Peneliti LIPI Nilai Presidential Threshold Tak Relevan Lagi
A
A
A
JAKARTA - Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan sistem ambang batas presidensial (presidential threshold) berdasarkan perolehan suara 25 persen dan 20 kursi di parlemen dianggap tidak relevan lagi.
"Saya mulai dulu bahwa sistem presidensial lembaga presiden dan parlemen terpisah satu sama lain. Berbeda dengan parlementer. Maknanya keduanya basis legitimasi yang berbeda satu sama lain," katanya saat menghadiri diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5/2017).
Syam menuturkan, aturan ambang batas untuk pencalonan presiden yang bertepatan dengan pileg dan pilpres secara serentak, kemudian adanya batas pengusungan presiden berdasarkan minimal 20 kursi di parlemen dan 25 persen perolehan suara diambil dari periode lalu, dianggap tidak relavan.
"Bagi saya ambang batas pencalonan itu tidak relevan bukan soal 20, 0 persen, tapi memang tidak relevan. Bahwa ada usulan parpol supaya lebih rendah dan sebagainya itu hak politik parpol di dewan. Dari sistem tidak relevan," ucapnya.
"Solusinya adalah kenapa tidak relevan lagi kalau misalnya persyaratan 20 persen perolehan suara atau 25 perolehan suara. Parlemen ya belum ada yang ada DPR hadir 2014. Jadi tidak masuk akal kalau digunakan kembali. Solusinya adalah karena tidak relevan maka tidak berlakukan. Apakah partai baru boleh calonkan presiden? tidak boleh tidak adil," tambahnya.
Oleh karena itu, dalam pengusungan calon di Pemilihan Presiden 2019 tidak boleh "didikte" dengan perolehan suara atau kursi di parlemen pada 2014. Sebab jika menggunakan data pada periode lalu untuk digunakan sebagai syarat pilpres mendatang dianggap penyimpangan.
"Konsekuensinya pencalonan presiden tidak boleh didikte hasil pemilu parlemen. Bagi saya ambang batas pencalonan presiden adalah sesuatu yang sifatnya anomali menyimpang dalam sistem presidensial. Bukan hanya berlaku ketika pileg dan pilpres serentak, tapi juga berlaku jika tidak diserentakkan," tutupnya.
"Saya mulai dulu bahwa sistem presidensial lembaga presiden dan parlemen terpisah satu sama lain. Berbeda dengan parlementer. Maknanya keduanya basis legitimasi yang berbeda satu sama lain," katanya saat menghadiri diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5/2017).
Syam menuturkan, aturan ambang batas untuk pencalonan presiden yang bertepatan dengan pileg dan pilpres secara serentak, kemudian adanya batas pengusungan presiden berdasarkan minimal 20 kursi di parlemen dan 25 persen perolehan suara diambil dari periode lalu, dianggap tidak relavan.
"Bagi saya ambang batas pencalonan itu tidak relevan bukan soal 20, 0 persen, tapi memang tidak relevan. Bahwa ada usulan parpol supaya lebih rendah dan sebagainya itu hak politik parpol di dewan. Dari sistem tidak relevan," ucapnya.
"Solusinya adalah kenapa tidak relevan lagi kalau misalnya persyaratan 20 persen perolehan suara atau 25 perolehan suara. Parlemen ya belum ada yang ada DPR hadir 2014. Jadi tidak masuk akal kalau digunakan kembali. Solusinya adalah karena tidak relevan maka tidak berlakukan. Apakah partai baru boleh calonkan presiden? tidak boleh tidak adil," tambahnya.
Oleh karena itu, dalam pengusungan calon di Pemilihan Presiden 2019 tidak boleh "didikte" dengan perolehan suara atau kursi di parlemen pada 2014. Sebab jika menggunakan data pada periode lalu untuk digunakan sebagai syarat pilpres mendatang dianggap penyimpangan.
"Konsekuensinya pencalonan presiden tidak boleh didikte hasil pemilu parlemen. Bagi saya ambang batas pencalonan presiden adalah sesuatu yang sifatnya anomali menyimpang dalam sistem presidensial. Bukan hanya berlaku ketika pileg dan pilpres serentak, tapi juga berlaku jika tidak diserentakkan," tutupnya.
(maf)