Negara Belum Hadir
A
A
A
LIMA hari setelah ditahannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Mako Brimob, Depok, para simpatisan masih belum bisa menerima hasil putusan pengadilan. Pendukung Ahok secara rutin melakukan aksi demonstrasi dengan menyalakan lilin sebagai simbol keprihatinan putusan hakim.
Aksi yang dilakukan di beberapa kota pada malam hari tentu melanggar Pasal 6 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 9/2008. Bunyi ayat tersebut mengatur tentang batasan waktu yang dibolehkan untuk melakukan aksi demonstrasi antara pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore di tempat terbuka. Sementara di tempat tertutup aksi demonstrasi dilakukan antara pukul 6 pagi hingga pukul 10 malam.
Selain menabrak aturan Perkap, aksi itu juga bertentangan dengan hukum karena memprotes putusan hakim yang berkekuatan hukum. Itu artinya, aksi yang dilakukan melanggar hukum dua kali.
Tetapi, apa daya, aparat hukum dalam hal ini juga gagal menegakkan hukum sehingga aksi meluas ke berbagai daerah. Akibatnya, sejumlah massa yang merasa terganggu dengan aksi tersebut ikut menurunkan massa dan berujung pada benturan massa. Di mana kewibawaan penegak hukum dalam hal ini aparat kepolisian selaku pengendali keamanan?
Bukan hanya itu, pemerintah pusat, mulai dari tingkat elite hingga kementerian yang mengatur bidang politik, hukum, dan keamanan juga tidak mengantisipasi kegiatan massa yang menolak hasil sidang hingga kemudian kasus ini berlarut-larut. Kini, semua mata tertuju pada elite pemerintah, adakah upaya yang dilakukan untuk menghindari karut-marut kondisi perpecahan bangsa yang sudah di depan mata?
Kondisi massa yang kini saling berhadapan jangan disepelekan. Kondisi ini sudah mengganggu kehidupan sosial masyarakat karena banyak pihak mulai saling curiga hingga mudah memprovokasi dan terprovokasi oleh aksi yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan golongan.
Pemerintah bisa saja meminta bantuan kepada partai politik pendukungnya, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat untuk meredam aksi massa. Negara juga memiliki intelijen yang bisa meminimalisasi aksi massa di beberapa daerah yang rawan akan isu SARA.
Bahkan, melalui Kementerian Dalam Negeri, pemerintah pusat bisa melakukan koordinasi dengan kepala-kepala daerah untuk turun ke masyarakat melakukan pencegahan aksi demonstrasi dan menaati putusan hakim. Berbagai sosialisasi ke masyarakat untuk meredam kasus Ahok harus bisa dilakukan secepatnya sehingga kondisi stabilitas ekonomi tidak ikut terganggu.
Memang tidak dapat dimungkiri stabilitas politik dan keamanan saat ini sangat membutuhkan perhatian. Setelah putusan majelis hakim yang memvonis Ahok dua tahun penjara menjadi pemicu aksi sejumlah pendukung yang tidak bisa menerima keputusan tersebut. Padahal, Ahok sendiri sudah meminta kepada pendukungnya untuk menerima putusan hakim.
Namun, ketidakpuasan pendukung diluapkan melalui sejumlah aksi yang tidak dapat diantisipasi oleh pemerintah. Atas aksi yang semakin meluas ini pertanyaannya adalah ke mana Presiden Jokowi dan jajarannya?
Kebijakan pemerintah untuk mendinginkan suasana sungguh sangat dibutuhkan. Pernyataan dari pejabat negara yang menyejukkan dan menenangkan juga sudah dinanti, termasuk langkah tegas pemerintah bila ada pihak-pihak yang mencoba menolak dan melanggar aturan hukum.
Harus diingat, kasus Ahok tak lepas dari politik karena yang bersangkutan adalah salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta. Kekalahan Ahok melalui suara rakyat DKI seharusnya dihormati dan menjadi bukti kematangan demokrasi.
Putusan hakim terhadap Ahok juga harus ditaati karena sudah melalui proses persidangan selama hampir empat bulan. Berbagai bukti inilah yang seharusnya menjadi bekal negara untuk hadir ke masyarakat dan memberikan pemahaman bahwa segala bentuk perselisihan telah usai.
Sudah saatnya semua pihak mengakhiri pertikaian karena perbedaan pandangan politik tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk memecah persatuan atas nama suku, agama, ras, dan golongan. Elite pusat hingga partai pun harus bisa meredam isu politik yang nyaris memecah belah anak bangsa.
Butuh kehadiran negara di tengah masyarakat karena sejatinya negara menjadi pegangan rakyat dalam menjalankan pesta demokrasi yang aman, damai, dan senantiasa menjaga kebinekaan. Bukan hanya kita, seluruh dunia saat ini sedang menatap ujian kematangan demokrasi di Indonesia.
Aksi yang dilakukan di beberapa kota pada malam hari tentu melanggar Pasal 6 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 9/2008. Bunyi ayat tersebut mengatur tentang batasan waktu yang dibolehkan untuk melakukan aksi demonstrasi antara pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore di tempat terbuka. Sementara di tempat tertutup aksi demonstrasi dilakukan antara pukul 6 pagi hingga pukul 10 malam.
Selain menabrak aturan Perkap, aksi itu juga bertentangan dengan hukum karena memprotes putusan hakim yang berkekuatan hukum. Itu artinya, aksi yang dilakukan melanggar hukum dua kali.
Tetapi, apa daya, aparat hukum dalam hal ini juga gagal menegakkan hukum sehingga aksi meluas ke berbagai daerah. Akibatnya, sejumlah massa yang merasa terganggu dengan aksi tersebut ikut menurunkan massa dan berujung pada benturan massa. Di mana kewibawaan penegak hukum dalam hal ini aparat kepolisian selaku pengendali keamanan?
Bukan hanya itu, pemerintah pusat, mulai dari tingkat elite hingga kementerian yang mengatur bidang politik, hukum, dan keamanan juga tidak mengantisipasi kegiatan massa yang menolak hasil sidang hingga kemudian kasus ini berlarut-larut. Kini, semua mata tertuju pada elite pemerintah, adakah upaya yang dilakukan untuk menghindari karut-marut kondisi perpecahan bangsa yang sudah di depan mata?
Kondisi massa yang kini saling berhadapan jangan disepelekan. Kondisi ini sudah mengganggu kehidupan sosial masyarakat karena banyak pihak mulai saling curiga hingga mudah memprovokasi dan terprovokasi oleh aksi yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan golongan.
Pemerintah bisa saja meminta bantuan kepada partai politik pendukungnya, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat untuk meredam aksi massa. Negara juga memiliki intelijen yang bisa meminimalisasi aksi massa di beberapa daerah yang rawan akan isu SARA.
Bahkan, melalui Kementerian Dalam Negeri, pemerintah pusat bisa melakukan koordinasi dengan kepala-kepala daerah untuk turun ke masyarakat melakukan pencegahan aksi demonstrasi dan menaati putusan hakim. Berbagai sosialisasi ke masyarakat untuk meredam kasus Ahok harus bisa dilakukan secepatnya sehingga kondisi stabilitas ekonomi tidak ikut terganggu.
Memang tidak dapat dimungkiri stabilitas politik dan keamanan saat ini sangat membutuhkan perhatian. Setelah putusan majelis hakim yang memvonis Ahok dua tahun penjara menjadi pemicu aksi sejumlah pendukung yang tidak bisa menerima keputusan tersebut. Padahal, Ahok sendiri sudah meminta kepada pendukungnya untuk menerima putusan hakim.
Namun, ketidakpuasan pendukung diluapkan melalui sejumlah aksi yang tidak dapat diantisipasi oleh pemerintah. Atas aksi yang semakin meluas ini pertanyaannya adalah ke mana Presiden Jokowi dan jajarannya?
Kebijakan pemerintah untuk mendinginkan suasana sungguh sangat dibutuhkan. Pernyataan dari pejabat negara yang menyejukkan dan menenangkan juga sudah dinanti, termasuk langkah tegas pemerintah bila ada pihak-pihak yang mencoba menolak dan melanggar aturan hukum.
Harus diingat, kasus Ahok tak lepas dari politik karena yang bersangkutan adalah salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta. Kekalahan Ahok melalui suara rakyat DKI seharusnya dihormati dan menjadi bukti kematangan demokrasi.
Putusan hakim terhadap Ahok juga harus ditaati karena sudah melalui proses persidangan selama hampir empat bulan. Berbagai bukti inilah yang seharusnya menjadi bekal negara untuk hadir ke masyarakat dan memberikan pemahaman bahwa segala bentuk perselisihan telah usai.
Sudah saatnya semua pihak mengakhiri pertikaian karena perbedaan pandangan politik tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk memecah persatuan atas nama suku, agama, ras, dan golongan. Elite pusat hingga partai pun harus bisa meredam isu politik yang nyaris memecah belah anak bangsa.
Butuh kehadiran negara di tengah masyarakat karena sejatinya negara menjadi pegangan rakyat dalam menjalankan pesta demokrasi yang aman, damai, dan senantiasa menjaga kebinekaan. Bukan hanya kita, seluruh dunia saat ini sedang menatap ujian kematangan demokrasi di Indonesia.
(poe)