Kualitas Pertumbuhan

Sabtu, 06 Mei 2017 - 08:14 WIB
Kualitas Pertumbuhan
Kualitas Pertumbuhan
A A A
BADAN Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal I/2017. Angkanya tidak bisa dikatakan menggembirakan walaupun juga tidak buruk.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di angka 5,01 sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka pada kuartal I/2016 yang sebesar 4,92, tetapi sedikit lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 yang sebesar 5,02.

Pemerintah patut diapresiasi untuk pencapaian ini walaupun seharusnya Indonesia bisa lebih maju lagi. Karena seperti disebutkan BPS, saat ini sedang ada tren perbaikan ekonomi global. Pemerintah jangan cepat berpuas diri karena angka ini jelas belum menggembirakan.

Saat ini kompetisi ekonomi antarnegara kian ketat. Lihat saja, sekalipun memang di antara negara anggota G-20 pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di posisi ketiga, Indonesia hanya menempati posisi keenam di Asia di bawah Kamboja yang tumbuh 7,00%, Filipina 6,84%, Laos 6,80%, Vietnam 6,68%, dan Myanmar 6,40%.

Dalam situasi itu, sayangnya Indonesia belum bisa memperbaiki masalah ketimpangan pembangunan ekonomi antardaerah. Berita mengenai perekonomian Indonesia yang sangat terpusat di Pulau Jawa bukanlah barang baru. Namun rilis ini menjadi konfirmasi terbaru mengenai masalah ini.

Sekalipun masih bisa mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, persebaran pertumbuhan ekonomi masih timpang. Kue produk domestik bruto (PDB) terbesar ada di Pulau Jawa dengan porsi 58,49% dari nilai total.

Selanjutnya kegiatan ekonomi kedua terbesar adalah di Sumatera dengan 21,95% diikuti Pulau Kalimantan 8,33%, Sulawesi 5,94%, Bali dan Nusa Tenggara 3,03%, serta Maluku dan Papua 2,36%.

Kualitas persebaran pertumbuhan ekonomi kian tidak merata. Tercatat hanya Sulawesi yang pertumbuhannya lebih tinggi dari Pulau Jawa pada triwulan pertama tahun 2017 ini.

Pertumbuhan ekonomi Sulawesi mencapai 6,87%, sementara Jawa sebagai pusat perekonomian tumbuh 5,66%. Pulau-pulau lain jauh ketinggalan, yaitu Kalimantan 4,92%, Maluku dan Papua 4,16%, Sumatera 4,05% serta Bali danNusa Tenggara 2,36%.

Ada beberapa penyebab utama yang oleh BPS dianggap sebagai penghambat pertumbuhan. Salah satunya adalah melemahnya tingkat ekonomi konsumen.

Pada triwulan I/2016 nilainya 102,46, lalu merosot ke 102,27 di triwulan lalu. Kelas menengah dan kelas bawah yang ikut menjadi penopang pertumbuhan ekonomi juga mengalami perlambatan pendapatannya.

Contohnya adalah upah minimum provinsi (UMP) yang pertumbuhannya lebih kecil, yaitu 9,15%, bila dibandingkan dengan kuartal I/2016 yang naik sebesar 12,43%. Kelas atas pun sebagai penggerak ekonomi menurun konsumsinya. Indikator utamanya adalah pembelian barang mewah yang turun 21,39%.

Ada beberapa warning yang harus mendapatkan perhatian serius pemerintah. Dari posisi pinjaman konsumsi, misalnya, untuk kredit konsumsi dari perbankan juga melambat di kuartal I/2017 menjadi 8,75%. Begitu juga dengan pembiayaan multiguna yang terkontraksi negatif 9,07%. Selanjutnya di sektor posisi tabungan untuk tabungan rumah tangga mengalami penguatan dari 4,27% pada kuartal I/2016 menjadi 9,14% pada kuartal I/2017.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah meningkatnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian, padahal Indonesia sedang menggenjot industrialisasi. Data Februari 2017 mengatakan ada 39,68 juta penduduk yang bekerja di sektor pertanian (31,86% penduduk bekerja), naik dari angka bulan Februari 2016 yang hanya ada 38,29 juta penduduk yang bekerja di sektor tersebut (31,74% penduduk bekerja).

Tentu sangat mengherankan, dalam masa ketika perubahan peruntukan lahan pertanian kian kencang, jumlah penduduk yang bekerja di sektor tersebut makin besar.

Jika melirik angka lain, ada temuan yang juga mengkhawatirkan. Jumlah pekerja yang bekerja di sektor konstruksi turun drastis dari 7,71 juta orang menjadi 7,16 juta orang.

Persentasenya dari 6,39% penduduk bekerja di sektor industri pada kuartal I/2016 menjadi hanya 5,75% penduduk yang bekerja di sektor konstruksi. Penurunan pekerja di sektor ini tentu menggambarkan pelemahan ekonomi yang cukup mengkhawatirkan. Padahal kita tahu Presiden Jokowi sedang menggenjot pembangunan infrastruktur yang pasti berdampak positif pada sektor ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8303 seconds (0.1#10.140)