Penjara Bisa Penuh karena Medsos
A
A
A
KEMARIN (9/6) Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri baru saja menangkap seorang pria berinisial MS (39), di Jakarta Barat terkait kejahatan dalam dunia siber. Dia ditangkap karena menyebarkan konten yang menghina suku serta mengedit foto Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, NS diamankan tim patroli siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara pada 6 Juni 2017. NS harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena postingannya di Facebook pada 23 Januari 2017 pukul 21.30 WITA. Tak tanggung-tanggung, pasal yang dikenakan pun berlapis. NS dijerat Pasal 45 Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 atau Pasal 48 Ayat 3 juncto Pasal 27 Ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Belum lama juga seorang mekanik bengkel motor kecil di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, yang juga berinisial MS, digelandang Tim Cyber Crime Polda Jawa Timur, Kamis (25/5), atas tuduhan menghina Kapolri Jenderal Tito Karnavian. MS mengomentari di laman Instagram Kadiv Humas Mabes Polri yang memposting foto kapolri yang sedang memberi penghargaan kepada seorang polwan. Dalam komentarnya itu, MS mengomentari kapolri dengan kata-kata yang tidak pantas. Ketika ditangkap, MS ketakutan dan kebingungan.
Dia tak menyangka komentar isengnya bisa berujung panjang. Mungkin dalam bayangannya, komen di media sosial itu seperti berkelakar dengan kawan saja. Mungkin masih banyak yang membayangkan kejahatan di dunia siber dalam bentuk kejahatan-kejahatan penipuan dan semacamnya. Namun, kejahatan dunia siber sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta revisinya dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 lebih banyak terjadi dalam ranah hina-menghina. Banyak orang yang sudah sampai merasa frustrasi dengan dunia media sosial kita.
Banyak yang bertanya-tanya kenapa begitu dangkalnya dunia medsos di Indonesia ini. Dalam hal ini, tentu tak ada salahnya kita melihat berbagai skor bangsa ini dalam indeks pembangunan manusia (IPM). Tampaknya bukan karena para penebar kebencian atau sekadar orang iseng itu makin banyak jumlahnya, namun bisa jadi karena mereka semakin terdengar. Sebelumnya tak ada saluran bagi mereka untuk didengar. Sekarang satu posting media sosial saja, bisa membuat darah banyak orang menggelegak. Kondisi ini tentu harus membuat kita sadar bahwa jangan hanya pendekatan hukum yang dipakai.
Bisa penuh penjara kita akibat urusan medsos. Lihat saja data dari Satu Dunia dan Yayasan Tifa yang menunjukkan tren penggunaan pasal karet UU ITE menunjukkan tren meningkat. Pada 2008 dan 2009 hanya masing-masing dua kasus, sempat turun 1 kasus pada 2010, naik jadi 3 kasus di 2011. Tujuh kasus pada 2012, 20 kasus pada 2013, 41 kasus pada 2014, serta 60 kasus pada 2015.
Tentu kita bisa menduga angka pada 2016 dan 2017 juga naik. Pendekatan persuasif dan pendidikan sangat krusial. Pertama, sosialisasi berbagai elemen masyarakat mengenai bahaya komentar negatif di media sosial. Kedua, selain melakukan penangkapan, ada baiknya juga Polri melakukan pendekatan kemanusiaan.
Sebelumnya, NS diamankan tim patroli siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Tenggara pada 6 Juni 2017. NS harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena postingannya di Facebook pada 23 Januari 2017 pukul 21.30 WITA. Tak tanggung-tanggung, pasal yang dikenakan pun berlapis. NS dijerat Pasal 45 Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 atau Pasal 48 Ayat 3 juncto Pasal 27 Ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Belum lama juga seorang mekanik bengkel motor kecil di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, yang juga berinisial MS, digelandang Tim Cyber Crime Polda Jawa Timur, Kamis (25/5), atas tuduhan menghina Kapolri Jenderal Tito Karnavian. MS mengomentari di laman Instagram Kadiv Humas Mabes Polri yang memposting foto kapolri yang sedang memberi penghargaan kepada seorang polwan. Dalam komentarnya itu, MS mengomentari kapolri dengan kata-kata yang tidak pantas. Ketika ditangkap, MS ketakutan dan kebingungan.
Dia tak menyangka komentar isengnya bisa berujung panjang. Mungkin dalam bayangannya, komen di media sosial itu seperti berkelakar dengan kawan saja. Mungkin masih banyak yang membayangkan kejahatan di dunia siber dalam bentuk kejahatan-kejahatan penipuan dan semacamnya. Namun, kejahatan dunia siber sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta revisinya dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 lebih banyak terjadi dalam ranah hina-menghina. Banyak orang yang sudah sampai merasa frustrasi dengan dunia media sosial kita.
Banyak yang bertanya-tanya kenapa begitu dangkalnya dunia medsos di Indonesia ini. Dalam hal ini, tentu tak ada salahnya kita melihat berbagai skor bangsa ini dalam indeks pembangunan manusia (IPM). Tampaknya bukan karena para penebar kebencian atau sekadar orang iseng itu makin banyak jumlahnya, namun bisa jadi karena mereka semakin terdengar. Sebelumnya tak ada saluran bagi mereka untuk didengar. Sekarang satu posting media sosial saja, bisa membuat darah banyak orang menggelegak. Kondisi ini tentu harus membuat kita sadar bahwa jangan hanya pendekatan hukum yang dipakai.
Bisa penuh penjara kita akibat urusan medsos. Lihat saja data dari Satu Dunia dan Yayasan Tifa yang menunjukkan tren penggunaan pasal karet UU ITE menunjukkan tren meningkat. Pada 2008 dan 2009 hanya masing-masing dua kasus, sempat turun 1 kasus pada 2010, naik jadi 3 kasus di 2011. Tujuh kasus pada 2012, 20 kasus pada 2013, 41 kasus pada 2014, serta 60 kasus pada 2015.
Tentu kita bisa menduga angka pada 2016 dan 2017 juga naik. Pendekatan persuasif dan pendidikan sangat krusial. Pertama, sosialisasi berbagai elemen masyarakat mengenai bahaya komentar negatif di media sosial. Kedua, selain melakukan penangkapan, ada baiknya juga Polri melakukan pendekatan kemanusiaan.
(kri)