Politik Kenegaraan Menteri Agama
A
A
A
Prof. DR Mudjia Rahardjo,MSI
Plt Rektor UIN Maliki Malang
WALAUPUN sejarah pembentukannya sarat pertimbangan politik, untuk waktu cukup lama Kementerian Agama seakan tak memiliki arti politik. Memang, beberapa menteri agama sebelum era sekarang adalah para politisi, teknokrat, birokrat, bahkan tentara. Tetapi, sesuai tantangan zamannya, menteri-menteri agama sebelum era sekarang tak cukup mendapat peluang untuk bertindak strategis bagi kehidupan politik nasional.
Kini, ketika Indonesia semakin demokratis, yang ditandai oleh kemerdekaan berorganisasi dan menyampaikan pendapat, menteri agama pun harus bisa berperan strategis sejalan dengan dinamika politik Indonesia. Dua kekuatan besar saling bersaing dan bahkan bertikai, membuat Kementerian Agama seperti bidang retak, antara fundamentalisme agama dan sekularisme-agnostik, untuk tidak menyebut atheis. Bidang retak antara mereka yang hendak memaksa Indonesia menjadi negara agama, dan mereka yang hendak memaksa Indonesia menjadi negara lebih baik ”tanpa” agama.
Kontestasi, bahkan konflik, yang sejatinya multilateral telah disederhanakan begitu saja antara mereka yang metafisika politiknya idealisme-religius dan yang metafisika politiknya materialisme-sekuler. Bahkan, lebih disederhanakan lagi menjadi kontestasi dan konflik antara Islam dan bukan Islam.
Saat, sesuai kapasitasnya, menteri agama menempatkan konsensus bernegara dan berbangsa sebagai landasan kebijakan, tindakan dan pernyataannya serta-merta ia menjadi sasaran tembak kelompok pengusung negara Islam. Ambil contoh, saat Kementerian Agama bermaksud memoderasi materi pelajaran sejarah Islam, serta-merta dituduh menjalankan agenda Barat dan paranoid terhadap sistem khalifah.
Saat Menteri Agama menolak penggunaan kebebasan berpendapat sebagai pembenar tindakan menyebar kebencian dan menistakan agama, masih saja dikatakan tidak melakukan apa-apa atas kasus yang dituduhkan sebagai menghina Rasulullah. Sangat jelas, apabila kelompok pendamba khilafah ini berhasil menyusupkan penganutnya dalam kementerian agama, niscaya akan menggunakan instansi ini agar benar-benar menjadi ujung tombak penegak agama, dalam arti pendirian negara khilafah.
Tak tanggung-tanggung, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang menanggapi isu kebangkitan komunisme sebagai sekedar pembangkitan hantu untuk menakut-nakuti negara-bangsa Indonesia, malah dituduh sebagai komunis, atau setidak-tidaknya memiliki paham politik seperti komunis. Sekali lagi, saat Lukman bermaksud mencegah berbagai ujaran dan ceramah yang menghasut dan menumbuhkan kebencian, disebut lagi sebagai telah terintervensi oleh komunis.
Tekanan politik luar biasa yang dialami oleh menteri agama sekarang bisa dikatakan sebagai yang terberat selama beberapa dasawarsa terakhir. Masa-masa tenteram jabatan menteri agama dan posisi Kementerian Agama sebagaimana di masa lalu menjadi sekadar kenangan. Masa-masa tugas rutin dan relatif lebih sederhana karena jumlah calon jamaah haji jauh di atas kuota, karena jumlah universitas dan institut Islam tak sebanyak seperti sekarang, karena jumlah publikasi pengusung radikalisme Islam tak sebanjir sekarang, dan karena sinisme terhadap agama tak sehebat sekarang, sudah berlalu.
Menteri agama sekarang seperti hidup dalam anomali luar biasa. Betapa tidak? Fundamentalisme dan radikalisme Islam justru berkembang di kampus-kampus yang nyaris tak bisa dijangkau oleh kebijakan Kementerian Agama. Betapa tidak? Tuduhan sekularisme, atheisme dan komunisme justru dialamatkan pada sejumlah kampus Islam yang notabene di bawah binaan menteri agama.
Nah, dalam konteks itulah kita perlu melihat secara praktik-empirik, apa yang telah berhasil dilakukan oleh Kementerian atau menteri agama sekarang. Bahwa menteri agama adalah pejabat politik, yang tentu saja juga politisi, sangat tampak komitmen politik Lukman Saifuddin adalah politik kenegarawanan. Walaupun tak bisa dimungkiri, dia berasal dari masyarakat politik muslim, tidak membuat dia tertarik mundur ke dalam perilaku politik golongan.
Bahwa proses radikalisasi, baik ke arah kanan (agama) maupun ke arah kiri (atheis), memang benar-benar sedang terjadi, justru mempertegas posisi moderat aktif, dalam arti tidak hanya bersikap moderat, tetapi juga menjalankan peran memoderasi dua kecenderungan tersebut untuk kembali kepada Pancasila, kepada empat konsensus kebernegaraan Indonesia.
Bahwa kecenderungan konflik antarkelompok umat beragama sering timbul karena kontestasi politik, justru mempertegas peran menteri agama sebagai perekat atau integrator nasional. Hanya saja, ada kelompok-kelompok tertentu yang berusaha menarik-narik menteri agama menjadi sekadar kepanjangan tangan dari kelompok tersebut.
Bahwa dalam situasi tegang karena setiap isu telah dipolitisasi menjadi isu agama, bahkan hingga mendorong gerakan massa, semakin menegaskan kemampuan Lukman Hakim dalam berkomunikasi politik. Gaya bicara yang stabil, pilihan kata yang penuh pertimbangan, dan posisi moderat kenegarawanan menunjukkan kapasitas diplomasi tingkat tinggi yang agak langka ditemukan pada kebanyakan politisi, bahkan sesama menteri dalam kabinet sekarang.
Terlepas dari apakah mendapatkan pengaruh langsung atau tidak langsung dari Menteri Agama Lukman, sangat tampak bahwa komitmen terhadap NKRI justru disuarakan oleh perguruan tinggi Islam yang berada di bawah Kementerian Agama.
Selain itu, Menteri Agama juga sedang memaksimalkan peran penyuluh agama untuk menjadi agen perubahan dan melindungi pemahaman agama agar tetap moderat dan tidak radikal. Suara para penyuluh agama yang keberadaannya hingga level desa dan tentu jumlahnya signifikan, perlu dioptimalkan untuk menyampaikan pesan-pesan universal agama dengan tetap mempertahankan kearifan lokal. Mereka bisa menyuarakan tentang perbedaan dan kebinekaan.
Selanjutnya, saat ini Menteri Agama juga sedang memaksimalkan peran pesantren dan madrasah untuk melakukan transformasi pemikiran sehingga agama bisa sejalan dengan modernisasi dan pembangunan. Kementerian Agama telah memberikan beasiswa bagi santri untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri ternama baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Diharapkan dengan upaya-upaya tersebut peran lembaga pendidikan agama di bawah Kementerian Agama akan mampu meng-counter pemahaman-pemahaman keagamaan yang cenderung melemahkan ikatan antara negara dan agama, tapi sebaliknya agama dan negara harus saling memperkuat untuk membumikan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.
Kesimpulannya, baik Kementerian maupun menteri agama sekarang, secara real-politics, bahkan mungkin di luar tugas pokok yang tersurat, telah melaksanakan peran sangat strategis menteri agama dalam kehidupan politik dan demokrasi Indonesia. Luar biasanya, Lukman Hakim Saifuddin juga sama sekali tidak canggung dengan peran yang sangat politik demikian. *
Toleransi di Bulan Suci
Dalam sidang isbat di Kantor Kementerian Agama di Jakarta, Jumat (26/5) malam, pemerintah melalui Kementerian Agama mengumumkan kepada umat Muslim Indonesia agar mengawali puasa Ramadan pada hari Sabtu, 27 Mei 2017 lalu. Pada kesempatan yang sama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengimbau agar umat Islam menjadikan kesempatan ini sebagai wadah introspeksi diri dan dengan semangat menjalankan puasa di Bulan Suci Ramadan.
Alhasil, dalam kurun waktu 29 hari umat Muslim menjalankan ibadah untuk mendekatkan diri dengan pencipta-Nya. Bukan sekadar menahan lapar dan haus, namun juga dituntut untuk menyeimbangkan antara puasa dan aktivitas seperti biasanya.
Perjuangan dan kerinduan untuk beribadah yang didasari semangat Ramadan ini tentu akan semakin lengkap jika semua saling berangkulan, termasuk antarsesama umat beragama. Mengharapkan terciptanya toleransi umat beragama yang saling menghormati, menghargai, dan menyejukkan sesama warga Indonesia yang terkenal dengan keberagaman suku, agama, budaya, dan etnisnya.
Kita harus menyadari bahwa persoalan intoleransi kerap hadir di bumi Indonesia. Politik Devide et Impera sempat memecah belah negeri ini dan menjadikan kita hanya sebagai kekuatan-kekuatan kecil yang dapat dengan mudah dikuasai oleh penjajah. Serupa halnya ketika kita memasuki era reformasi, di mana terjadinya konflik antara kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Aspek primordial seakan menjadi alasan dasar pelegalan aksi keji terhadap mereka yang terkucilkan dari segi jumlah.
Meskipun demikian, pengejawantahan persoalan-persoalan intoleransi dan radikalisme di Indonesia yang berakar dari salah satu agama tertentu, tentunya sangatlah tidak tepat. Sebab, pada hakikatnya setiap agama mengajarkan kebaikan. Persoalan intoleransi dan radikalisme yang pernah merapuhkan semangat untuk bersatu dalam bingkai Indonesia, biarlah menjadi bahan refleksi kita untuk semakin memperkuat persatuan dan bukan malah sebaliknya. Sebab, pada hakikatnya, fondasi negara kita akan semakin kuat jika momentum Ramadan kali ini menjadi awal terciptanya harmoni antarumat beragama.
Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama untuk berdiri secara mandiri. Untuk itulah founding fathers, sesungguhnya, telah mampu menyediakan ‘fondasi’ yang kukuh bagi generasi penerus dalam melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa. Fondasi itu tidak lain adalah UUD 1945, Pancasila, Merah Putih, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Dasar-dasar negara yang di dalamnya termuat pesan untuk saling menghormati di tengah perbedaan.
Semoga bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah ini menjadi langkah awal bagi kita semakin mendekatkan diri dengan sang Pencipta dan saling menghargai antarsesama umat beragama untuk Indonesia yang lebih baik. *
Nilai-Nilai Sosial Ramadan dan Idul Fitri
Idul Fitri menjadi simbol dari puncak kemenangan kita setelah sebulan penuh sukses menjalankan puasa Ramadan. Karena itulah Idul Fitri selain sebagai momentum mengumandangkan kalimat takbir dan salat Idul Fitri berjamaah di masjid, juga sebagai aktivitas solidaritas yang berbarengan dengan aktivitas makan-makanan, silaturahmi, dan saling memaafkan sehingga kesalahan yang telah dilakukan bisa kembali menjadi suci kembali. Itu semua sudah cocok dengan budaya Indonesia, yakni, ”gotong-royong” dan Bhinneka Tunggal Ika.
Nilai sosial Idul Fitri pun menuai titik temu dengan nilai-nilai kebersamaan, kebebasan, dan kesejahteraan. Namun, itu semua masih jauh dari panggang api. Di mana akhir-akhir ini banyak yang mengatasnamakan agama sebagai target untuk melakukan kekerasan dan penyesatan antarsesama. Ini berakibat pada nilai-nilai religius seseorang akan luntur dan mengakibatkan perpecahan antarsesama agama.
Selain itu, kasus korupsi, tindakan penyelewengan yang dilakukan aparat pemerintah semakin membabi buta. Kini, politik sudah tidak dimaknai sebagai tindakan kebaikan bersama, sebagaimana yang diidealkan filsuf barat, Aristoteles.
Dalam ajaran agama Islam, puasa Ramadan dan Lebaran menjadi momen yang tepat untuk kembali pada jati diri manusia yang suci yang dalam aktivitas sosial yang telah ternodai dosa-dosa, baik itu yang bersumber dari lisan, pikiran, dan tindakan. Selain itu, Lebaran sangat tepat untuk memupuk sikap toleransi yang kini menjadikan modal kekuatan berpolitik dan berdemokrasi di negeri ini.
Masa Ramadan dan Idul Fitri kali ini supaya tak tertutup oleh isu-isu konflik dan berita arus macet mudik Lebaran. Mari kita sikapi perbedaan itu dengan bijak. Allah berfirman, ”Tidaklah manusia itu melainkan umat yang satu (sama), kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (QS Yunus/10:19). Ayat ini mengingatkan kepada kita semua bahwa sesungguhnya manusia itu bersatu kemudian berselisih, tapi bagaimana perselisihan itu tidak terbawa pada suatu pertikaian yang merusak persaudaraan dan kedamaian di negeri ini.
Saat yang paling tepat untuk menyucikan dosa-dosa akibat hiruk-pikuk politik supaya suci kembali ialah melalui momentum Idul Fitri ini. Jika menengok makna Idul Fitri yang berarti kesucian, makna Ramadan ini supaya bisa mencapai sebuah hari Idul Fitri yang berdimensi pada kesejahteraan dan berkeadilan. Semoga semua masyarakat Indonesia tetap menjaga persaudaraan dan persatuan masyarakat Indonesia. Semoga. *
Plt Rektor UIN Maliki Malang
WALAUPUN sejarah pembentukannya sarat pertimbangan politik, untuk waktu cukup lama Kementerian Agama seakan tak memiliki arti politik. Memang, beberapa menteri agama sebelum era sekarang adalah para politisi, teknokrat, birokrat, bahkan tentara. Tetapi, sesuai tantangan zamannya, menteri-menteri agama sebelum era sekarang tak cukup mendapat peluang untuk bertindak strategis bagi kehidupan politik nasional.
Kini, ketika Indonesia semakin demokratis, yang ditandai oleh kemerdekaan berorganisasi dan menyampaikan pendapat, menteri agama pun harus bisa berperan strategis sejalan dengan dinamika politik Indonesia. Dua kekuatan besar saling bersaing dan bahkan bertikai, membuat Kementerian Agama seperti bidang retak, antara fundamentalisme agama dan sekularisme-agnostik, untuk tidak menyebut atheis. Bidang retak antara mereka yang hendak memaksa Indonesia menjadi negara agama, dan mereka yang hendak memaksa Indonesia menjadi negara lebih baik ”tanpa” agama.
Kontestasi, bahkan konflik, yang sejatinya multilateral telah disederhanakan begitu saja antara mereka yang metafisika politiknya idealisme-religius dan yang metafisika politiknya materialisme-sekuler. Bahkan, lebih disederhanakan lagi menjadi kontestasi dan konflik antara Islam dan bukan Islam.
Saat, sesuai kapasitasnya, menteri agama menempatkan konsensus bernegara dan berbangsa sebagai landasan kebijakan, tindakan dan pernyataannya serta-merta ia menjadi sasaran tembak kelompok pengusung negara Islam. Ambil contoh, saat Kementerian Agama bermaksud memoderasi materi pelajaran sejarah Islam, serta-merta dituduh menjalankan agenda Barat dan paranoid terhadap sistem khalifah.
Saat Menteri Agama menolak penggunaan kebebasan berpendapat sebagai pembenar tindakan menyebar kebencian dan menistakan agama, masih saja dikatakan tidak melakukan apa-apa atas kasus yang dituduhkan sebagai menghina Rasulullah. Sangat jelas, apabila kelompok pendamba khilafah ini berhasil menyusupkan penganutnya dalam kementerian agama, niscaya akan menggunakan instansi ini agar benar-benar menjadi ujung tombak penegak agama, dalam arti pendirian negara khilafah.
Tak tanggung-tanggung, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang menanggapi isu kebangkitan komunisme sebagai sekedar pembangkitan hantu untuk menakut-nakuti negara-bangsa Indonesia, malah dituduh sebagai komunis, atau setidak-tidaknya memiliki paham politik seperti komunis. Sekali lagi, saat Lukman bermaksud mencegah berbagai ujaran dan ceramah yang menghasut dan menumbuhkan kebencian, disebut lagi sebagai telah terintervensi oleh komunis.
Tekanan politik luar biasa yang dialami oleh menteri agama sekarang bisa dikatakan sebagai yang terberat selama beberapa dasawarsa terakhir. Masa-masa tenteram jabatan menteri agama dan posisi Kementerian Agama sebagaimana di masa lalu menjadi sekadar kenangan. Masa-masa tugas rutin dan relatif lebih sederhana karena jumlah calon jamaah haji jauh di atas kuota, karena jumlah universitas dan institut Islam tak sebanyak seperti sekarang, karena jumlah publikasi pengusung radikalisme Islam tak sebanjir sekarang, dan karena sinisme terhadap agama tak sehebat sekarang, sudah berlalu.
Menteri agama sekarang seperti hidup dalam anomali luar biasa. Betapa tidak? Fundamentalisme dan radikalisme Islam justru berkembang di kampus-kampus yang nyaris tak bisa dijangkau oleh kebijakan Kementerian Agama. Betapa tidak? Tuduhan sekularisme, atheisme dan komunisme justru dialamatkan pada sejumlah kampus Islam yang notabene di bawah binaan menteri agama.
Nah, dalam konteks itulah kita perlu melihat secara praktik-empirik, apa yang telah berhasil dilakukan oleh Kementerian atau menteri agama sekarang. Bahwa menteri agama adalah pejabat politik, yang tentu saja juga politisi, sangat tampak komitmen politik Lukman Saifuddin adalah politik kenegarawanan. Walaupun tak bisa dimungkiri, dia berasal dari masyarakat politik muslim, tidak membuat dia tertarik mundur ke dalam perilaku politik golongan.
Bahwa proses radikalisasi, baik ke arah kanan (agama) maupun ke arah kiri (atheis), memang benar-benar sedang terjadi, justru mempertegas posisi moderat aktif, dalam arti tidak hanya bersikap moderat, tetapi juga menjalankan peran memoderasi dua kecenderungan tersebut untuk kembali kepada Pancasila, kepada empat konsensus kebernegaraan Indonesia.
Bahwa kecenderungan konflik antarkelompok umat beragama sering timbul karena kontestasi politik, justru mempertegas peran menteri agama sebagai perekat atau integrator nasional. Hanya saja, ada kelompok-kelompok tertentu yang berusaha menarik-narik menteri agama menjadi sekadar kepanjangan tangan dari kelompok tersebut.
Bahwa dalam situasi tegang karena setiap isu telah dipolitisasi menjadi isu agama, bahkan hingga mendorong gerakan massa, semakin menegaskan kemampuan Lukman Hakim dalam berkomunikasi politik. Gaya bicara yang stabil, pilihan kata yang penuh pertimbangan, dan posisi moderat kenegarawanan menunjukkan kapasitas diplomasi tingkat tinggi yang agak langka ditemukan pada kebanyakan politisi, bahkan sesama menteri dalam kabinet sekarang.
Terlepas dari apakah mendapatkan pengaruh langsung atau tidak langsung dari Menteri Agama Lukman, sangat tampak bahwa komitmen terhadap NKRI justru disuarakan oleh perguruan tinggi Islam yang berada di bawah Kementerian Agama.
Selain itu, Menteri Agama juga sedang memaksimalkan peran penyuluh agama untuk menjadi agen perubahan dan melindungi pemahaman agama agar tetap moderat dan tidak radikal. Suara para penyuluh agama yang keberadaannya hingga level desa dan tentu jumlahnya signifikan, perlu dioptimalkan untuk menyampaikan pesan-pesan universal agama dengan tetap mempertahankan kearifan lokal. Mereka bisa menyuarakan tentang perbedaan dan kebinekaan.
Selanjutnya, saat ini Menteri Agama juga sedang memaksimalkan peran pesantren dan madrasah untuk melakukan transformasi pemikiran sehingga agama bisa sejalan dengan modernisasi dan pembangunan. Kementerian Agama telah memberikan beasiswa bagi santri untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri ternama baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Diharapkan dengan upaya-upaya tersebut peran lembaga pendidikan agama di bawah Kementerian Agama akan mampu meng-counter pemahaman-pemahaman keagamaan yang cenderung melemahkan ikatan antara negara dan agama, tapi sebaliknya agama dan negara harus saling memperkuat untuk membumikan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.
Kesimpulannya, baik Kementerian maupun menteri agama sekarang, secara real-politics, bahkan mungkin di luar tugas pokok yang tersurat, telah melaksanakan peran sangat strategis menteri agama dalam kehidupan politik dan demokrasi Indonesia. Luar biasanya, Lukman Hakim Saifuddin juga sama sekali tidak canggung dengan peran yang sangat politik demikian. *
Toleransi di Bulan Suci
Dalam sidang isbat di Kantor Kementerian Agama di Jakarta, Jumat (26/5) malam, pemerintah melalui Kementerian Agama mengumumkan kepada umat Muslim Indonesia agar mengawali puasa Ramadan pada hari Sabtu, 27 Mei 2017 lalu. Pada kesempatan yang sama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengimbau agar umat Islam menjadikan kesempatan ini sebagai wadah introspeksi diri dan dengan semangat menjalankan puasa di Bulan Suci Ramadan.
Alhasil, dalam kurun waktu 29 hari umat Muslim menjalankan ibadah untuk mendekatkan diri dengan pencipta-Nya. Bukan sekadar menahan lapar dan haus, namun juga dituntut untuk menyeimbangkan antara puasa dan aktivitas seperti biasanya.
Perjuangan dan kerinduan untuk beribadah yang didasari semangat Ramadan ini tentu akan semakin lengkap jika semua saling berangkulan, termasuk antarsesama umat beragama. Mengharapkan terciptanya toleransi umat beragama yang saling menghormati, menghargai, dan menyejukkan sesama warga Indonesia yang terkenal dengan keberagaman suku, agama, budaya, dan etnisnya.
Kita harus menyadari bahwa persoalan intoleransi kerap hadir di bumi Indonesia. Politik Devide et Impera sempat memecah belah negeri ini dan menjadikan kita hanya sebagai kekuatan-kekuatan kecil yang dapat dengan mudah dikuasai oleh penjajah. Serupa halnya ketika kita memasuki era reformasi, di mana terjadinya konflik antara kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Aspek primordial seakan menjadi alasan dasar pelegalan aksi keji terhadap mereka yang terkucilkan dari segi jumlah.
Meskipun demikian, pengejawantahan persoalan-persoalan intoleransi dan radikalisme di Indonesia yang berakar dari salah satu agama tertentu, tentunya sangatlah tidak tepat. Sebab, pada hakikatnya setiap agama mengajarkan kebaikan. Persoalan intoleransi dan radikalisme yang pernah merapuhkan semangat untuk bersatu dalam bingkai Indonesia, biarlah menjadi bahan refleksi kita untuk semakin memperkuat persatuan dan bukan malah sebaliknya. Sebab, pada hakikatnya, fondasi negara kita akan semakin kuat jika momentum Ramadan kali ini menjadi awal terciptanya harmoni antarumat beragama.
Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama untuk berdiri secara mandiri. Untuk itulah founding fathers, sesungguhnya, telah mampu menyediakan ‘fondasi’ yang kukuh bagi generasi penerus dalam melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa. Fondasi itu tidak lain adalah UUD 1945, Pancasila, Merah Putih, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Dasar-dasar negara yang di dalamnya termuat pesan untuk saling menghormati di tengah perbedaan.
Semoga bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah ini menjadi langkah awal bagi kita semakin mendekatkan diri dengan sang Pencipta dan saling menghargai antarsesama umat beragama untuk Indonesia yang lebih baik. *
Nilai-Nilai Sosial Ramadan dan Idul Fitri
Idul Fitri menjadi simbol dari puncak kemenangan kita setelah sebulan penuh sukses menjalankan puasa Ramadan. Karena itulah Idul Fitri selain sebagai momentum mengumandangkan kalimat takbir dan salat Idul Fitri berjamaah di masjid, juga sebagai aktivitas solidaritas yang berbarengan dengan aktivitas makan-makanan, silaturahmi, dan saling memaafkan sehingga kesalahan yang telah dilakukan bisa kembali menjadi suci kembali. Itu semua sudah cocok dengan budaya Indonesia, yakni, ”gotong-royong” dan Bhinneka Tunggal Ika.
Nilai sosial Idul Fitri pun menuai titik temu dengan nilai-nilai kebersamaan, kebebasan, dan kesejahteraan. Namun, itu semua masih jauh dari panggang api. Di mana akhir-akhir ini banyak yang mengatasnamakan agama sebagai target untuk melakukan kekerasan dan penyesatan antarsesama. Ini berakibat pada nilai-nilai religius seseorang akan luntur dan mengakibatkan perpecahan antarsesama agama.
Selain itu, kasus korupsi, tindakan penyelewengan yang dilakukan aparat pemerintah semakin membabi buta. Kini, politik sudah tidak dimaknai sebagai tindakan kebaikan bersama, sebagaimana yang diidealkan filsuf barat, Aristoteles.
Dalam ajaran agama Islam, puasa Ramadan dan Lebaran menjadi momen yang tepat untuk kembali pada jati diri manusia yang suci yang dalam aktivitas sosial yang telah ternodai dosa-dosa, baik itu yang bersumber dari lisan, pikiran, dan tindakan. Selain itu, Lebaran sangat tepat untuk memupuk sikap toleransi yang kini menjadikan modal kekuatan berpolitik dan berdemokrasi di negeri ini.
Masa Ramadan dan Idul Fitri kali ini supaya tak tertutup oleh isu-isu konflik dan berita arus macet mudik Lebaran. Mari kita sikapi perbedaan itu dengan bijak. Allah berfirman, ”Tidaklah manusia itu melainkan umat yang satu (sama), kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (QS Yunus/10:19). Ayat ini mengingatkan kepada kita semua bahwa sesungguhnya manusia itu bersatu kemudian berselisih, tapi bagaimana perselisihan itu tidak terbawa pada suatu pertikaian yang merusak persaudaraan dan kedamaian di negeri ini.
Saat yang paling tepat untuk menyucikan dosa-dosa akibat hiruk-pikuk politik supaya suci kembali ialah melalui momentum Idul Fitri ini. Jika menengok makna Idul Fitri yang berarti kesucian, makna Ramadan ini supaya bisa mencapai sebuah hari Idul Fitri yang berdimensi pada kesejahteraan dan berkeadilan. Semoga semua masyarakat Indonesia tetap menjaga persaudaraan dan persatuan masyarakat Indonesia. Semoga. *
(pur)