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
HIDUP itu ibarat sebuah komedi di atas panggung. Kita, para aktor utama di dalamnya, menari-nari dengan riang gembira. Mungkin kita juga menyanyikan lagu-lagu.
Kita meminta orang lain memainkan gendang sesuai dengan langgam tari kita. Gaya tari menentukan irama gendang. Sang aktor menjadi penentu. Dia menguasai diri dan orang-orang di sekitarnya. Seolah dia sadar bahwa dirinya merupakan pusat dunia. Ketika roda kehidupan berputar, dialah sumbunya. Tapi dia pula yang memutarkannya. Di sini aktor juga menjadi penyusun naskah kehidupan yang dimainkannya. Dengan kata lain, mungkin dia membuat lakon bagi diri sendiri. Kira-kira begitu yang terjadi dalam hidup kita sehari-hari, yang tampak, bisa diamati, bisa ditonton, dan simbol-simbol yang dipancarkannya bisa kita beri makna.
Misalnya, sekali lagi, hidup itu seperti sebuah komedi di atas panggung. Dalam kehidupan politik, tokoh-tokohnya juga hidup di atas sebuah panggung. Mungkin kita sudah memberinya nama sejak dulu: panggung politik. Tokoh yang boleh disebut baik artinya tokoh yang serba-bersahaja, apa adanya, dan tak punya kecenderungan aneh-aneh, neko-neko, dan berlebihan. Jelas selalu tampil seadanya, seperlunya, sesuai dengan kebutuhan.
Tokoh ini menari diiringi gendang sesuai dengan langgam tarinya. Kalau ada suara gendang bertalu-talu dan dia diminta menari sesuai dengan alunan gendang itu, dia akan menolak. Dia yang menentukan porsi hidupnya. Dia yang mengisi peran hidupnya dan alunan gendang disesuaikan dengan langgam tari yang dimainkannya.
***
Tapi di dunia politik, orang mudah berubah. Seorang aktor politik yang baik dan bersahaja, jujur dan apa adanya bisa berubah drastis. Tiba-tiba dia pandai sekali menari di atas gendang orang lain. Dia pandai sekali menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarnya. Apa yang dulu dia tolak, sekarang diterima. Mungkin diterima dengan senang hati. Suatu jenis irama gendang yang dulu dia tak suka mendengarnya tiba-tiba dia menyukainya.
Dan tiba-tiba dia tampak begitu terampil menari sesuai dengan hentakan-hentakan gendang yang ditentukan orang lain. Dia menjadi begitu akomodatif, mudah menerima apa yang dulu tak mungkin diterimanya. Mungkin tiba-tiba dia juga menjadi begitu permisif terhadap apa yang dengan gigih pernah ditolaknya. Orang menganggap dia tak seperti dulu lagi. Tapi orang hanya menilai apa yang tampak di luar, yaitu apa yang kelihatannya merupakan gambaran tentang dirinya. Tak pernah dilakukan suatu kemungkinan cara melihat yang agak lain, bahwa mungkin dia memang begitu sejak dulu.
Identitas pribadinya sejak dulu seperti yang kita lihat. Watak dan kecenderungan-kecenderungannya sebenarnya sejak dulu begitu. Tapi dulu dia tampil dengan topeng. Wajahnya kelihatannya lain. Karakter pribadinya disesuaikan dengan karakter topengnya. Dengan kata lain, selama ini dia bermain drama. Dia mengecoh orang lain dan orang-orang di sekitarnya menilai kepribadiannya sesuai benar dengan yang diinginkannya. Mengecoh atau menipu orang lain tak begitu parah akibatnya. Tapi selama itu dia sebenarnya juga menipu diri sendiri.
Dia pernah untuk waktu lama percaya bahwa dirinya sama dan identik dengan peran-peran sosial yang dimainkannya. Dia pernah begitu percaya bahwa dirinya orang baik dan jujur. Ketika seorang politikus juga menyandang sebutan tokoh pejuang rakyat, tokoh demokratis, tokoh ini tokoh itu, sang aktor juga gemetar. Dia ingin mengatakan bahwa dirinya bukan yang itu. Tapi karena gelar-gelar itu menggetarkan jiwanya, dia bertahan menjadi diri yang tak begitu otentik.
Dia berusaha menjadi diri yang bukan dirinya dan ketika momentum penting terjadi serta menuntut tindakan yang sama sekali lain dari apa yang bisa dilakukannya, dia melakukan apa yang bisa. Sekadar sebisanya. Dan itulah yang mengejutkan orang. Kok dia ternyata begitu? Dan banyak orang merasa keheranan melihat dirinya begitu mengecewakan. Mungkin sebenarnya dia memang begitu sejak dulu.
Mungkin sebenarnya dia tak pernah benar-benar berusaha menjadi politisi yang baik, jujur, dan apa adanya. Tapi umumnya orang tak mengetahuinya. Umumnya orang tahu dia tokoh yang baik dan itu sebabnya mereka kaget setengah mati ketika seolah tiba-tiba saja dia berubah. Seolah-olah dia berubah tanpa penyebab yang masuk akal.
***
Untuk waktu lama dia bisa memainkan komedi dalam hidupnya. Mungkin dia memainkannya dengan baik. Begitu kita menyebutnya tanpa mengetahui bahwa sebenarnya dia bosan menjadi diri yang bukan otentik diri sendiri. Menjadi orang baik itu sudah baik meskipun tak terlalu otentik. Tapi ketika perubahan dari orang baik menjadi orang yang begitu mengejutkan banyak kalangan itu terjadi, sebenarnya ada keguncangan dalam dirinya seperti halnya keguncangan di hati banyak kalangan. Perubahan ini begitu tragis, begitu mencolok.
Mungkin inilah tragedi kehidupan. Sebenarnya dia hanya berubah dari dirinya kembali ke dirinya. Tapi ketika untuk waktu lama ada bungkus sosiologis yang menutupi kenyataan mengenai diri sendiri, perubahan itu terasa seolah begitu dramatis dan mencolok. Perubahan yang pada hakikatnya bukan perubahan, tetapi seolah merupakan sebuah tragedi yang penuh kejutan. Dia sendiri tak terkejut. Dia sendiri merasa nyaman saja mengutuk orang lain dengan ungkapan penuh dendam. Dia merasa biasa saja bersumpah untuk melakukan ini dan itu demi mengejek orang lain. Bahwa dia tak memenuhi sumpahnya, itu tak menjadi persoalan baginya Karena bukankah dia memang bukan orang yang berpegang pada etika kesatria yang luhur budi pekertinya.
Dia memang punya penampilan fisik seperti kaum kesatria tapi secara psikologis mungkin lebih cocok disebut golongan raksasa. Dia kesatria yang tak memiliki watak kesatria. Ketika segenap dendam dan dengkinya kepada orang lain berbalik menjadi pukulan telak bagi diri sendiri, orang tidak kaget lagi. Kini orang mengerti— mungkin mereka juga punya rasa dendam kepadanya—bahwa pukulan itu sudah selayaknya. Tak begitu tampak adanya sikap empati atas musibahnya, tepi sebaliknya, orang malah begitu gembira, dan menganggap musibah itu sudah selayaknya menghantam dirinya.
Ada bahkan yang menganggap musibah itu belum apa-apa. Jadi masih ada yang diharapkan bakal terjadi musibah lebih besar lagi. Tragedi yang kini memukulnya biarkanlah menjadi tragedi. Barangkali tragedi yang mengantarkannya ke dalam kesejatian dirinya. Barangkali tragedi yang membuatnya berubah menjadi seorang kesatria yang menjunjung tinggi sikap kesatria yang kebaikannya membuat pintu surga terbuka tanpa ada tangan yang membukanya.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
HIDUP itu ibarat sebuah komedi di atas panggung. Kita, para aktor utama di dalamnya, menari-nari dengan riang gembira. Mungkin kita juga menyanyikan lagu-lagu.
Kita meminta orang lain memainkan gendang sesuai dengan langgam tari kita. Gaya tari menentukan irama gendang. Sang aktor menjadi penentu. Dia menguasai diri dan orang-orang di sekitarnya. Seolah dia sadar bahwa dirinya merupakan pusat dunia. Ketika roda kehidupan berputar, dialah sumbunya. Tapi dia pula yang memutarkannya. Di sini aktor juga menjadi penyusun naskah kehidupan yang dimainkannya. Dengan kata lain, mungkin dia membuat lakon bagi diri sendiri. Kira-kira begitu yang terjadi dalam hidup kita sehari-hari, yang tampak, bisa diamati, bisa ditonton, dan simbol-simbol yang dipancarkannya bisa kita beri makna.
Misalnya, sekali lagi, hidup itu seperti sebuah komedi di atas panggung. Dalam kehidupan politik, tokoh-tokohnya juga hidup di atas sebuah panggung. Mungkin kita sudah memberinya nama sejak dulu: panggung politik. Tokoh yang boleh disebut baik artinya tokoh yang serba-bersahaja, apa adanya, dan tak punya kecenderungan aneh-aneh, neko-neko, dan berlebihan. Jelas selalu tampil seadanya, seperlunya, sesuai dengan kebutuhan.
Tokoh ini menari diiringi gendang sesuai dengan langgam tarinya. Kalau ada suara gendang bertalu-talu dan dia diminta menari sesuai dengan alunan gendang itu, dia akan menolak. Dia yang menentukan porsi hidupnya. Dia yang mengisi peran hidupnya dan alunan gendang disesuaikan dengan langgam tari yang dimainkannya.
***
Tapi di dunia politik, orang mudah berubah. Seorang aktor politik yang baik dan bersahaja, jujur dan apa adanya bisa berubah drastis. Tiba-tiba dia pandai sekali menari di atas gendang orang lain. Dia pandai sekali menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarnya. Apa yang dulu dia tolak, sekarang diterima. Mungkin diterima dengan senang hati. Suatu jenis irama gendang yang dulu dia tak suka mendengarnya tiba-tiba dia menyukainya.
Dan tiba-tiba dia tampak begitu terampil menari sesuai dengan hentakan-hentakan gendang yang ditentukan orang lain. Dia menjadi begitu akomodatif, mudah menerima apa yang dulu tak mungkin diterimanya. Mungkin tiba-tiba dia juga menjadi begitu permisif terhadap apa yang dengan gigih pernah ditolaknya. Orang menganggap dia tak seperti dulu lagi. Tapi orang hanya menilai apa yang tampak di luar, yaitu apa yang kelihatannya merupakan gambaran tentang dirinya. Tak pernah dilakukan suatu kemungkinan cara melihat yang agak lain, bahwa mungkin dia memang begitu sejak dulu.
Identitas pribadinya sejak dulu seperti yang kita lihat. Watak dan kecenderungan-kecenderungannya sebenarnya sejak dulu begitu. Tapi dulu dia tampil dengan topeng. Wajahnya kelihatannya lain. Karakter pribadinya disesuaikan dengan karakter topengnya. Dengan kata lain, selama ini dia bermain drama. Dia mengecoh orang lain dan orang-orang di sekitarnya menilai kepribadiannya sesuai benar dengan yang diinginkannya. Mengecoh atau menipu orang lain tak begitu parah akibatnya. Tapi selama itu dia sebenarnya juga menipu diri sendiri.
Dia pernah untuk waktu lama percaya bahwa dirinya sama dan identik dengan peran-peran sosial yang dimainkannya. Dia pernah begitu percaya bahwa dirinya orang baik dan jujur. Ketika seorang politikus juga menyandang sebutan tokoh pejuang rakyat, tokoh demokratis, tokoh ini tokoh itu, sang aktor juga gemetar. Dia ingin mengatakan bahwa dirinya bukan yang itu. Tapi karena gelar-gelar itu menggetarkan jiwanya, dia bertahan menjadi diri yang tak begitu otentik.
Dia berusaha menjadi diri yang bukan dirinya dan ketika momentum penting terjadi serta menuntut tindakan yang sama sekali lain dari apa yang bisa dilakukannya, dia melakukan apa yang bisa. Sekadar sebisanya. Dan itulah yang mengejutkan orang. Kok dia ternyata begitu? Dan banyak orang merasa keheranan melihat dirinya begitu mengecewakan. Mungkin sebenarnya dia memang begitu sejak dulu.
Mungkin sebenarnya dia tak pernah benar-benar berusaha menjadi politisi yang baik, jujur, dan apa adanya. Tapi umumnya orang tak mengetahuinya. Umumnya orang tahu dia tokoh yang baik dan itu sebabnya mereka kaget setengah mati ketika seolah tiba-tiba saja dia berubah. Seolah-olah dia berubah tanpa penyebab yang masuk akal.
***
Untuk waktu lama dia bisa memainkan komedi dalam hidupnya. Mungkin dia memainkannya dengan baik. Begitu kita menyebutnya tanpa mengetahui bahwa sebenarnya dia bosan menjadi diri yang bukan otentik diri sendiri. Menjadi orang baik itu sudah baik meskipun tak terlalu otentik. Tapi ketika perubahan dari orang baik menjadi orang yang begitu mengejutkan banyak kalangan itu terjadi, sebenarnya ada keguncangan dalam dirinya seperti halnya keguncangan di hati banyak kalangan. Perubahan ini begitu tragis, begitu mencolok.
Mungkin inilah tragedi kehidupan. Sebenarnya dia hanya berubah dari dirinya kembali ke dirinya. Tapi ketika untuk waktu lama ada bungkus sosiologis yang menutupi kenyataan mengenai diri sendiri, perubahan itu terasa seolah begitu dramatis dan mencolok. Perubahan yang pada hakikatnya bukan perubahan, tetapi seolah merupakan sebuah tragedi yang penuh kejutan. Dia sendiri tak terkejut. Dia sendiri merasa nyaman saja mengutuk orang lain dengan ungkapan penuh dendam. Dia merasa biasa saja bersumpah untuk melakukan ini dan itu demi mengejek orang lain. Bahwa dia tak memenuhi sumpahnya, itu tak menjadi persoalan baginya Karena bukankah dia memang bukan orang yang berpegang pada etika kesatria yang luhur budi pekertinya.
Dia memang punya penampilan fisik seperti kaum kesatria tapi secara psikologis mungkin lebih cocok disebut golongan raksasa. Dia kesatria yang tak memiliki watak kesatria. Ketika segenap dendam dan dengkinya kepada orang lain berbalik menjadi pukulan telak bagi diri sendiri, orang tidak kaget lagi. Kini orang mengerti— mungkin mereka juga punya rasa dendam kepadanya—bahwa pukulan itu sudah selayaknya. Tak begitu tampak adanya sikap empati atas musibahnya, tepi sebaliknya, orang malah begitu gembira, dan menganggap musibah itu sudah selayaknya menghantam dirinya.
Ada bahkan yang menganggap musibah itu belum apa-apa. Jadi masih ada yang diharapkan bakal terjadi musibah lebih besar lagi. Tragedi yang kini memukulnya biarkanlah menjadi tragedi. Barangkali tragedi yang mengantarkannya ke dalam kesejatian dirinya. Barangkali tragedi yang membuatnya berubah menjadi seorang kesatria yang menjunjung tinggi sikap kesatria yang kebaikannya membuat pintu surga terbuka tanpa ada tangan yang membukanya.
(kri)