Dua Penyuap Pejabat Bakamla Divonis 1,5 Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menghukum dua pemberi suap kepada para pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) berupa penjara selama satu tahun enam bulan.
Kedua terdakwa itu, yakni pegawai Bagian Operasional PT Merial Esa, Muhammad Adami Okta dan Marketing Operasional PT Merial Esa, Hardy Stefanus.
Majelis Hakim yang dipimpin Fraknky Tambuwun mengatakan, Adami dan Hardy terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi dengan melakukan suap bersama dengan pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah alias Emi.
Hakim menilai Adami dan Hardy serta Fahmi terbukti memberi suap lebih dari Rp28 miliar. Suap itu diberikan dengan sandi uang komando. Pemberian pertama, lebih dari Rp4,338 miliar kepada empat penyelenggara negara atau pegawai negeri di Bakamla.
Pemberian kedua, Rp24 miliar ke Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi alias Fahmi Onta alias Ali Onta selaku dalam kapasitas sebagai Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo.
Empat penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima suap, yakni pertama, Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016 sebesar SGD100.000 (Rp935 juta), USD88,500 (Rp1.181.475.000), dan 10.000 Euro (Rp143,2 juta).
Kedua, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi Hukum dan Kerja Sama Keamanan dan Keselamatan Laut Bakamla 2016 sebesar SGD105.000 (Rp981,75 juta).
Ketiga, Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla sebesar SGD104.500 (setara Rp977,075). Keempat, Tri Nanda Wicaksono selaku Kasubag Tata Usaha Sestama Bakamla sebesar Rp120 juta.
Menurut Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun, majelis berkesimpulan bahwa benar seluruh uang suap untuk memenangkan PT MTI dalam pengadaan satelit monitoring di Bakamla dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih Rp222,43 miliar.
Sebelumnya anggaran satelit monitoring itu diajukan Bakamla ke DPR sebesar Rp402,716 miliar. "Mengadili, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Adami dan terdakwa Hardy dengan penjara selama satu tahun enam bulan dan pidana denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan," tutur hakim Franky saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (17/5/2017).
Adami dan Hardy terbukti melanggar dakwaan alternatif kedua. Majelis berpandangan, hukuman yang ringan ini karena majelis sependapat dengan JPU pada KPK bahwa Adami dan Hardy adalah justice collaborator (JC).
Menurut majelis, tutur hakim Franky, status justice collaborator disetujui karena kedua terdakwa membuka dan membongkar aktor lain yang berperan lebih besar.
Ada dua aktor besar, menurut majelis yang layak dimintai pertanggungjawaban karena sudah terungkap dalam fakta persidangan dan diakui dua terdakwa.
Dua aktor lain tersebut, yakni Ali Fahmi dan Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo. "Arie Soedewo memerintahkan Eko Susilo Hadi untuk meminta dana 7,5 persen dari nilai anggaran proyek. Arie Soedewo kemudian meminta kepada Eko agar menyampaikan uang yang direalisasi lebih dulu sebesar 2 persen. Arie Soedewo memerintahkan untuk memberikan uang kepada Bambang Udoyo dan Nofel Hasan," tegas salah satu anggota majelis hakim.
Dalam menjatuhkan putusan, majelis mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan. Pertimbangan yang memberatkan, keduanya tidak mendukung program pemerintah dalam menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sementara pertimbangan meringankan, kedua terdakwa berlaku sopan, kooperatif dalam sidang, memiliki tanggungan keluarga, berterus terang, dan membantu mengungkap pelaku lain yang punya peran lebih besar.
Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus menerima putusan dan tidak mengajukan banding. "Saya menerima hasil putusan ini dan tidak akan mengajukan banding," ujar Adami.
Kedua terdakwa itu, yakni pegawai Bagian Operasional PT Merial Esa, Muhammad Adami Okta dan Marketing Operasional PT Merial Esa, Hardy Stefanus.
Majelis Hakim yang dipimpin Fraknky Tambuwun mengatakan, Adami dan Hardy terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi dengan melakukan suap bersama dengan pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah alias Emi.
Hakim menilai Adami dan Hardy serta Fahmi terbukti memberi suap lebih dari Rp28 miliar. Suap itu diberikan dengan sandi uang komando. Pemberian pertama, lebih dari Rp4,338 miliar kepada empat penyelenggara negara atau pegawai negeri di Bakamla.
Pemberian kedua, Rp24 miliar ke Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi alias Fahmi Onta alias Ali Onta selaku dalam kapasitas sebagai Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo.
Empat penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima suap, yakni pertama, Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016 sebesar SGD100.000 (Rp935 juta), USD88,500 (Rp1.181.475.000), dan 10.000 Euro (Rp143,2 juta).
Kedua, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi Hukum dan Kerja Sama Keamanan dan Keselamatan Laut Bakamla 2016 sebesar SGD105.000 (Rp981,75 juta).
Ketiga, Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla sebesar SGD104.500 (setara Rp977,075). Keempat, Tri Nanda Wicaksono selaku Kasubag Tata Usaha Sestama Bakamla sebesar Rp120 juta.
Menurut Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun, majelis berkesimpulan bahwa benar seluruh uang suap untuk memenangkan PT MTI dalam pengadaan satelit monitoring di Bakamla dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih Rp222,43 miliar.
Sebelumnya anggaran satelit monitoring itu diajukan Bakamla ke DPR sebesar Rp402,716 miliar. "Mengadili, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Adami dan terdakwa Hardy dengan penjara selama satu tahun enam bulan dan pidana denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan," tutur hakim Franky saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (17/5/2017).
Adami dan Hardy terbukti melanggar dakwaan alternatif kedua. Majelis berpandangan, hukuman yang ringan ini karena majelis sependapat dengan JPU pada KPK bahwa Adami dan Hardy adalah justice collaborator (JC).
Menurut majelis, tutur hakim Franky, status justice collaborator disetujui karena kedua terdakwa membuka dan membongkar aktor lain yang berperan lebih besar.
Ada dua aktor besar, menurut majelis yang layak dimintai pertanggungjawaban karena sudah terungkap dalam fakta persidangan dan diakui dua terdakwa.
Dua aktor lain tersebut, yakni Ali Fahmi dan Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo. "Arie Soedewo memerintahkan Eko Susilo Hadi untuk meminta dana 7,5 persen dari nilai anggaran proyek. Arie Soedewo kemudian meminta kepada Eko agar menyampaikan uang yang direalisasi lebih dulu sebesar 2 persen. Arie Soedewo memerintahkan untuk memberikan uang kepada Bambang Udoyo dan Nofel Hasan," tegas salah satu anggota majelis hakim.
Dalam menjatuhkan putusan, majelis mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan. Pertimbangan yang memberatkan, keduanya tidak mendukung program pemerintah dalam menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sementara pertimbangan meringankan, kedua terdakwa berlaku sopan, kooperatif dalam sidang, memiliki tanggungan keluarga, berterus terang, dan membantu mengungkap pelaku lain yang punya peran lebih besar.
Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus menerima putusan dan tidak mengajukan banding. "Saya menerima hasil putusan ini dan tidak akan mengajukan banding," ujar Adami.
(dam)