Hakim Cecar Kepala Bakamla Soal Aliran Suap Proyek Satelit
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mencecar Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya TNI Arie Soedewo mengenai perintah penerimaan dan perintah pengambilan uang serta permintaan alokasi fee 7,5%.
Arie Soedewo dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam persidangan dua terdakwa pemberi suap Rp28,338 miliar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Arie Soedewo bersaksi untuk terdakwa Marketing Operasional PT Merial Esa Hardy Stefanus dan pegawai Bagian Operasional PT Merial Esa, Muhammad Adami Okta terkait perkara suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih dari Rp222,438 miliar.
Pada Rabu 26 April lalu, Arie menjadi saksi dalam persidangan Fahmi Darmanwansyah alias Emi pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah alias Emi.
Majelis hakim yang dipimpin Franky Tambuwun sempat membacakan isi berita acara pemeriksaan (BAP) saksi. Dalam BAP tersebut disebutkan bahwa Arie Soedewo telah memerintahkan tiga orang untuk meminta jatah fee 7,5% dari proyek satelit monitoring. Kemudian memerintahkan tiga orang tersebut menerima uang suap.
Tiga orang yang diperintah Arie, yakni Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla tahun anggaran 2016, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo (tersangka di POM TNI) selaku direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi Hukum dan Kerja Sama Keamanan dan Keselamatan Laut Bakamla 2016, dan Nofel Hasan selaku kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla.
Kemudian, kata jaksa, dari angka 7,5 persen tersebut Arie memerintah Eko agar lebih dulu meminta realisasi dan menerima 2%. Dari angka tersebut, kemudian Rp1 miliar diterima Novel, Rp1 miliar untuk Bambang Udoyo, dan Rp2 miliar untuk Eko Susilo.
"Apakah pernah memerintahkan kepada saudara Eko Susilo Hadi untuk pembagian yang 2 persen? Nantinya akan dibagikan kepada Bambang Udoyo Rp1 miliar, kepada Novel Hasan Rp1 miliar, dan Rp 2 miliar kepada Eko Susilo Hadi?" tanya salah satu anggota majelis hakim kepada Arie.
Dicecar ihwal tersebut, Arie membantah. Dia mengaku baru mengetahui ada penerimaan tersebut setelah menerima informasi dari luar Bakamla. "Tidak pernah. Saya tahu dari luar sudah terjadi pembagian seperti itu," ucap Arie.
Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun tidak puas dengan jawaban Arie. Dia lantas bertanya tentang dugaan apakah benar Arie menerima sesuatu, baik berupa barang atau uang.
"Maaf kalau pertanyaan ini agak sensitif dan tidak menyenangkan. Dalam proyek pengadaan satmon (satelit monitoring) saksi pernah tidak menerima sesuatu apakah uang atau barang?" tanya hakim Franky.
Arie menjawab tidak pernah menerima apapun terkait proyek pengadaan satelit monitoring. Dia kemudian menjelaskan posisi Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi yang sebelumnya dalam dakwaan dan fakta persidangan meminta alokasi 15 persen.
Arie menuturkan, posisi Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi bukan staf ahli atau staf khusus Kepala Bakamla, tapi narasumber Kepala Bakamla Bidang Perencanaan dan Anggaran.
Arie juga mengakui tidak mengetahui sepak terjang Ali dalam proyek satelit monitoring dan drone di Bakamla.
Sesudah pemeriksaan Arie Soedewo, majelis dan JPU menggelar pemeriksaan Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta sebagai terdakwa.
Adami memastikan, Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi alias Ali Onta alias Fahmi Onta meminta jatah 15% untuk Bakamla. Kemudian, Ali meminta agar proyek satelit monitoring dan drone masing-masing fee-nya 6%. Akhirnya secara keseluruhan dikucurkan kepada Ali sebesar Rp54 miliar.
Adami juga berkomunikasi dengan Eko Susilo Hadi tentang jatah fee untuk Bakamla. Eko menyebutkan fee untuk Bakamla sebagai dana komando yakni 7,5 persen.
Menurut Eko ke Adami, alokasi 7,5% itu atas perintah Kepala Bakamla Arie Soedewo. Seiring berjannya waktu, Eko menyampaikan kepada Adami bahwa ada perintah lagi dari Arie bahwa lebih dahulu direalisasi 2%.
"Harus diserahkan ke Pak Eko," kata Adami.
Kemudian Eko menyampaikan agar uang yang sudah tersedia dipecah pembagiannya kepada tiga orang, yakni Eko, Bambang Udoyo, dan Nofel Hasan.
Keseluruhan uang suap yang diserahkan ke Eko, Udoyo, dan Nofel yakni Rp4 miliar. Adami memastikan,pengeluaran uang suap dari kas perusahaan atas persetujuan Fahmi Darmawansyah.
"Uang itu realisasi dari 2 persen tadi," tandasnya.
Arie Soedewo dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam persidangan dua terdakwa pemberi suap Rp28,338 miliar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Arie Soedewo bersaksi untuk terdakwa Marketing Operasional PT Merial Esa Hardy Stefanus dan pegawai Bagian Operasional PT Merial Esa, Muhammad Adami Okta terkait perkara suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih dari Rp222,438 miliar.
Pada Rabu 26 April lalu, Arie menjadi saksi dalam persidangan Fahmi Darmanwansyah alias Emi pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah alias Emi.
Majelis hakim yang dipimpin Franky Tambuwun sempat membacakan isi berita acara pemeriksaan (BAP) saksi. Dalam BAP tersebut disebutkan bahwa Arie Soedewo telah memerintahkan tiga orang untuk meminta jatah fee 7,5% dari proyek satelit monitoring. Kemudian memerintahkan tiga orang tersebut menerima uang suap.
Tiga orang yang diperintah Arie, yakni Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla tahun anggaran 2016, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo (tersangka di POM TNI) selaku direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi Hukum dan Kerja Sama Keamanan dan Keselamatan Laut Bakamla 2016, dan Nofel Hasan selaku kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla.
Kemudian, kata jaksa, dari angka 7,5 persen tersebut Arie memerintah Eko agar lebih dulu meminta realisasi dan menerima 2%. Dari angka tersebut, kemudian Rp1 miliar diterima Novel, Rp1 miliar untuk Bambang Udoyo, dan Rp2 miliar untuk Eko Susilo.
"Apakah pernah memerintahkan kepada saudara Eko Susilo Hadi untuk pembagian yang 2 persen? Nantinya akan dibagikan kepada Bambang Udoyo Rp1 miliar, kepada Novel Hasan Rp1 miliar, dan Rp 2 miliar kepada Eko Susilo Hadi?" tanya salah satu anggota majelis hakim kepada Arie.
Dicecar ihwal tersebut, Arie membantah. Dia mengaku baru mengetahui ada penerimaan tersebut setelah menerima informasi dari luar Bakamla. "Tidak pernah. Saya tahu dari luar sudah terjadi pembagian seperti itu," ucap Arie.
Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun tidak puas dengan jawaban Arie. Dia lantas bertanya tentang dugaan apakah benar Arie menerima sesuatu, baik berupa barang atau uang.
"Maaf kalau pertanyaan ini agak sensitif dan tidak menyenangkan. Dalam proyek pengadaan satmon (satelit monitoring) saksi pernah tidak menerima sesuatu apakah uang atau barang?" tanya hakim Franky.
Arie menjawab tidak pernah menerima apapun terkait proyek pengadaan satelit monitoring. Dia kemudian menjelaskan posisi Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi yang sebelumnya dalam dakwaan dan fakta persidangan meminta alokasi 15 persen.
Arie menuturkan, posisi Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi bukan staf ahli atau staf khusus Kepala Bakamla, tapi narasumber Kepala Bakamla Bidang Perencanaan dan Anggaran.
Arie juga mengakui tidak mengetahui sepak terjang Ali dalam proyek satelit monitoring dan drone di Bakamla.
Sesudah pemeriksaan Arie Soedewo, majelis dan JPU menggelar pemeriksaan Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta sebagai terdakwa.
Adami memastikan, Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi alias Ali Onta alias Fahmi Onta meminta jatah 15% untuk Bakamla. Kemudian, Ali meminta agar proyek satelit monitoring dan drone masing-masing fee-nya 6%. Akhirnya secara keseluruhan dikucurkan kepada Ali sebesar Rp54 miliar.
Adami juga berkomunikasi dengan Eko Susilo Hadi tentang jatah fee untuk Bakamla. Eko menyebutkan fee untuk Bakamla sebagai dana komando yakni 7,5 persen.
Menurut Eko ke Adami, alokasi 7,5% itu atas perintah Kepala Bakamla Arie Soedewo. Seiring berjannya waktu, Eko menyampaikan kepada Adami bahwa ada perintah lagi dari Arie bahwa lebih dahulu direalisasi 2%.
"Harus diserahkan ke Pak Eko," kata Adami.
Kemudian Eko menyampaikan agar uang yang sudah tersedia dipecah pembagiannya kepada tiga orang, yakni Eko, Bambang Udoyo, dan Nofel Hasan.
Keseluruhan uang suap yang diserahkan ke Eko, Udoyo, dan Nofel yakni Rp4 miliar. Adami memastikan,pengeluaran uang suap dari kas perusahaan atas persetujuan Fahmi Darmawansyah.
"Uang itu realisasi dari 2 persen tadi," tandasnya.
(dam)