Berdamai Pasca-Pilkada Jakarta
A
A
A
Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
PILKADA DKI Jakarta dan keriuhrendahannya telah berakhir lebih dari sebulan lalu. Akan tetapi, eksesnya masih terlihat sampai saat ini. Setidaknya antarpendukung (dan atau simpatisan) dari Ahok dan bukan Ahok seperti masih belum puas untuk saling melontarkan status bernada sentimen di media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram.
Kondisi seperti ini tentu ”tidak sehat”. Jika terus dibiarkan berlangsung, pembelahan di masyarakat akan makin menganga. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bila kondisi seperti ini makin mengarah seperti ”bola liar” yang menggelinding deras menabrak banyak hal. Apa sebetulnya yang menyebabkan kondisi ini terjadi? Bagaimana sebaiknya problem ini diatasi sehingga dapat terwujud sebuah rekonsiliasi politik? Tulisan ini ingin mengurai secara singkat kedua hal tersebut.
Dua Cluster
Problem perseteruan politik seusai Pilkada Jakarta dapat dibagi menjadi dua cluster. Cluster pertama adalah perseteruan di antara elite politik. Cluster kedua ialah kesengitan yang terjadi di antara para pendukung dan simpatisan kedua pasang calon. Di cluster pertama, kedua pasang elite telah berusaha untuk bertemu setelah 19 April 2017.
Sehari setelah hari-H Ahok dan Anies bertemu di Balai Kota Jakarta. Keduanya seperti ingin menunjukkan kepada publik bahwa pilkada telah usai dan saatnya kembali ke aktivitas awal seperti biasa. Begitu juga dengan Djarot dan Sandi yang bahkan bertemu secara lebih informal di tempat yang memberi kesan santai. Pertemuan Djarot-Sandi bersama istri masing-masing sembari minum es kopyor membuat kemudian muncul istilah ”rekonsiliasi es kopyor”.
Pada cluster elite politik, khususnya kedua pasang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, tidak terlalu tampak adanya residu persoalan yang berlanjut. Kalaupun ada perbedaan pendapat di antara kedua pasang elite, seperti sejauh mana tim sinkronisasi Anies-Sandi dapat mengakses banyak hal untuk mempersiapkan berjalannya pemerintahan Anies-Sandi, itu masih wajar dan biasa saja.
Bagaimana dengan cluster pendukung dan simpatisan kedua pasang calon? Ini yang sepertinya masih belum tuntas. Kedua kubu sepertinya masih belum bisa move on. Satu status yang diposting di media sosial oleh salah seorang pendukung atau simpatisan calon gubernur dan wakil gubernur seperti tidak ingin dilewatkan oleh pendukung atau simpatisan calon lain untuk dikomentari secara sengit. Bahkan, satu status bisa membuahkan status baru yang bernada mengejek, dan hal itu terjadi di kedua kubu.
Kondisi di level pendukung dan simpatisan yang masih bergelimang kesewotan itu dapat terjadi beberapa sebab. Pertama, karena kedua pasang calon gubernur dan wakil gubernur belum terlihat serius berusaha untuk mendinginkan dan mencairkan suasana serta mengajak para pendukung masing-masing untuk saling menahan. Meskipun mereka pernah bertemu, terkesan pertemuan itu seperti simbolik saja. Tidak pernah ada pernyataan bersama dari para calon gubernur dan wakil gubernur untuk meminta seluruh pendukung dan simpatisan mereka agar menerima hasil dan berhenti untuk berseteru seperti saat Pilkada Jakarta Februari-April lalu.
Sebagai contoh, dari kubu Ahok-Djarot yang mendapatkan karangan bunga dari banyak orang tidak berusaha mengatakan kepada pendukung dan simpatisan mereka agar tidak memancing reaksi pendukung dan simpatisan kubu Anies-Sandi dalam bentuk menulis status di media sosial ataupun mengirim rangkaian bunga yang kata-katanya provokatif. Begitu pula dari pasangan calon Anies-Sandi tidak berusaha mengademkan suasana pendukungnya yang dipancing dengan meminta agar tidak menanggapi aksi dari pendukung Ahok-Djarot.
Kedua, akibat Pilkada Jakarta lalu, sudah terlanjur terjadi pembelahan politik yang tajam disertai oleh ”luka yang belum sembuh” di antara kedua pendukung. Saling serang dan ejek oleh para pendukung dan simpatisan kedua pasang calon tampaknya makin memperjelas garis demarkasi di antara keduanya. Dalam kondisi seperti itu, saling berjabat tangan dan berdamai seusai pilkada bukan perkara mudah. Bagi kebanyakan pendukung Anies-Sandi, apa yang terjadi Kepulauan Seribu merupakan luka yang sulit untuk disembuhkan. Begitu pula, bagi pendukung Ahok-Djarot, kekalahan Ahok-Djarot yang mereka nilai seharusnya layak untuk memenangi Pilkada Jakarta lalu merupakan pukulan telak yang masih belum mereka dapat terima sepenuhnya.
Faktor pertama dan kedua di atas makin diperburuk oleh faktor ketiga, yaitu ketidakjelasan tentang apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi politik sehingga menjadi terkesan hanyalah jargon semata. Sejalan dengan itu, scholar dari University Exeter di Inggris, Andrew Schaap (2005) dalam bukunya Political Reconciliation mengatakan: ”The possibility of political reconciliation would depend on the contestability of opinions.” Dengan kata lain, Schaap meyakini bahwa rekonsiliasi politik tergantung pada konstatasi opini.
Sebelum sebuah rekonsiliasi politik dapat terwujud, apa maksud dan makna dari rekonsiliasi politik itu sendiri dimaknai beragam oleh banyak pihak. Makna itu pun bisa jadi saling berkonstatasi satu sama lain. Sebagai contoh, di Afrika Selatan, rekonsiliasi politik setelah politik Apartheid diartikan beragam oleh beberapa aktor. Ada setidaknya enam interpretasi tentang apa itu rekonsiliasi politik kala itu, yakni sebuah ideologi nonrasial, saling pengertian antarkomunitas, ideologi religius, pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM), atau community building (Schaap 2005).
Beranjak dari situ, dalam konteks pascaPilkada Jakarta, ada minimal dua hal yang musti dilakukan agar rekonsiliasi politik dapat terwujud. Pertama, meluruskan makna dan maksud dari rekonsiliasi politik agar tidak justru menjadi hal yang dikonstatasikan (Schaap, 2005).
Sebelum tercapai kesamaan pemahaman apa itu rekonsiliasi politik, kedua pasang calon sebaiknya bertemu untuk membahas hal itu. Lalu setelah diketahui dan sama-sama disepakati apa maksud dari rekonsiliasi politik, hal itu kemudian disosialisasikan kepada para pendukung masing-masing.
Kedua, melakukan restorasi hubungan antarelite dan pendukung dengan cara: apology (memaafkan), reparation (memperbaiki), dan penance (menerima apa yang telah dilakukan pihak lain) (Schaap 2005). Tak dimungkiri bahwa ekses dari Pilkada Jakarta 2017 yang sangat sengit telah menyebabkan adanya timbul rasa saling sakit hati, hubungan yang tidak seharmonis sebelum pilkada, dan keinginan untuk mengekspresikan perasaan masing-masing secara terus-menerus.
Tidak boleh tidak, kedua elite politik harus mengembalikan hubungan mereka agar dapat berefek pada perbaikan hubungan di kalangan pendukung masing-masing. Jika tidak, sulit untuk mengharapkan rekonsiliasi politik dapat terwujud dengan begitu saja.
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
PILKADA DKI Jakarta dan keriuhrendahannya telah berakhir lebih dari sebulan lalu. Akan tetapi, eksesnya masih terlihat sampai saat ini. Setidaknya antarpendukung (dan atau simpatisan) dari Ahok dan bukan Ahok seperti masih belum puas untuk saling melontarkan status bernada sentimen di media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram.
Kondisi seperti ini tentu ”tidak sehat”. Jika terus dibiarkan berlangsung, pembelahan di masyarakat akan makin menganga. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bila kondisi seperti ini makin mengarah seperti ”bola liar” yang menggelinding deras menabrak banyak hal. Apa sebetulnya yang menyebabkan kondisi ini terjadi? Bagaimana sebaiknya problem ini diatasi sehingga dapat terwujud sebuah rekonsiliasi politik? Tulisan ini ingin mengurai secara singkat kedua hal tersebut.
Dua Cluster
Problem perseteruan politik seusai Pilkada Jakarta dapat dibagi menjadi dua cluster. Cluster pertama adalah perseteruan di antara elite politik. Cluster kedua ialah kesengitan yang terjadi di antara para pendukung dan simpatisan kedua pasang calon. Di cluster pertama, kedua pasang elite telah berusaha untuk bertemu setelah 19 April 2017.
Sehari setelah hari-H Ahok dan Anies bertemu di Balai Kota Jakarta. Keduanya seperti ingin menunjukkan kepada publik bahwa pilkada telah usai dan saatnya kembali ke aktivitas awal seperti biasa. Begitu juga dengan Djarot dan Sandi yang bahkan bertemu secara lebih informal di tempat yang memberi kesan santai. Pertemuan Djarot-Sandi bersama istri masing-masing sembari minum es kopyor membuat kemudian muncul istilah ”rekonsiliasi es kopyor”.
Pada cluster elite politik, khususnya kedua pasang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, tidak terlalu tampak adanya residu persoalan yang berlanjut. Kalaupun ada perbedaan pendapat di antara kedua pasang elite, seperti sejauh mana tim sinkronisasi Anies-Sandi dapat mengakses banyak hal untuk mempersiapkan berjalannya pemerintahan Anies-Sandi, itu masih wajar dan biasa saja.
Bagaimana dengan cluster pendukung dan simpatisan kedua pasang calon? Ini yang sepertinya masih belum tuntas. Kedua kubu sepertinya masih belum bisa move on. Satu status yang diposting di media sosial oleh salah seorang pendukung atau simpatisan calon gubernur dan wakil gubernur seperti tidak ingin dilewatkan oleh pendukung atau simpatisan calon lain untuk dikomentari secara sengit. Bahkan, satu status bisa membuahkan status baru yang bernada mengejek, dan hal itu terjadi di kedua kubu.
Kondisi di level pendukung dan simpatisan yang masih bergelimang kesewotan itu dapat terjadi beberapa sebab. Pertama, karena kedua pasang calon gubernur dan wakil gubernur belum terlihat serius berusaha untuk mendinginkan dan mencairkan suasana serta mengajak para pendukung masing-masing untuk saling menahan. Meskipun mereka pernah bertemu, terkesan pertemuan itu seperti simbolik saja. Tidak pernah ada pernyataan bersama dari para calon gubernur dan wakil gubernur untuk meminta seluruh pendukung dan simpatisan mereka agar menerima hasil dan berhenti untuk berseteru seperti saat Pilkada Jakarta Februari-April lalu.
Sebagai contoh, dari kubu Ahok-Djarot yang mendapatkan karangan bunga dari banyak orang tidak berusaha mengatakan kepada pendukung dan simpatisan mereka agar tidak memancing reaksi pendukung dan simpatisan kubu Anies-Sandi dalam bentuk menulis status di media sosial ataupun mengirim rangkaian bunga yang kata-katanya provokatif. Begitu pula dari pasangan calon Anies-Sandi tidak berusaha mengademkan suasana pendukungnya yang dipancing dengan meminta agar tidak menanggapi aksi dari pendukung Ahok-Djarot.
Kedua, akibat Pilkada Jakarta lalu, sudah terlanjur terjadi pembelahan politik yang tajam disertai oleh ”luka yang belum sembuh” di antara kedua pendukung. Saling serang dan ejek oleh para pendukung dan simpatisan kedua pasang calon tampaknya makin memperjelas garis demarkasi di antara keduanya. Dalam kondisi seperti itu, saling berjabat tangan dan berdamai seusai pilkada bukan perkara mudah. Bagi kebanyakan pendukung Anies-Sandi, apa yang terjadi Kepulauan Seribu merupakan luka yang sulit untuk disembuhkan. Begitu pula, bagi pendukung Ahok-Djarot, kekalahan Ahok-Djarot yang mereka nilai seharusnya layak untuk memenangi Pilkada Jakarta lalu merupakan pukulan telak yang masih belum mereka dapat terima sepenuhnya.
Faktor pertama dan kedua di atas makin diperburuk oleh faktor ketiga, yaitu ketidakjelasan tentang apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi politik sehingga menjadi terkesan hanyalah jargon semata. Sejalan dengan itu, scholar dari University Exeter di Inggris, Andrew Schaap (2005) dalam bukunya Political Reconciliation mengatakan: ”The possibility of political reconciliation would depend on the contestability of opinions.” Dengan kata lain, Schaap meyakini bahwa rekonsiliasi politik tergantung pada konstatasi opini.
Sebelum sebuah rekonsiliasi politik dapat terwujud, apa maksud dan makna dari rekonsiliasi politik itu sendiri dimaknai beragam oleh banyak pihak. Makna itu pun bisa jadi saling berkonstatasi satu sama lain. Sebagai contoh, di Afrika Selatan, rekonsiliasi politik setelah politik Apartheid diartikan beragam oleh beberapa aktor. Ada setidaknya enam interpretasi tentang apa itu rekonsiliasi politik kala itu, yakni sebuah ideologi nonrasial, saling pengertian antarkomunitas, ideologi religius, pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM), atau community building (Schaap 2005).
Beranjak dari situ, dalam konteks pascaPilkada Jakarta, ada minimal dua hal yang musti dilakukan agar rekonsiliasi politik dapat terwujud. Pertama, meluruskan makna dan maksud dari rekonsiliasi politik agar tidak justru menjadi hal yang dikonstatasikan (Schaap, 2005).
Sebelum tercapai kesamaan pemahaman apa itu rekonsiliasi politik, kedua pasang calon sebaiknya bertemu untuk membahas hal itu. Lalu setelah diketahui dan sama-sama disepakati apa maksud dari rekonsiliasi politik, hal itu kemudian disosialisasikan kepada para pendukung masing-masing.
Kedua, melakukan restorasi hubungan antarelite dan pendukung dengan cara: apology (memaafkan), reparation (memperbaiki), dan penance (menerima apa yang telah dilakukan pihak lain) (Schaap 2005). Tak dimungkiri bahwa ekses dari Pilkada Jakarta 2017 yang sangat sengit telah menyebabkan adanya timbul rasa saling sakit hati, hubungan yang tidak seharmonis sebelum pilkada, dan keinginan untuk mengekspresikan perasaan masing-masing secara terus-menerus.
Tidak boleh tidak, kedua elite politik harus mengembalikan hubungan mereka agar dapat berefek pada perbaikan hubungan di kalangan pendukung masing-masing. Jika tidak, sulit untuk mengharapkan rekonsiliasi politik dapat terwujud dengan begitu saja.
(sms)