Kecemasan di Balik Perppu Akses Keuangan
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PEMERINTAH sukses memberikan kejutan bagi masyarakat dengan merilis secara mendadak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2017 tentang Akses Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Saat ini perppu tersebut sedang disodorkan kepada anggota DPR untuk segera ditetapkan menjadi undang-undang.
Perppu ini diterbitkan dalam rangka mendukung penerapan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang mulai dijalankan penuh pada 2018. Meski akhir-akhir ini wacana tersebut sering berkumandang bebas, berbagai paradoks semakin sulit dihindari karena masyarakat banyak yang masih shock.
Opini publik terbelah menjadi dua kubu antara pihak yang pro dan yang kontra. Perdebatan paling kentara justru lebih terlihat di antara kalangan perbankan karena bisa jadi ini akan memukul mundur upaya membangun stabilitas dan kredibilitas di sektor keuangan.
Menurut kubu yang pro, perppu ini akan mendorong agar wajib pajak semakin berlaku jujur di dalam pelaporan kewajiban-kewajiban pajaknya. Akses informasi keuangan akan mendukung langkah-langkah pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban pajaknya.
Kita perlu berhati-hati agar megaskandal seperti Panama Papers tidak terulang. Sebagian bankir bahkan sepakat karena ini bisa menjadi stimulus tingkat rasio perpajakan beserta peluang peningkatan belanja pembangunan.
Lagipula pemerintah juga menetapkan pemeriksaan nanti juga tidak dilakukan terhadap sembarang orang. Karena ada kriteria yang harus dipenuhi, misalnya mengenai saldo yang ditetapkan minimal USD250.000 (Rp3,3 miliar) serta berbagai prosedur dan protokol yang harus dijalankan untuk dapat mengakses informasi keuangan di perbankan.
Sementara kubu yang kontra masih mengkhawatirkan kerawanan dalam penyalahgunaan akses informasi keuangan. Bahkan suara-suara yang berembus juga turut menyangsikan kejujuran oknum-oknum di dalam SDM perpajakan. Hal yang paling dikhawatirkan akses ini bisa digunakan untuk memeras wajib pajak dan WNI-WNI kategori kaya melalui proses “negosiasi” pajak.
Lapisan keamanan dan jaminan eksklusivitas terhadap data-data nasabah perbankan harus diperkuat karena besar kemungkinan akan memengaruhi persepsi masyarakat mengenai kredibilitas perpajakan dan perbankan. Di samping itu juga diperlukan pengetatan pengawasan terhadap aparat perpajakan untuk menghindari adanya opportunistic behavior.
Polemik yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat memang lebih banyak didorong karena perasaan waswas dengan keamanan data nasabah perbankan. Meskipun demikian, jika mengacu pada survei Edelman Trust Barometer (2017), pemerintah masih berpeluang untuk terus meraih kepercayaan dari masyarakat.
Indonesia berada dalam level trusters berkat indeks kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah, bisnis, media, dan non-government organization (NGO) berada di atas 60 poin (lebih tepatnya berada di angka 69 poin). Bahkan kondisi di negara kita dianggap anomali karena di bagian negara lain justru kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya kian menurun. Alasan utamanya berkaitan dengan kapasitas pemerintah di dalam penanganan situasi politik dan ekonomi global.
Namun pemerintah perlu lebih berhati-hati kembali karena survei tersebut dilakukan di kisaran pertengahan Oktober 2016. Momentum survei berjalan ketika salah satu isu yang paling panas dan melibatkan beberapa tokoh politik papan atas belum bergulir seperti yang terjadi sekarang ini.
Apalagi skandal korupsi dan penyalahgunaan wewenang belum betul-betul teratasi secara tuntas. Bahkan isu mengenai SARA dan kepastian hukum menjadi penguasa topik-topik yang paling diminati masyarakat seiring dengan rentetan konstelasi politik di dalam negeri.
Karena pergolakan politik dan hukum yang kian panas pula, topik persiapan mengenai pemberlakuan AEoI perlahan-lahan mulai surut ditelan bumi. Karena itu masyarakat cenderung sangat shock karena merasa kurang mendapatkan sosialisasi yang hangat dan mencerahkan.
Padahal sebelum Perppu Nomor 1/2017 diterbitkan, Menteri Keuangan sudah terlebih dahulu melansir Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional. Salah satu poin utamanya adalah mengenai competent authoriy meetings yang dapat dilakukan pejabat yang berwenang (competent authority).
Dalam beleid tersebut, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan competent authority meetings dilaksanakan pejabat yang berwenang di Indonesia dan pejabat yang berwenang di negara mitra untuk membahas hal-hal yang berkenan dengan pertukaran informasi.
Informasi dalam laporan per negara (CbCR) mencakup alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota grup usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri dan daftar anggota grup usaha dari kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi.
Informasi yang dipertukarkan antarpejabat yang berwenang ini nantinya akan digunakan sebagai basis data perpajakan Ditjen Pajak. Menkeu juga menegaskan setiap informasi yang dipertukarkan ini akan dijaga kerahasiaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan perjanjian internasional.
Selain itu Menkeu menegaskan bahwa wewenang besar bagi aparat pajak juga akan dilampiri dengan aturan yang sangat ketat dan tegas. Petugas yang memiliki akses akan mendapatkan audit sebanyak dua kali dari direktorat dan inspektorat. Bahkan nanti juga akan dipersiapkan aneka protokol dan pengawasan terhadap aparat perpajakan.
Berlakunya Perppu Nomor 1/2017 memang sangat dibutuhkan sebagai komitmen pemerintah terhadap skema AEoI. Skema ini merupakan kesepakatan pemerintah yang diteken bersama dengan 100 negara lain di dunia.
Kebanyakan negara-negara tersebut merupakan anggota dari Forum G-20 dan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Namun kendalanya selama ini wajib pajak dan terutama kalangan pengusaha lebih nyaman dengan informasi keuangan yang lebih tertutup.
Berkaitan dengan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) perlu mengantisipasi gejolak yang muncul atas beleid ini. Khususnya berkaitan dengan risiko likuiditas akibat masyarakat yang masih “gagap” dengan era keterbukaan informasi.
Penulis menambahkan setidaknya ada empat poin yang perlu dikerjakan pemerintah untuk menanggulangi dampak terburuk dari dilansirnya perppu sebagai berikut.
Pertama, di sisa waktu selama Perppu Nomor 1/2017 akan diproses menjadi undang-undang, pemerintah (khususnya Menkeu dan Ditjen Pajak) perlu bekerja keras untuk memperpendek gap pemahaman dengan DPR, pengusaha, dan masyarakat umum lain. Proses sosialisasi yang dirasa kurang warming-up dan clear menjadi salah satu pertimbangan utama.
Yang perlu lebih ditegaskan dalam sosialisasi ialah bagaimana mekanisme akses informasi keuangan akan digunakan, terutama terkait siapa saja pejabat yang berhak dan kepentingannya untuk apa harus betul-betul clear. Sebab jangan sampai kesalahpahaman di dalam penafsiran mengenai isi perppu ikut menghambat kinerja investasi dan mobilitas sektor keuangan di dalam negeri. Kita perlu belajar dari pengalaman selama pemberlakuan tax amnesty kemarin.
Kedua, pemerintah juga perlu menggaransi aktivitas pemberlakuan perppu tidak akan menghambat kinerja sektor keuangan dan perbankan. Perbankan cenderung menghadapi dilema akan ancaman penarikan uang sebagai dampak dari belum kuatnya jaminan keamanan data nasabah.
Ketiga, ide mengenai reformasi dan kinerja pengelolaan perpajakan perlu semakin diperjelas perkembangannya untuk semakin meningkatkan kepercayaan publik. Di beberapa negara seperti Jerman dan negara bekas sosialis lain di Kawasan Eropa, persentase pajak cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia.
Namun tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat justru tetap tinggi karena mereka yakin pajak yang telah dibayarkan lambat laun akan memberikan return yang proporsional terhadap kesejahteraan mereka. Mulai dari fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai, infrastruktur yang berkualitas hingga berbagai insentif untuk pengembangan bisnis masyarakat.
Adapun di Indonesia justru sedang dalam kondisi kasak-kusuk karena akhir-akhir ini muncul banyak ancaman yang dapat menghambat daya konsumsi masyarakat. Adanya kenaikan harga di beberapa kebutuhan pokok seharusnya juga didorong peningkatan pendapatan dan daya beli agar tidak menjadi bumerang. Masyarakat juga perlu diyakinkan kembali bahwa perpajakan merupakan jalan utama untuk menciptakan pemerataan pembangunan dalam jangka panjang.
Dan keempat, penulis sekali lagi menitipkan pesan mengenai pentingnya modal sosial antara pemerintah dan masyarakat. Modal sosial telah menjadi success story di balik relativitas keberhasilan berjalannya program tax amnesty.
Proses komunikasi antara pemerintah dan beragam latar belakang masyarakat terbukti menciptakan kesepahaman dan kesadaran untuk ikut terlibat di dalam program-program pemerintah. Namun proyek modal sosial harus lebih diperluas lagi karena pemberlakuan skema AEoI bukanlah program yang seumur jagung seperti layaknya program tax amnesty.
Seiring berjalannya waktu, kinerja SDM perpajakan akan menjadi lini utama yang menjamin tidak akan ada “tangan-tangan jahil” yang membuat akses informasi keuangan justru menjadi ladang KKN. SDM perpajakan perlu dibekali lagi prinsip komunikasi yang efektif dan mampu memahamkan masyarakat bahwa skema AEoI sangat aman dan tujuannya agar tercipta keadilan yang direfleksikan melalui kewajiban perpajakan.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PEMERINTAH sukses memberikan kejutan bagi masyarakat dengan merilis secara mendadak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2017 tentang Akses Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Saat ini perppu tersebut sedang disodorkan kepada anggota DPR untuk segera ditetapkan menjadi undang-undang.
Perppu ini diterbitkan dalam rangka mendukung penerapan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang mulai dijalankan penuh pada 2018. Meski akhir-akhir ini wacana tersebut sering berkumandang bebas, berbagai paradoks semakin sulit dihindari karena masyarakat banyak yang masih shock.
Opini publik terbelah menjadi dua kubu antara pihak yang pro dan yang kontra. Perdebatan paling kentara justru lebih terlihat di antara kalangan perbankan karena bisa jadi ini akan memukul mundur upaya membangun stabilitas dan kredibilitas di sektor keuangan.
Menurut kubu yang pro, perppu ini akan mendorong agar wajib pajak semakin berlaku jujur di dalam pelaporan kewajiban-kewajiban pajaknya. Akses informasi keuangan akan mendukung langkah-langkah pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban pajaknya.
Kita perlu berhati-hati agar megaskandal seperti Panama Papers tidak terulang. Sebagian bankir bahkan sepakat karena ini bisa menjadi stimulus tingkat rasio perpajakan beserta peluang peningkatan belanja pembangunan.
Lagipula pemerintah juga menetapkan pemeriksaan nanti juga tidak dilakukan terhadap sembarang orang. Karena ada kriteria yang harus dipenuhi, misalnya mengenai saldo yang ditetapkan minimal USD250.000 (Rp3,3 miliar) serta berbagai prosedur dan protokol yang harus dijalankan untuk dapat mengakses informasi keuangan di perbankan.
Sementara kubu yang kontra masih mengkhawatirkan kerawanan dalam penyalahgunaan akses informasi keuangan. Bahkan suara-suara yang berembus juga turut menyangsikan kejujuran oknum-oknum di dalam SDM perpajakan. Hal yang paling dikhawatirkan akses ini bisa digunakan untuk memeras wajib pajak dan WNI-WNI kategori kaya melalui proses “negosiasi” pajak.
Lapisan keamanan dan jaminan eksklusivitas terhadap data-data nasabah perbankan harus diperkuat karena besar kemungkinan akan memengaruhi persepsi masyarakat mengenai kredibilitas perpajakan dan perbankan. Di samping itu juga diperlukan pengetatan pengawasan terhadap aparat perpajakan untuk menghindari adanya opportunistic behavior.
Polemik yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat memang lebih banyak didorong karena perasaan waswas dengan keamanan data nasabah perbankan. Meskipun demikian, jika mengacu pada survei Edelman Trust Barometer (2017), pemerintah masih berpeluang untuk terus meraih kepercayaan dari masyarakat.
Indonesia berada dalam level trusters berkat indeks kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah, bisnis, media, dan non-government organization (NGO) berada di atas 60 poin (lebih tepatnya berada di angka 69 poin). Bahkan kondisi di negara kita dianggap anomali karena di bagian negara lain justru kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya kian menurun. Alasan utamanya berkaitan dengan kapasitas pemerintah di dalam penanganan situasi politik dan ekonomi global.
Namun pemerintah perlu lebih berhati-hati kembali karena survei tersebut dilakukan di kisaran pertengahan Oktober 2016. Momentum survei berjalan ketika salah satu isu yang paling panas dan melibatkan beberapa tokoh politik papan atas belum bergulir seperti yang terjadi sekarang ini.
Apalagi skandal korupsi dan penyalahgunaan wewenang belum betul-betul teratasi secara tuntas. Bahkan isu mengenai SARA dan kepastian hukum menjadi penguasa topik-topik yang paling diminati masyarakat seiring dengan rentetan konstelasi politik di dalam negeri.
Karena pergolakan politik dan hukum yang kian panas pula, topik persiapan mengenai pemberlakuan AEoI perlahan-lahan mulai surut ditelan bumi. Karena itu masyarakat cenderung sangat shock karena merasa kurang mendapatkan sosialisasi yang hangat dan mencerahkan.
Padahal sebelum Perppu Nomor 1/2017 diterbitkan, Menteri Keuangan sudah terlebih dahulu melansir Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional. Salah satu poin utamanya adalah mengenai competent authoriy meetings yang dapat dilakukan pejabat yang berwenang (competent authority).
Dalam beleid tersebut, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan competent authority meetings dilaksanakan pejabat yang berwenang di Indonesia dan pejabat yang berwenang di negara mitra untuk membahas hal-hal yang berkenan dengan pertukaran informasi.
Informasi dalam laporan per negara (CbCR) mencakup alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota grup usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri dan daftar anggota grup usaha dari kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi.
Informasi yang dipertukarkan antarpejabat yang berwenang ini nantinya akan digunakan sebagai basis data perpajakan Ditjen Pajak. Menkeu juga menegaskan setiap informasi yang dipertukarkan ini akan dijaga kerahasiaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan perjanjian internasional.
Selain itu Menkeu menegaskan bahwa wewenang besar bagi aparat pajak juga akan dilampiri dengan aturan yang sangat ketat dan tegas. Petugas yang memiliki akses akan mendapatkan audit sebanyak dua kali dari direktorat dan inspektorat. Bahkan nanti juga akan dipersiapkan aneka protokol dan pengawasan terhadap aparat perpajakan.
Berlakunya Perppu Nomor 1/2017 memang sangat dibutuhkan sebagai komitmen pemerintah terhadap skema AEoI. Skema ini merupakan kesepakatan pemerintah yang diteken bersama dengan 100 negara lain di dunia.
Kebanyakan negara-negara tersebut merupakan anggota dari Forum G-20 dan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Namun kendalanya selama ini wajib pajak dan terutama kalangan pengusaha lebih nyaman dengan informasi keuangan yang lebih tertutup.
Berkaitan dengan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) perlu mengantisipasi gejolak yang muncul atas beleid ini. Khususnya berkaitan dengan risiko likuiditas akibat masyarakat yang masih “gagap” dengan era keterbukaan informasi.
Penulis menambahkan setidaknya ada empat poin yang perlu dikerjakan pemerintah untuk menanggulangi dampak terburuk dari dilansirnya perppu sebagai berikut.
Pertama, di sisa waktu selama Perppu Nomor 1/2017 akan diproses menjadi undang-undang, pemerintah (khususnya Menkeu dan Ditjen Pajak) perlu bekerja keras untuk memperpendek gap pemahaman dengan DPR, pengusaha, dan masyarakat umum lain. Proses sosialisasi yang dirasa kurang warming-up dan clear menjadi salah satu pertimbangan utama.
Yang perlu lebih ditegaskan dalam sosialisasi ialah bagaimana mekanisme akses informasi keuangan akan digunakan, terutama terkait siapa saja pejabat yang berhak dan kepentingannya untuk apa harus betul-betul clear. Sebab jangan sampai kesalahpahaman di dalam penafsiran mengenai isi perppu ikut menghambat kinerja investasi dan mobilitas sektor keuangan di dalam negeri. Kita perlu belajar dari pengalaman selama pemberlakuan tax amnesty kemarin.
Kedua, pemerintah juga perlu menggaransi aktivitas pemberlakuan perppu tidak akan menghambat kinerja sektor keuangan dan perbankan. Perbankan cenderung menghadapi dilema akan ancaman penarikan uang sebagai dampak dari belum kuatnya jaminan keamanan data nasabah.
Ketiga, ide mengenai reformasi dan kinerja pengelolaan perpajakan perlu semakin diperjelas perkembangannya untuk semakin meningkatkan kepercayaan publik. Di beberapa negara seperti Jerman dan negara bekas sosialis lain di Kawasan Eropa, persentase pajak cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia.
Namun tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat justru tetap tinggi karena mereka yakin pajak yang telah dibayarkan lambat laun akan memberikan return yang proporsional terhadap kesejahteraan mereka. Mulai dari fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai, infrastruktur yang berkualitas hingga berbagai insentif untuk pengembangan bisnis masyarakat.
Adapun di Indonesia justru sedang dalam kondisi kasak-kusuk karena akhir-akhir ini muncul banyak ancaman yang dapat menghambat daya konsumsi masyarakat. Adanya kenaikan harga di beberapa kebutuhan pokok seharusnya juga didorong peningkatan pendapatan dan daya beli agar tidak menjadi bumerang. Masyarakat juga perlu diyakinkan kembali bahwa perpajakan merupakan jalan utama untuk menciptakan pemerataan pembangunan dalam jangka panjang.
Dan keempat, penulis sekali lagi menitipkan pesan mengenai pentingnya modal sosial antara pemerintah dan masyarakat. Modal sosial telah menjadi success story di balik relativitas keberhasilan berjalannya program tax amnesty.
Proses komunikasi antara pemerintah dan beragam latar belakang masyarakat terbukti menciptakan kesepahaman dan kesadaran untuk ikut terlibat di dalam program-program pemerintah. Namun proyek modal sosial harus lebih diperluas lagi karena pemberlakuan skema AEoI bukanlah program yang seumur jagung seperti layaknya program tax amnesty.
Seiring berjalannya waktu, kinerja SDM perpajakan akan menjadi lini utama yang menjamin tidak akan ada “tangan-tangan jahil” yang membuat akses informasi keuangan justru menjadi ladang KKN. SDM perpajakan perlu dibekali lagi prinsip komunikasi yang efektif dan mampu memahamkan masyarakat bahwa skema AEoI sangat aman dan tujuannya agar tercipta keadilan yang direfleksikan melalui kewajiban perpajakan.
(poe)