Memaknai Menang dan Kalah
A
A
A
Alaiddin Koto
Guru Besar UIN Sutan Syarif Kasim (Suska) Riau
MASYARAKAT Jakarta baru saja selesai melaksanakan pilkada untuk memilih gubernur, pemimpin Jakarta periode 2017-2022. Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno meraih suara terbanyak.
Masyarakat berbondong-bondong memberikan ucapan selamat kepada pasangan nomor urut tiga itu pada pemilihan kepala daerah terberat sepanjang sejarah negara dan bangsa Indonesia ini. Kita pun mengucapkan hal yang sama kepada mereka, sebuah ucapan yang pada hakikatnya memberi beban amanah untuk mereka pikul selama lima tahun ke depan.
Mereka disebut "pemenang," memenangkan "pertarungan sengit" dengan melibatkan semua potensi yang dimiliki: tenaga, waktu, dana, dan bahkan mungkin juga harga diri. Begitu beratnya perjuangan itu, wajar saja, sebagai manusia, muncul perasaan senang, lega, gembira, atau mungkin saja "lupa diri" sesaat. Adalah hal yang wajar sekali bila para pendukung yang telah bertungkuslumus sekian lama menghadapi begitu besarnya tantangan dan godaan ikut merasa senang dan menang. Tetapi, merekakah pemenang yang sesungguhnya?
Inilah pertanyaan mendasar yang perlu dipikirkan oleh siapa saja yang kini masih hidup di dunia, terutama oleh setiap diri yang merasa menang dalam perjuangan apa pun bentuknya, karena pada prinsipnya istilah menang atau kalah hanya ada dalam permainan, dan pertarungan adalah bagian dari permainan itu juga.
Lalu, pantaskah Anies-Sandi disebut pemenang dan Ahok-Djarot sebagai pihak kalah dalam pilkada itu? Sebagai sebuah permainan, tentu saja mereka pantas diberi julukan seperti itu. Tetapi apakah mereka menang dalam arti yang sebenarnya ?
Saya pikir belum. Kemenangan mereka bukan kemenangan yang sesungguhnya. Ini adalah kemenangan semu dan sangat sementara. Bila yang kalah berhenti di saat kalah, sementara yang menang harus memasuki pertarungan baru untuk mempertaruhkan integritas dirinya dalam memperjuangkan amanah rakyat yang ia raih di pilkada itu.
Mereka akan memasuki etape-etape berikut yang semakin berat dan melelahkan, sehingga diperlukan pengorbanan dan energi semakin banyak lagi. Mereka boleh saja menang dalam arti meraih suara terbanyak saat pemilihan, tetapi belum tentu bisa menang dalam memperjuangkan nasib rakyat yang telah memberikan amanah penuh harap kepada mereka. Oleh sebab itu, bila yang terjadi adalah sebaliknya maka mereka adalah orang yang kalah melalui kemenangannya.
***
Lalu, siapakah pemenang yang sesungguhnya itu? Ibarat sebuah permainan, hakikat permainan adalah hidup di dunia fana. Begitu Allah menyebutnya dalam Alquran.
Bila kalah dan menang hanya ada di ujung atau di akhir permainan, maka kekalahan atau kemenangan seseorang hanya ada di ujung atau di akhir kehidupannya itu sendiri, husnul khatimah . Oleh sebab itu, tidak ada kata menang atau kata kalah secara hakiki bila kita masih berada di dunia.
Yang ada hanya kumpulan poin-poin yang diraih untuk dihitung oleh hakim atau wasit yang memimpin pertandingan di dunia, bukan pada saat keputusan hakim yang terakhir, yaitu pengadilan di muka hakim yang tidak ada lagi hakim setelah itu, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka, Anies-Sandi yang meraih suara terbanyak tidaklah bisa disebut sebagai pemenang dalam arti hakikatnya. Mereka hanya boleh disebut sebagai pemenang sementara.
Pemenang yang sesungguhnya dan untuk selamanya adalah yang diputuskan sebagai pemenang oleh Yang Mahaadil di akhirat kelak, kemenangan yang tidak ada lagi kekalahan setelah itu. Hadiahnya bukan kursi jabatan gubernur, tetapi istana abadi di dalam surga.
Oleh sebab itu, Anies-Sandi yang kini disebut sebagai pemenang, bisa jadi kemudian disebut kalah bila ia gagal meraih poin-poin kemenangan setelah menduduki kursi gubernur atau wakil gubernur. Ia akan disebut dan divonis kalah, bila janji-janji yang telah diucapkan kepada rakyat dilupakan atau bahkan diingkari.
Divonis kalah bila jabatan yang disandang dianggap sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan, bukan sebagai amanah yang harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan. Juga bila popularitas dan nama yang disandang membuatnya sombong dan lupa diri.
Serta bila di "belakang meja" bermain mata dengan para pencinta harta, pemabuk kuasa, permainkan agama dan penindas rakyat jelata. Mereka akan menjadi orang kalah yang hina dan sulit untuk kembali meraih mulia di mata manusia, apalagi di mata Yang Mahamulia.
Begitu pun seterusnya, bila semua itu tidak segera diperbaiki menjelang akhir permainan (hidup), maka jadilah mereka sebagai orang yang kalah selama-lamanya di alam baka, yaitu kekalahan yang tidak ada lagi kemenangan setelah itu.
Namun, bila sebaliknya yang dilakukan: jabatan dimaknai sebagai jihad di jalan ilahi; janji ditepati kepada semua anak negeri; amanah ditunaikan dengan sepenuh hati; menjauhi kemewahan duniawi senjata iblis yang busuk hati; memimpin dengan tawaduk dan rendah hati; menjaga jarak dari pembisik yang akan membuat lupa diri dan berhati dengki, maka kemenangan sementara yang diraih hari akan mengantarkan mereka menjadi pemenang hakiki yang abadi di akhirat nanti.
Kemudian, sebaliknya, Ahok-Djarot juga hanya kalah sementara, bukan kalah dalam arti sesungguhnya dan selamanya. Kekalahan yang dialaminya hari ini bisa jadi menjadi pemicu untuk merenung dan mengoreksi diri.
Ahok akan berkontemplasi, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahasuci. Ia jadikan kekalahan sebagai teguran Tuhan akibat arogansi atau keteledoran yang mungkin tanpa disadari terumbar sedemikian masif. Ia berbalik ke belakang, bertobat, dan berubah menjadi orang yang lebih baik dan taat kepada Tuhan.
Guru Besar UIN Sutan Syarif Kasim (Suska) Riau
MASYARAKAT Jakarta baru saja selesai melaksanakan pilkada untuk memilih gubernur, pemimpin Jakarta periode 2017-2022. Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno meraih suara terbanyak.
Masyarakat berbondong-bondong memberikan ucapan selamat kepada pasangan nomor urut tiga itu pada pemilihan kepala daerah terberat sepanjang sejarah negara dan bangsa Indonesia ini. Kita pun mengucapkan hal yang sama kepada mereka, sebuah ucapan yang pada hakikatnya memberi beban amanah untuk mereka pikul selama lima tahun ke depan.
Mereka disebut "pemenang," memenangkan "pertarungan sengit" dengan melibatkan semua potensi yang dimiliki: tenaga, waktu, dana, dan bahkan mungkin juga harga diri. Begitu beratnya perjuangan itu, wajar saja, sebagai manusia, muncul perasaan senang, lega, gembira, atau mungkin saja "lupa diri" sesaat. Adalah hal yang wajar sekali bila para pendukung yang telah bertungkuslumus sekian lama menghadapi begitu besarnya tantangan dan godaan ikut merasa senang dan menang. Tetapi, merekakah pemenang yang sesungguhnya?
Inilah pertanyaan mendasar yang perlu dipikirkan oleh siapa saja yang kini masih hidup di dunia, terutama oleh setiap diri yang merasa menang dalam perjuangan apa pun bentuknya, karena pada prinsipnya istilah menang atau kalah hanya ada dalam permainan, dan pertarungan adalah bagian dari permainan itu juga.
Lalu, pantaskah Anies-Sandi disebut pemenang dan Ahok-Djarot sebagai pihak kalah dalam pilkada itu? Sebagai sebuah permainan, tentu saja mereka pantas diberi julukan seperti itu. Tetapi apakah mereka menang dalam arti yang sebenarnya ?
Saya pikir belum. Kemenangan mereka bukan kemenangan yang sesungguhnya. Ini adalah kemenangan semu dan sangat sementara. Bila yang kalah berhenti di saat kalah, sementara yang menang harus memasuki pertarungan baru untuk mempertaruhkan integritas dirinya dalam memperjuangkan amanah rakyat yang ia raih di pilkada itu.
Mereka akan memasuki etape-etape berikut yang semakin berat dan melelahkan, sehingga diperlukan pengorbanan dan energi semakin banyak lagi. Mereka boleh saja menang dalam arti meraih suara terbanyak saat pemilihan, tetapi belum tentu bisa menang dalam memperjuangkan nasib rakyat yang telah memberikan amanah penuh harap kepada mereka. Oleh sebab itu, bila yang terjadi adalah sebaliknya maka mereka adalah orang yang kalah melalui kemenangannya.
***
Lalu, siapakah pemenang yang sesungguhnya itu? Ibarat sebuah permainan, hakikat permainan adalah hidup di dunia fana. Begitu Allah menyebutnya dalam Alquran.
Bila kalah dan menang hanya ada di ujung atau di akhir permainan, maka kekalahan atau kemenangan seseorang hanya ada di ujung atau di akhir kehidupannya itu sendiri, husnul khatimah . Oleh sebab itu, tidak ada kata menang atau kata kalah secara hakiki bila kita masih berada di dunia.
Yang ada hanya kumpulan poin-poin yang diraih untuk dihitung oleh hakim atau wasit yang memimpin pertandingan di dunia, bukan pada saat keputusan hakim yang terakhir, yaitu pengadilan di muka hakim yang tidak ada lagi hakim setelah itu, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka, Anies-Sandi yang meraih suara terbanyak tidaklah bisa disebut sebagai pemenang dalam arti hakikatnya. Mereka hanya boleh disebut sebagai pemenang sementara.
Pemenang yang sesungguhnya dan untuk selamanya adalah yang diputuskan sebagai pemenang oleh Yang Mahaadil di akhirat kelak, kemenangan yang tidak ada lagi kekalahan setelah itu. Hadiahnya bukan kursi jabatan gubernur, tetapi istana abadi di dalam surga.
Oleh sebab itu, Anies-Sandi yang kini disebut sebagai pemenang, bisa jadi kemudian disebut kalah bila ia gagal meraih poin-poin kemenangan setelah menduduki kursi gubernur atau wakil gubernur. Ia akan disebut dan divonis kalah, bila janji-janji yang telah diucapkan kepada rakyat dilupakan atau bahkan diingkari.
Divonis kalah bila jabatan yang disandang dianggap sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan, bukan sebagai amanah yang harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan. Juga bila popularitas dan nama yang disandang membuatnya sombong dan lupa diri.
Serta bila di "belakang meja" bermain mata dengan para pencinta harta, pemabuk kuasa, permainkan agama dan penindas rakyat jelata. Mereka akan menjadi orang kalah yang hina dan sulit untuk kembali meraih mulia di mata manusia, apalagi di mata Yang Mahamulia.
Begitu pun seterusnya, bila semua itu tidak segera diperbaiki menjelang akhir permainan (hidup), maka jadilah mereka sebagai orang yang kalah selama-lamanya di alam baka, yaitu kekalahan yang tidak ada lagi kemenangan setelah itu.
Namun, bila sebaliknya yang dilakukan: jabatan dimaknai sebagai jihad di jalan ilahi; janji ditepati kepada semua anak negeri; amanah ditunaikan dengan sepenuh hati; menjauhi kemewahan duniawi senjata iblis yang busuk hati; memimpin dengan tawaduk dan rendah hati; menjaga jarak dari pembisik yang akan membuat lupa diri dan berhati dengki, maka kemenangan sementara yang diraih hari akan mengantarkan mereka menjadi pemenang hakiki yang abadi di akhirat nanti.
Kemudian, sebaliknya, Ahok-Djarot juga hanya kalah sementara, bukan kalah dalam arti sesungguhnya dan selamanya. Kekalahan yang dialaminya hari ini bisa jadi menjadi pemicu untuk merenung dan mengoreksi diri.
Ahok akan berkontemplasi, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahasuci. Ia jadikan kekalahan sebagai teguran Tuhan akibat arogansi atau keteledoran yang mungkin tanpa disadari terumbar sedemikian masif. Ia berbalik ke belakang, bertobat, dan berubah menjadi orang yang lebih baik dan taat kepada Tuhan.
(poe)