Jangan Biarkan Hukum Rimba Diterapkan di LP
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/ Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
HAMPIR semua lembaga pemasyarakatan (LP) atau penjara di Tanah Air gagal membina narapidana. Dinamika kehidupan di penjara demikian keras karena negara membiarkan diterapkannya hukum rimba di lingkungan penjara. Fakta ini patut digarisbawahi Kementerian Hukum dan HAM.
Sudah waktunya kebobrokan manajemen LP mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, menyusul rentetan kerusuhan di dalam LP sejak Januari 2017. Kerusuhan beruntun pada sejumlah LP pada akhirnya mencerminkan potret perlakuan negara terhadap hak asasi para narapidana.
Klaim tentang Indonesia negara hukum dan negara demokrasi ketiga terbesar akan kehilangan makna jika komunitas internasional tahu tentang bagaimana negara ini memperlakukan komunitas narapidana pada hampir semua LP di Tanah Air.
Ketika masyarakat harus menyimak berita tentang kerusuhan dan pelarian ratusan narapidana dari LP Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau, baru-baru ini, menjadi wajar jika masyarakat mempersoalkan apa saja kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (PAS) Kementerian Hukum dan HAM sehingga kerusuhan di LP terus dan terus terjadi.
Jumat, 5 Mei 2017 siang, kerusuhan terjadi di LP Sialang Bungkuk. Sejumlah tahanan kabur. Sebelum melarikan diri, para penghuni LP rusuh dan menuntut perbaikan fasilitas LP. Namun, Polda Riau menduga persoalan pungutan liar juga memicu kemarahan penghuni LP. Pungli diduga dilakukan oknum sipir.
Sehari sebelumnya atau Kamis (4/5), kerusuhan juga terjadi di LP Bentiring, Bengkulu. Ratusan narapidana terlibat bentrok fisik di blok tindak pidana narkoba. Dan awal Maret 2017, di LP Kelas II A Jambi juga rusuh. Ratusan narapidana membakar sejumlah bangunan di dalam LP. Puluhan napi wanita pun terpaksa dievakuasi ke Rumah Tahanan (rutan) Imigrasi.
Masih Maret, kerusuhan kembali terjadi di LP Idi Rayeuk, Aceh Timur. Para penghuni lapas mengamuk karena mendapat jatah makanan tidak layak. Pada pekan kedua Februari 2017, LP Kelas 2 A Binjai juga dilanda kerusuhan.
Sejumlah anggota Satreskrim Polres Binjai dilempari dan sempat disandera oleh ratusan narapidana di LP itu. Pelemparan dan penyanderaan terjadi saat anggota Satreskrim Polres Binjai ingin memeriksa seorang narapidana kasus perampokan.
Dari rentetan kerusuhan itu, penjelasan resmi Kemenkumham tentang sebab musabab kerusuhan nyaris sama saja, yakni LP yang kelebihan kapasitas. Penjelasan itu memang tidak salah. Misalnya LP Sialang Bungkuk di Riau dihuni 1.870 tahanan, sedangkan daya tampung maksimalnya hanya 300 tahanan.
Akan tetapi, penjelasan ini tidak baru, bahkan terkesan seperti keluhan. Pasalnya, faktor kelebihan penghuni LP adalah masalah atau isu lama yang sudah menjadi catatan publik, jauh sebelum peristiwa rusuh di LP Banceuy, Bandung serta peristiwa rusuh LP Kerobokan di Denpasar, Bali, 2016. Logikanya, masalah kelebihan kapasitas itu seharusnya sudah ditangani pada tahun-tahun terakhir ini.
Maka itu, rusuh di LP Sialang Bungkuk menjadi bukti bahwa masalah kelebihan kapasitas LP belum ditangani sebagaimana mestinya. Akibat yang ditimbulkan oleh masalah kelebihan penghuni LP itu bisa diprediksikan. Ketidaknyamanan karena berdesak-desakan, kekurangan air bersih, hingga faktor makanan yang boleh jadi tidak layak.
Dalam kondisi yang demikian karut-marut, para oknum sipir LP bisa terdorong untuk berperilaku tidak terpuji. Kecenderungan ini terkonfirmasi oleh dugaan Polda Riau tentang faktor pungli dalam LP sebagai penyebab lain yang ikut memicu kerusuhan.
Tentang pungli di LP, masyarakat pun sudah tahu karena banyak di antaranya yang menjadi korban pungli itu. Hampir semua orang tahu bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur biaya untuk menjenguk narapidana atau tersangka. Namun, dalam praktiknya, selalu ada pungutan untuk bisa menjenguk narapidana atau tersangka yang ditahan.
Pungli dan Penindasan
Selama ini, masyarakat melihat dan memahami LP sebagai tempat membina narapidana. Dibina sedemikian rupa agar siap menjadi pribadi yang menyadari kesalahannya; terdorong memperbaiki kualitas diri dan berkomitmen tidak mengulangi tindak pidana. Ketika tiba waktunya, narapidana boleh kembali ke tengah masyarakat, menjadi warga yang taat hukum dan norma-norma sosial. Kurang lebih seperti itulah tujuan tertulis tentang fungsi LP.
Dalam praktiknya, LP nyaris tidak menjalankan fungsi pembinaan itu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penjara menjadi tempat bagi para oknum melakukan pungutan liar. Sejumlah modus dibuat untuk membebani narapidana dan keluarganya.
Ada banyak dan ragam kisah tentang bagaimana narapidana dan keluarganya harus mengeluarkan biaya ekstra hanya untuk sekadar dapat bertemu di waktu berkunjung. Demikian beratnya tekanan itu sehingga ada narapidana yang memohon kepada keluarga dan koleganya untuk tidak membesuk.
Bagi narapidana pada umumnya, kehidupan di penjara tidak hanya memprihatinkan tetapi juga mengerikan. Sebab, sehari-harinya berlaku hukum rimba. Kekuasaan ada pada narapidana yang kuat dan kaya. Narapidana berduit boleh bertindak semaunya, termasuk mengatur atau mengendalikan oknum sipir.
Dari situ, muncul potret tentang perbedaan perlakuan itu. Ini pun bukan rahasia. Tentang perbedaan perlakuan itu, muncul kesan bahwa pimpinan LP melakukan pembiaran. Sebenarnya bukan pembiaran, tetapi perbedaan perlakuan itu memang dibuat agar para oknum sipir punya "penghasilan" tambahan.
Dengan praktik sehari-hari seperti itu, LP otomatis sudah kehilangan fungsi pembinaannya. Sebaliknya, para oknum sipir melakukan pelanggaran hukum dan bentuk kejahatan lainnya di dalam LP. Kejahatan yang disaksikan dan dirasakan langsung oleh para narapidana.
Kejahatan oleh para oknum sipir itu pada gilirannya akan membentuk persepsi di benak narapidana bahwa LP bukanlah wadah pembinaan. Penyimpangan manajemen LP justru menindas narapidana yang lemah.
Apa yang akan terjadi ketika puluhan atau ratusan orang merasa ditindas oleh segelintir narapidana kaya bekerja sama dengan sejumlah oknum sipir LP? Mereka akan merencanakan dan melakukan perlawanan pada waktunya.
Itulah faktor penyebab mengapa banyak LP dilanda kerusuhan. Tanpa bermaksud memberi pembenaran terhadap pelaku kerusuhan di LP, kerusuhan itu harus dipahami sebagai pemberontakan para narapidana karena penindasan oleh oknum sipir LP yang menerapkan beda perlakuan itu.
Pada 2016, jumlah narapidana tercatat sekitar 173.713 orang. Tahun ini jumlahnya diperkirakan sudah mencapai 190.000 narapidana yang ditempatkan pada 477 LP dan rumah tahanan lainnya.
Pemerintah tentu harus memperluas daya tampung semua LP. Tujuannya bukan sekadar memberi kenyamanan kepada narapidana, melainkan agar fungsi pembinaan LP bisa berjalan sebagaimana seharusnya.
Perluasan daya tampung LP saja tidak cukup. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah meluruskan moral pengendali manajemen LP. Kemenkumham harus merumuskan strategi yang efektif untuk memerangi pungli dan pemerasan narapidana di dalam LP. Manajemen LP harus manusiawi agar kerja membina narapidana mendapat respons positif dari narapidana.
Rentetan kerusuhan di LP membuat masyarakat prihatin, sebab setiap kali terjadi kerusuhan di LP, Kementerian Hukum dan HAM hanya bisa mengeluh dan mengeluh, nyaris tidak pernah menawarkan atau memberi solusi. Kelebihan kapasitas di LP itu mestinya sudah ditangani.
Dalam kapasitasnya sebagai regulator, Kemenkumham sudah berperilaku tidak etis karena terus mengeluh. Kemenkumham seharusnya menawarkan dan berani mengeksekusi program pembenahan dan perluasan daya tampung LP.
Namun, Kemenkumham sejauh ini belum bekerja maksimal membenahi LP. Ini menjadi bukti untuk menilai buruknya kinerja Kemenkumham dalam konteks pembenahan LP.
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/ Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
HAMPIR semua lembaga pemasyarakatan (LP) atau penjara di Tanah Air gagal membina narapidana. Dinamika kehidupan di penjara demikian keras karena negara membiarkan diterapkannya hukum rimba di lingkungan penjara. Fakta ini patut digarisbawahi Kementerian Hukum dan HAM.
Sudah waktunya kebobrokan manajemen LP mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, menyusul rentetan kerusuhan di dalam LP sejak Januari 2017. Kerusuhan beruntun pada sejumlah LP pada akhirnya mencerminkan potret perlakuan negara terhadap hak asasi para narapidana.
Klaim tentang Indonesia negara hukum dan negara demokrasi ketiga terbesar akan kehilangan makna jika komunitas internasional tahu tentang bagaimana negara ini memperlakukan komunitas narapidana pada hampir semua LP di Tanah Air.
Ketika masyarakat harus menyimak berita tentang kerusuhan dan pelarian ratusan narapidana dari LP Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau, baru-baru ini, menjadi wajar jika masyarakat mempersoalkan apa saja kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (PAS) Kementerian Hukum dan HAM sehingga kerusuhan di LP terus dan terus terjadi.
Jumat, 5 Mei 2017 siang, kerusuhan terjadi di LP Sialang Bungkuk. Sejumlah tahanan kabur. Sebelum melarikan diri, para penghuni LP rusuh dan menuntut perbaikan fasilitas LP. Namun, Polda Riau menduga persoalan pungutan liar juga memicu kemarahan penghuni LP. Pungli diduga dilakukan oknum sipir.
Sehari sebelumnya atau Kamis (4/5), kerusuhan juga terjadi di LP Bentiring, Bengkulu. Ratusan narapidana terlibat bentrok fisik di blok tindak pidana narkoba. Dan awal Maret 2017, di LP Kelas II A Jambi juga rusuh. Ratusan narapidana membakar sejumlah bangunan di dalam LP. Puluhan napi wanita pun terpaksa dievakuasi ke Rumah Tahanan (rutan) Imigrasi.
Masih Maret, kerusuhan kembali terjadi di LP Idi Rayeuk, Aceh Timur. Para penghuni lapas mengamuk karena mendapat jatah makanan tidak layak. Pada pekan kedua Februari 2017, LP Kelas 2 A Binjai juga dilanda kerusuhan.
Sejumlah anggota Satreskrim Polres Binjai dilempari dan sempat disandera oleh ratusan narapidana di LP itu. Pelemparan dan penyanderaan terjadi saat anggota Satreskrim Polres Binjai ingin memeriksa seorang narapidana kasus perampokan.
Dari rentetan kerusuhan itu, penjelasan resmi Kemenkumham tentang sebab musabab kerusuhan nyaris sama saja, yakni LP yang kelebihan kapasitas. Penjelasan itu memang tidak salah. Misalnya LP Sialang Bungkuk di Riau dihuni 1.870 tahanan, sedangkan daya tampung maksimalnya hanya 300 tahanan.
Akan tetapi, penjelasan ini tidak baru, bahkan terkesan seperti keluhan. Pasalnya, faktor kelebihan penghuni LP adalah masalah atau isu lama yang sudah menjadi catatan publik, jauh sebelum peristiwa rusuh di LP Banceuy, Bandung serta peristiwa rusuh LP Kerobokan di Denpasar, Bali, 2016. Logikanya, masalah kelebihan kapasitas itu seharusnya sudah ditangani pada tahun-tahun terakhir ini.
Maka itu, rusuh di LP Sialang Bungkuk menjadi bukti bahwa masalah kelebihan kapasitas LP belum ditangani sebagaimana mestinya. Akibat yang ditimbulkan oleh masalah kelebihan penghuni LP itu bisa diprediksikan. Ketidaknyamanan karena berdesak-desakan, kekurangan air bersih, hingga faktor makanan yang boleh jadi tidak layak.
Dalam kondisi yang demikian karut-marut, para oknum sipir LP bisa terdorong untuk berperilaku tidak terpuji. Kecenderungan ini terkonfirmasi oleh dugaan Polda Riau tentang faktor pungli dalam LP sebagai penyebab lain yang ikut memicu kerusuhan.
Tentang pungli di LP, masyarakat pun sudah tahu karena banyak di antaranya yang menjadi korban pungli itu. Hampir semua orang tahu bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur biaya untuk menjenguk narapidana atau tersangka. Namun, dalam praktiknya, selalu ada pungutan untuk bisa menjenguk narapidana atau tersangka yang ditahan.
Pungli dan Penindasan
Selama ini, masyarakat melihat dan memahami LP sebagai tempat membina narapidana. Dibina sedemikian rupa agar siap menjadi pribadi yang menyadari kesalahannya; terdorong memperbaiki kualitas diri dan berkomitmen tidak mengulangi tindak pidana. Ketika tiba waktunya, narapidana boleh kembali ke tengah masyarakat, menjadi warga yang taat hukum dan norma-norma sosial. Kurang lebih seperti itulah tujuan tertulis tentang fungsi LP.
Dalam praktiknya, LP nyaris tidak menjalankan fungsi pembinaan itu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penjara menjadi tempat bagi para oknum melakukan pungutan liar. Sejumlah modus dibuat untuk membebani narapidana dan keluarganya.
Ada banyak dan ragam kisah tentang bagaimana narapidana dan keluarganya harus mengeluarkan biaya ekstra hanya untuk sekadar dapat bertemu di waktu berkunjung. Demikian beratnya tekanan itu sehingga ada narapidana yang memohon kepada keluarga dan koleganya untuk tidak membesuk.
Bagi narapidana pada umumnya, kehidupan di penjara tidak hanya memprihatinkan tetapi juga mengerikan. Sebab, sehari-harinya berlaku hukum rimba. Kekuasaan ada pada narapidana yang kuat dan kaya. Narapidana berduit boleh bertindak semaunya, termasuk mengatur atau mengendalikan oknum sipir.
Dari situ, muncul potret tentang perbedaan perlakuan itu. Ini pun bukan rahasia. Tentang perbedaan perlakuan itu, muncul kesan bahwa pimpinan LP melakukan pembiaran. Sebenarnya bukan pembiaran, tetapi perbedaan perlakuan itu memang dibuat agar para oknum sipir punya "penghasilan" tambahan.
Dengan praktik sehari-hari seperti itu, LP otomatis sudah kehilangan fungsi pembinaannya. Sebaliknya, para oknum sipir melakukan pelanggaran hukum dan bentuk kejahatan lainnya di dalam LP. Kejahatan yang disaksikan dan dirasakan langsung oleh para narapidana.
Kejahatan oleh para oknum sipir itu pada gilirannya akan membentuk persepsi di benak narapidana bahwa LP bukanlah wadah pembinaan. Penyimpangan manajemen LP justru menindas narapidana yang lemah.
Apa yang akan terjadi ketika puluhan atau ratusan orang merasa ditindas oleh segelintir narapidana kaya bekerja sama dengan sejumlah oknum sipir LP? Mereka akan merencanakan dan melakukan perlawanan pada waktunya.
Itulah faktor penyebab mengapa banyak LP dilanda kerusuhan. Tanpa bermaksud memberi pembenaran terhadap pelaku kerusuhan di LP, kerusuhan itu harus dipahami sebagai pemberontakan para narapidana karena penindasan oleh oknum sipir LP yang menerapkan beda perlakuan itu.
Pada 2016, jumlah narapidana tercatat sekitar 173.713 orang. Tahun ini jumlahnya diperkirakan sudah mencapai 190.000 narapidana yang ditempatkan pada 477 LP dan rumah tahanan lainnya.
Pemerintah tentu harus memperluas daya tampung semua LP. Tujuannya bukan sekadar memberi kenyamanan kepada narapidana, melainkan agar fungsi pembinaan LP bisa berjalan sebagaimana seharusnya.
Perluasan daya tampung LP saja tidak cukup. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah meluruskan moral pengendali manajemen LP. Kemenkumham harus merumuskan strategi yang efektif untuk memerangi pungli dan pemerasan narapidana di dalam LP. Manajemen LP harus manusiawi agar kerja membina narapidana mendapat respons positif dari narapidana.
Rentetan kerusuhan di LP membuat masyarakat prihatin, sebab setiap kali terjadi kerusuhan di LP, Kementerian Hukum dan HAM hanya bisa mengeluh dan mengeluh, nyaris tidak pernah menawarkan atau memberi solusi. Kelebihan kapasitas di LP itu mestinya sudah ditangani.
Dalam kapasitasnya sebagai regulator, Kemenkumham sudah berperilaku tidak etis karena terus mengeluh. Kemenkumham seharusnya menawarkan dan berani mengeksekusi program pembenahan dan perluasan daya tampung LP.
Namun, Kemenkumham sejauh ini belum bekerja maksimal membenahi LP. Ini menjadi bukti untuk menilai buruknya kinerja Kemenkumham dalam konteks pembenahan LP.
(poe)