Partai Politik sebagai 'Instrumen Negara'

Selasa, 30 Mei 2017 - 08:31 WIB
Partai Politik sebagai...
Partai Politik sebagai 'Instrumen Negara'
A A A
Erwin Moeslimin Singajuru
Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PDI Perjuangan

Negara demokrasi di antaranya meniscayakan partai politik. Bahkan partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai di antaranya berfungsi menjadi penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Dalam ilmu perbandingan politik, sejak lama para pakar berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan Schattscheider (1942) ”political parties created democracy”.

Oleh karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan masih menurut Schattscheider, ”modern democracy is unthinkable save in terms of the parties.”

Dalam konteks sistem politik demokrasi di Indonesia, partai jelas-jelas diakomodasi dalam konstitusi (UUD 1945) seperti dalam Pasal 28E (hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat). Lebih jelas lagi dalam Bab VIIB, Pasal 22E ayat (3), dinyatakan: ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”

Terkait bunyi pasal ini maka tak pelak lagi semestinya parpol justru harus ditingkatkan derajatnya karena parpol bukan saja sebagai penggerak demokrasi (Ramlan Surbakti, 2016) tetapi parpol adalah instrumen negara. Maknanya, segala hal pergerakan parpol tidak lain untuk kepentingan negara, jadi negara membutuhkan parpol. Oleh karena itu membiarkan parpol dalam keadaan ”sakit” atau ada pembiaran parpol terjebak dalam konflik internal berkepanjangan sama saja dengan ”menafikkan” eksistensi parpol yang dijamin konstitusi.

Menaikkan derajat parpol sebagai instrumen negara semestinya dimaknai menjamin kehidupan parpol. Menurut hemat penulis, saatnya pendanaan partai ditanggung signifikan oleh negara, jika dilihat dari parpol sebagai motor, pilar, dan instrumen negara.
Pendanaan oleh negara ini menjadi penting mengingat, selama ini partai sering keteteran dalam pendanaan. Bahkan tak jarang para anggota partai ikut serta memaksakan diri mengumpulkan dana partai untuk memenuhi kebutuhannya yang lalu terjebak pada korupsi.

Sebagai ilustrasi, modus yang dilakukan biasanya maju sebagai kandidat kepala daerah dengan shadow candidat model (kandidat bayangan) yang berporos pada politik dinasti dan calon bersponsor. Politik bernuansa dinasti ini, sangat terasa saat banyak anak, menantu, dan kerabat lainnya dari orang berkuasa di daerah yang tampil jadi kandidat. Pada saat terpilih, tidak sedikit anggota partai model kandidat bayangan yang terpilih menjadi kepala daerah ini, lalu terjebak pada yang diistilahkan Stanislav Andreski (1968) sebagai kleptokrasi.

Kleptokrasi adalah memberi keleluasaan pada peran penguasa yang tujuan utamanya untuk memperkaya diri pribadi atau kelompok. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan tersebut karena memegang jabatan publik. Dampaknya, daerah menjadi tempat ”arena bagi-bagi” kekuasaan hasil kolaborasi antara penguasa dan pengusaha (sponsor). Dari sinilah pentingnya pendanaan dari negara itu agar partai tidak lagi mengais-ngais sumber dana ”haram” untuk memenuhi kebutuhan partai. Lebih dari itu, sang wakil yang duduk di parlemen pun dapat fokus dalam mengurusi negara.

Selama ini sumber dana dari partai tetap diperlukan tak hanya agar elite partai akuntabel kepada anggota, tetapi juga untuk mencegah dominasi negara dan masyarakat terhadap partai. Sumber dana dari masyarakat diperlukan tidak saja untuk mencegah ketergantungan kepada negara, tetapi juga agar elite partai peduli kepada masyarakat. Singkat kata, ketiga sumber penerimaan ini diperlukan demi menjaga kemandirian partai.

=Akuntabilitas=
Wacana pendanaan untuk partai tentu bukanlah tanpa pertanggungjawaban (akuntabilitas). Oleh karena itu, implementasinya kelak harus ketat, terukur, transparan, dan selalu siap untuk diaudit oleh akuntan publik independen mana pun. Akuntabilitas ini sekaligus untuk menepis kesan atau skeptisme yang sudah telanjur berkembang terhadap parpol. Penulis yakin subsidi yang diiringi dengan sistem keuangan yang baik akan dapat menekan kemungkinan terjadinya penyelewengan dana subsidi itu.

Dalam jangka panjang, adanya subsidi signifikan dari negara ini akan mampu mengangkat kemandirian, kekuatan dan kualitas partai. Hal ini pun menjadi bagian dari akuntabilitas publik dari sudut kualitas partai.

=Kajian KPK terhadap Parpol=
Maruli Tua (Ketua Tim Kajian Pendanaan Partai Politik-KPK) menulis, bahwa KPK telah lama mengkaji sistem politik di Indonesia dan kemudian mengidentifikasi tiga masalah utama parpol, yaitu perekrutan, kaderisasi, dan pendanaan. Yang menarik dalam kajian lanjutan KPK tahun 2014, direkomendasikan agar alokasi anggaran terhadap parpol ditingkatkan. Kajian Tim KPK ini memang diawali oleh rasa, sikap skeptis dan kehati-hatian yang tinggi, ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan seperti, bagaimana mungkin uang rakyat digunakan untuk mendanai institusi yang bertahun-tahun dipersepsikan korup? Apalagi di tengah kepercayaan publik yang nyaris di titik nadir terendah. Apa jaminan bahwa ”subsidi” akan mencegah masifnya korupsi DPR/D dan serentetan pertanyaan negatif lainnya.

Hasil kajian Tim ini juga menyimpulkan, bahwa akar masalah mengapa ”masif”nya korupsi di DPR/D tak lain karena minimnya pendanaan politik. Dengan kata lain, selama ini parpol kesulitan mengadakan pendanaan sendiri yang menyebabkan mereka harus mencari-cari jalan bagaimana untuk mendapatkan dana itu. Lalu umumnya mereka mencari jalan pintas yaitu korupsi selagi kesempatan itu ada. Dari sinilah, muncul wacana dari Tim KPK untuk mengonstruksi agar parpol sebaiknya didanai oleh negara.

Dari kajian Tim KPK terlihat adanya subsidi negara akan berdampak pula pada internal partai. Selama ini banyak politisi ”sulit” bergerak karena partai kental dengan ”adat” oligarki. Subsidi itu dengan sendirinya akan melepaskan ”adat” oligarki partai menuju ke kemandirian dengan warna egalitarian. Dalam jangka panjang partai akan terbebas dari ”adat” oligarki tadi.

Dampak langsung lain jika partai disubsidi adalah pemilu dengan sistem proporsional terbuka dengan sendirinya akan gugur. Seperti diketahui, sistem proporsional terbuka di antaranya menyebabkan terjadinya liberalisasi; di sini calon partai berduitlah yang akan menang. Money politic akan merebak luas karena sistem proporsional terbuka intinya mengantarkan calon menjadi sangat pragmatis, tentu yang banyak duit akan mengalahkan calon yang tidak berduit. Pengaderan partai tidak berjalan, sebab calon dari luar dapat saja ”menyodok” tiba-tiba menyingkirkan kader partai dari dalam yang sudah merintis karier sejak lama. Berdemokrasi di sini menjadi tidak sehat. Oligarki partai pun tak terelakkan karena ketua umum dan sekretaris jenderal atau elite partai biasanya sangat dominan dan menentukan.

Di sinilah sistem pengelolaan oligarki partai menjadi tak terhindar. Model partai semacam ini yang umumnya ditolak oleh para anggota parpol karena dianggap tidak adil dan tidak sehat. Dari sini pula usulan pemerintah terhadap konsep sistem proporsional terbuka terbatas menjadi ”relevan”. Mungkin juga perlu dikaji jalan tengah sistem yang lebih adil dan beradab, yakni; Sistem yang tidak memberi ruang terhadap munculnya politik transaksional dan menjunjung tinggi asas meritokrasi.

Kajian Tim KPK tampaknya menyadari benar, apa yang menjadi titik lemah parpol. Oleh karena itu, muara utama yang mereka rekomendasikan untuk membenahi parpol sungguh solusi yang sangat berguna bagi masa depan parpol, masyarakat dan negara.

Bonum Commune
Akhirnya, dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan ”checks and balances”. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya, dalam menjalankan tugas masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstremlah yang merajalela. Partai politik biasanya menjadi kepanjangan tangan penguasa; menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, seperti dulu sebelum reformasi.

Siapa pun tidak ingin parpol setback hanya sebagai ”pelengkap penderita”, jalan di tempat atau berfungsi semu. Demokrasi adalah proses, sekaligus tujuan, yakni mewujudnya bonum commune atau kepentingan publik yang dapat dirasakan dan dinikmati oleh warga pemilik mandat kekuasaan. Bonum commune, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4598 seconds (0.1#10.140)