Menyikapi Vonis Ahok
A
A
A
Muhammad Yuntri
Praktisi Hukum di Jakarta
TEKA-TEKI yang selama ini mengambang, terjawab sudah! Majelis hakim yang diketuai Ketua PN Jakut Dwiarso Budi Santiarto dengan mantap tanpa ragu mengetukkan palu, dua tahun penjara dan langsung masuk penjara untuk Ahok yang dinilai menista agama. Ahok terbukti bersalah, memenuhi semua unsur pelanggaran yang ada pada Pasal 156a KUHP. Baik unsur menyatakan permusuhan atau kebencian, penodaan terhadap suatu agama dan dilakukan di depan umum. Pujian atas independensi majelis hakim ini dalam bertindak tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri khususnya dari kaum muslimin di mancanegara.
Selama ini sikap skeptis masyarakat cukup beralasan. Sejak awal dilaporkan ke polisi, Ahok tidak ditahan. Padahal para penista agama sebelumnya langsung saja ditahan, baru kemudian diadili. Kenapa Ahok mendapat perlakuan istimewa? Begitu juga saat kasus dinyatakan P-21 (berkas lengkap), jaksa penuntut umum (JPU) juga tidak menahannya, kemudian dalam hitungan jam JPU langsung mendaftarkan berkasnya ke PN Jakut. Kesannya kasus ini bagaikan bola panas membara jika dipegang terlalu lama oleh aparat penegak hukum.
Rasa keadilan masyarakat pun terluka. Harapan masyarakat satu-satunya hanyalah majelis hakim sebagai gerbang terakhir penegakan hukum. Kini, walau dijatuhi hukuman dua tahun penjara tapi langsung dipenjara, sebagian besar masyarakat merasa terobati rasa kecewanya selama ini yang berbulan-bulan mengikuti masa persidangan yang seolah bagaikan panggung sandiwara, karena biasanya untuk kasus yang sama cukup 3 atau 4 kali persidangan saja.
Vonis dua tahun itu memang bersifat ultrapetita, yaitu vonis melebihi tuntutan JPU yang hanya satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Ketentuan yang melarang ultrapetita itu hanya berlaku untuk perkara perdata yang diatur pada Pasal 178 (2) HIR. Sementara untuk kasus pidana, hakim secara independen tidak perlu tunduk pada ketentuan tersebut guna mewujudkan rasa keadilan masyarakat sebagaimana maksud-tujuan diadakan UU tersebut.
Dampak Perbuatan Ahok
Sebagaimana kita tahu, multiplier effect yang ditimbulkan perbuatan Ahok selama ini memang tidak sedikit. Masyarakat seakan terpecah ada yang pro dan kontra Ahok. Rusaknya rasa kesatuan dan persatuan sesama anak bangsa. Semakin menipisnya rasa nasionalisme masyarakat yang selama ini dikenal sangat patriotik dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tanpa pamrih, tercabiknya rasa kerukunan dan sopan santun dalam bertutur kata di masyarakat. Siapa yang meniup angin maka pantaslah dia menerima badai. Tangan mencincang bahu memikul. Dengan berpikir positif, kita berharap vonis yang telah dijatuhkan ini bisa merekat kembali keretakan atau menjahit perpecahan yang tercabik.
Menyikapi Vonis
Bagi teman-teman pendukung Ahok yang selama ini mengidolakan jagoannya agar terbebas dari jerat hukum, bisa dipahami jika kecewa. Kalau vonis dirasa kurang adil, masih banyak upaya hukum untuk diperjuangkan. Banding atau kasasi salah satu di antaranya, selain peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa. Vonis yang menghukum Ahok bukan berarti esok hari Jakarta akan kiamat, melainkan hanya ”the show must go on.” Untuk sementara, satu permasalahan hukum sudah selesai. Mari berkemas untuk menapak masa depan Jakarta yang lebih baik pascakasus Ahok, bersama pemimpin yang bisa diterima mayoritas masyarakat Jakarta.
Sebagai umat beragama, semestinya kita berpikir bahwa tidak ada ”suatu peristiwa terjadi secara kebetulan” melainkan hal itu terjadi atas kehendak dari Tuhan Yang Mahakuasa. Sebutir debu pun tidak akan berpindah tempat jika tidak diterbangkan angin dan begitulah selanjutnya.
Bagi kaum muslimin, tidak ada hal yang perlu dirayakan untuk vonis tersebut, tetapi harus bisa mengambil hikmah daripadanya. Karena suatu sikap arogansi dalam kepemimpinan serta memaksakan kehendak demi mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, termasuk mencoba mengadu domba umat Islam dengan menghinakan kitab suci Alquran sehingga menimbulkan pro-kontra di antara mereka bukanlah suatu perbuatan yang baik.
Untuk menyikapi gerakan Ahok ini, umat Islam sudah di posisi yang tepat tanpa harus terpancing emosional dan berujung perang saudara. Aksi damai berkali-kali dengan menyuarakan kebenaran tanpa merusak lingkungan sekitar dirasa cukup tepat. Karena Allah SWT memerintahkan agar berusaha mengatasi masalah tersebut sesuai tingkat keimanan yang kita miliki masing-masing dan setelah itu berserah dirilah kepada Allah SWT.
Dan itu dialami Ahok dalam beberapa momentum terakhir. Proyek reklamasi Jakarta yang dibanggakannya dibatalkan PTUN Jakarta, kalah di Pilkada DKI Jakarta pada 19 April 2017 yang tidak pernah dia perkirakan sebelumnya, kemudian divonis dua tahun penjara dan langsung ditahan pada 9 Mei 2017, dan lain-lain.
Maka itu, mari kita ambil hikmah dari semua peristiwa di atas. Tidak perlu mengolok-olok kebenaran Alquran. Sang pencipta Tuhan YME akan murka jika hasil karyanya dinodai/ dihina. Mungkin akan lebih elegan jika kita saling jaga dan menghormati keimanan seseorang sesuai keyakinannya. ”Lakum dinukum waliyadin” bagiku agamaku dan bagimu agamamu, aku tidak menyembah Tuhan yang kamu sembah dan engkau tidak menyembah Tuhan yang kami sembah.
Praktisi Hukum di Jakarta
TEKA-TEKI yang selama ini mengambang, terjawab sudah! Majelis hakim yang diketuai Ketua PN Jakut Dwiarso Budi Santiarto dengan mantap tanpa ragu mengetukkan palu, dua tahun penjara dan langsung masuk penjara untuk Ahok yang dinilai menista agama. Ahok terbukti bersalah, memenuhi semua unsur pelanggaran yang ada pada Pasal 156a KUHP. Baik unsur menyatakan permusuhan atau kebencian, penodaan terhadap suatu agama dan dilakukan di depan umum. Pujian atas independensi majelis hakim ini dalam bertindak tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri khususnya dari kaum muslimin di mancanegara.
Selama ini sikap skeptis masyarakat cukup beralasan. Sejak awal dilaporkan ke polisi, Ahok tidak ditahan. Padahal para penista agama sebelumnya langsung saja ditahan, baru kemudian diadili. Kenapa Ahok mendapat perlakuan istimewa? Begitu juga saat kasus dinyatakan P-21 (berkas lengkap), jaksa penuntut umum (JPU) juga tidak menahannya, kemudian dalam hitungan jam JPU langsung mendaftarkan berkasnya ke PN Jakut. Kesannya kasus ini bagaikan bola panas membara jika dipegang terlalu lama oleh aparat penegak hukum.
Rasa keadilan masyarakat pun terluka. Harapan masyarakat satu-satunya hanyalah majelis hakim sebagai gerbang terakhir penegakan hukum. Kini, walau dijatuhi hukuman dua tahun penjara tapi langsung dipenjara, sebagian besar masyarakat merasa terobati rasa kecewanya selama ini yang berbulan-bulan mengikuti masa persidangan yang seolah bagaikan panggung sandiwara, karena biasanya untuk kasus yang sama cukup 3 atau 4 kali persidangan saja.
Vonis dua tahun itu memang bersifat ultrapetita, yaitu vonis melebihi tuntutan JPU yang hanya satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Ketentuan yang melarang ultrapetita itu hanya berlaku untuk perkara perdata yang diatur pada Pasal 178 (2) HIR. Sementara untuk kasus pidana, hakim secara independen tidak perlu tunduk pada ketentuan tersebut guna mewujudkan rasa keadilan masyarakat sebagaimana maksud-tujuan diadakan UU tersebut.
Dampak Perbuatan Ahok
Sebagaimana kita tahu, multiplier effect yang ditimbulkan perbuatan Ahok selama ini memang tidak sedikit. Masyarakat seakan terpecah ada yang pro dan kontra Ahok. Rusaknya rasa kesatuan dan persatuan sesama anak bangsa. Semakin menipisnya rasa nasionalisme masyarakat yang selama ini dikenal sangat patriotik dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tanpa pamrih, tercabiknya rasa kerukunan dan sopan santun dalam bertutur kata di masyarakat. Siapa yang meniup angin maka pantaslah dia menerima badai. Tangan mencincang bahu memikul. Dengan berpikir positif, kita berharap vonis yang telah dijatuhkan ini bisa merekat kembali keretakan atau menjahit perpecahan yang tercabik.
Menyikapi Vonis
Bagi teman-teman pendukung Ahok yang selama ini mengidolakan jagoannya agar terbebas dari jerat hukum, bisa dipahami jika kecewa. Kalau vonis dirasa kurang adil, masih banyak upaya hukum untuk diperjuangkan. Banding atau kasasi salah satu di antaranya, selain peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa. Vonis yang menghukum Ahok bukan berarti esok hari Jakarta akan kiamat, melainkan hanya ”the show must go on.” Untuk sementara, satu permasalahan hukum sudah selesai. Mari berkemas untuk menapak masa depan Jakarta yang lebih baik pascakasus Ahok, bersama pemimpin yang bisa diterima mayoritas masyarakat Jakarta.
Sebagai umat beragama, semestinya kita berpikir bahwa tidak ada ”suatu peristiwa terjadi secara kebetulan” melainkan hal itu terjadi atas kehendak dari Tuhan Yang Mahakuasa. Sebutir debu pun tidak akan berpindah tempat jika tidak diterbangkan angin dan begitulah selanjutnya.
Bagi kaum muslimin, tidak ada hal yang perlu dirayakan untuk vonis tersebut, tetapi harus bisa mengambil hikmah daripadanya. Karena suatu sikap arogansi dalam kepemimpinan serta memaksakan kehendak demi mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, termasuk mencoba mengadu domba umat Islam dengan menghinakan kitab suci Alquran sehingga menimbulkan pro-kontra di antara mereka bukanlah suatu perbuatan yang baik.
Untuk menyikapi gerakan Ahok ini, umat Islam sudah di posisi yang tepat tanpa harus terpancing emosional dan berujung perang saudara. Aksi damai berkali-kali dengan menyuarakan kebenaran tanpa merusak lingkungan sekitar dirasa cukup tepat. Karena Allah SWT memerintahkan agar berusaha mengatasi masalah tersebut sesuai tingkat keimanan yang kita miliki masing-masing dan setelah itu berserah dirilah kepada Allah SWT.
Dan itu dialami Ahok dalam beberapa momentum terakhir. Proyek reklamasi Jakarta yang dibanggakannya dibatalkan PTUN Jakarta, kalah di Pilkada DKI Jakarta pada 19 April 2017 yang tidak pernah dia perkirakan sebelumnya, kemudian divonis dua tahun penjara dan langsung ditahan pada 9 Mei 2017, dan lain-lain.
Maka itu, mari kita ambil hikmah dari semua peristiwa di atas. Tidak perlu mengolok-olok kebenaran Alquran. Sang pencipta Tuhan YME akan murka jika hasil karyanya dinodai/ dihina. Mungkin akan lebih elegan jika kita saling jaga dan menghormati keimanan seseorang sesuai keyakinannya. ”Lakum dinukum waliyadin” bagiku agamaku dan bagimu agamamu, aku tidak menyembah Tuhan yang kamu sembah dan engkau tidak menyembah Tuhan yang kami sembah.
(mhd)