Kepentingan Publik dan Angket DPR
A
A
A
DALAM demokrasi perwakilan yang kita jalankan, para elite politik yang menempati jabatan publik baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif adalah para pelaksana kepentingan publik. Itu konsep idealnya, walaupun kita bisa lihat banyak sekali simpangan penyelewengannya.
Bahkan, tak jarang langkah-langkah yang dilakukan tidak menggambarkan kepentingan publik (public interest), tetapi personal interest atau group interest maupun kepentingan-kepentingan lainnya.
Kemarin (28/4) baru saja ada akrobat politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu diloloskannya sebuah hak angket terkait KPK dalam sidang paripurna. Kalau melihat sidangnya, kepentingan publik seperti dikedepankan, namun benarkah seperti itu?
Pengusulan hak angket ini oleh publik dikenal sebagai Hak Angket e-KTP atau Hak Angket KPK. Komisi III DPR sendiri menamainya ”Hak Angket terhadap Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang Diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Dari sini bisa kita lihat sepertinya DPR ingin secara khusus membedah KPK.
Sebenarnya wajar-wajar saja pembedahan itu dilakukan DPR dalam fungsinya sebagai lembaga legislatif. Namun, menjadi tidak wajar ketika hak angket ini dilakukan saat ada hantaman keras terhadap DPR dari proses penyidikan yang dijalankan KPK terhadap kasus dugaan korupsi e-KTP.
Momennya terlalu beririsan sehingga wajar publik menilainya sebagai balasan DPR terhadap KPK. Karena kalau sekadar menilai pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK merujuk pada UU 32/2002, banyak waktu lain yang bisa diambil DPR.
Selama ini DPR terlihat cukup mengobral usulan hak angket, dan sangat banyak yang kandas. Yang lolos menjadi angket DPR pun seperti tak bertaring.
Namun uniknya, ketika berhubungan langsung dengan DPR seperti dalam hak angket KPK ini, mulus sekali jalannya. Tak heran jika publik menilai jika ada hubungan dirinya/lembaga DPR atau kelompok elite maka semuanya akan dimudahkan. Lalu di mana suara publik?
Gambaran bagaimana DPR kian jauh dari kepentingan publik terekam dengan sangat baik dalam komentar dari anggota Fraksi Gerindra Martin Hutabarat, yang bersama teman satu fraksinya serta Fraksi PKB dan Fraksi Demokrat memutuskan untuk walk out dari sidang paripurna.
”Argumentasi tadi menarik bahwa ada satu undang-undang yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat bahwa selama ini KPK sudah merugikan rakyat banyak. Mungkin ada baiknya kita bertanya pada konstituen kita, apa betul aspirasi rakyat atau kita sendiri? Kalau betul aspirasi kita sendiri berarti kita bunuh diri,” ungkap Martin ketika menjawab pertanyaan wartawan sesaat setelah keluar ruang sidang.
Yang lebih miris lagi, ternyata proses pengambilan keputusan mengenai hak angket ini di paripurna pun cacat. Dalam Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR/DPRD, dan DPD (familier disebut UU MD3) terkait usulan hak angket ini bisa menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Sayangnya hal itu tak terjadi di Sidang Paripurna kemarin. Pimpinan sidang langsung memutuskan hak angket diterima oleh Sidang Paripurna, sekalipun masih diinterupsi oleh beberapa fraksi.
Dari segi aturan sidang, ketika ada ketidaksetujuan itu harus diberi ruang dulu, baru selanjutnya jika masih tidak ada kata sepakat maka diambil voting. Mekanisme seperti itu tak tampak di paripurna kemarin.
Semoga DPR dan para elite politik sadar, bagaimanapun mereka akan kembali meminta restu rakyat setidaknya lima tahun sekali. Kalau pergi terlalu jauh, pada akhirnya rakyat akan meninggalkan mereka.
Bahkan, tak jarang langkah-langkah yang dilakukan tidak menggambarkan kepentingan publik (public interest), tetapi personal interest atau group interest maupun kepentingan-kepentingan lainnya.
Kemarin (28/4) baru saja ada akrobat politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu diloloskannya sebuah hak angket terkait KPK dalam sidang paripurna. Kalau melihat sidangnya, kepentingan publik seperti dikedepankan, namun benarkah seperti itu?
Pengusulan hak angket ini oleh publik dikenal sebagai Hak Angket e-KTP atau Hak Angket KPK. Komisi III DPR sendiri menamainya ”Hak Angket terhadap Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang Diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Dari sini bisa kita lihat sepertinya DPR ingin secara khusus membedah KPK.
Sebenarnya wajar-wajar saja pembedahan itu dilakukan DPR dalam fungsinya sebagai lembaga legislatif. Namun, menjadi tidak wajar ketika hak angket ini dilakukan saat ada hantaman keras terhadap DPR dari proses penyidikan yang dijalankan KPK terhadap kasus dugaan korupsi e-KTP.
Momennya terlalu beririsan sehingga wajar publik menilainya sebagai balasan DPR terhadap KPK. Karena kalau sekadar menilai pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK merujuk pada UU 32/2002, banyak waktu lain yang bisa diambil DPR.
Selama ini DPR terlihat cukup mengobral usulan hak angket, dan sangat banyak yang kandas. Yang lolos menjadi angket DPR pun seperti tak bertaring.
Namun uniknya, ketika berhubungan langsung dengan DPR seperti dalam hak angket KPK ini, mulus sekali jalannya. Tak heran jika publik menilai jika ada hubungan dirinya/lembaga DPR atau kelompok elite maka semuanya akan dimudahkan. Lalu di mana suara publik?
Gambaran bagaimana DPR kian jauh dari kepentingan publik terekam dengan sangat baik dalam komentar dari anggota Fraksi Gerindra Martin Hutabarat, yang bersama teman satu fraksinya serta Fraksi PKB dan Fraksi Demokrat memutuskan untuk walk out dari sidang paripurna.
”Argumentasi tadi menarik bahwa ada satu undang-undang yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat bahwa selama ini KPK sudah merugikan rakyat banyak. Mungkin ada baiknya kita bertanya pada konstituen kita, apa betul aspirasi rakyat atau kita sendiri? Kalau betul aspirasi kita sendiri berarti kita bunuh diri,” ungkap Martin ketika menjawab pertanyaan wartawan sesaat setelah keluar ruang sidang.
Yang lebih miris lagi, ternyata proses pengambilan keputusan mengenai hak angket ini di paripurna pun cacat. Dalam Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR/DPRD, dan DPD (familier disebut UU MD3) terkait usulan hak angket ini bisa menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Sayangnya hal itu tak terjadi di Sidang Paripurna kemarin. Pimpinan sidang langsung memutuskan hak angket diterima oleh Sidang Paripurna, sekalipun masih diinterupsi oleh beberapa fraksi.
Dari segi aturan sidang, ketika ada ketidaksetujuan itu harus diberi ruang dulu, baru selanjutnya jika masih tidak ada kata sepakat maka diambil voting. Mekanisme seperti itu tak tampak di paripurna kemarin.
Semoga DPR dan para elite politik sadar, bagaimanapun mereka akan kembali meminta restu rakyat setidaknya lima tahun sekali. Kalau pergi terlalu jauh, pada akhirnya rakyat akan meninggalkan mereka.
(poe)