Penghapusan Kekerasan Seksual dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Selasa, 25 April 2017 - 09:00 WIB
Penghapusan Kekerasan...
Penghapusan Kekerasan Seksual dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia
A A A
Ninik Rahayu
Anggota Ombudsman RI


Mengapa Ulama Perempuan harus berkongres, adakah persoalan genting yang akan didialogkan dan dicarikan solusinya? Bukannya sudah cukup banyak pertemuan, dialog, dalam arena selevel kongres sekalipun, yang sebelumnya sudah rutin diselenggarakan. Lalu, apa hakikat dilaksanakannya kongres "Ulama Perempuan" atau jangan-jangan ini arena "perempuan" yang ulama akan berkongres. Itulah seputar pertanyaan yang muncul sejak dipublikasikan rencana penyelenggaraan acara ini, baik oleh masyarakat umum secara langsung maupun media yang mendengar rencana akan dilaksanakannya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada Selasa-Kamis (25-27/4).

Tidak dapat dimungkiri bahwa arena kongres sudah banyak diselenggarakan dan hal ini telah pula dijelaskan dalam kerangka kerja KUPI bahwa sampai dengan saat ini setidaknya organisasi-organisasi perempuan di kalangan komunitas keagamaan, seperti Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah di lingkungan Muhammadiyah ataupun Muslimat dan Fatayat di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Persistri di lingkungan organisasi Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain juga telah melakukan dialog dan kongres untuk merespons tuntutan kebutuhan masyarakat, termasuk tuntutan untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapai perempuan dan anak.

Namun KUPI, selain diharapkan agar perempuan mendapatkan ruang untuk ber-tafaqquh fid-dien, menuntut ilmu dan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan, juga diharapkan menjadi ruang perjumpaan bagi para ulama perempuan yang memang baru pertama kali dilakukan di Indonesia, bahkan di dunia, meminjam istilah yang digunakan Presiden Afganistan ketika mengetahui rencana kerja KUPI. Selama ini organisasi-organisasi perempuan telah menjalankan tugas mulia untuk melakukan penyadaran publik dan menyejahterakan masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kehadiran KUPI dapat dikatakan, saatnya para ulama perempuan hadir melakukan perjumpaan fisik, mendialogkan ide, gagasan, dan tukar pengalaman atas dedikasi dan kerja yang tak terhitung jumlahnya selama ini dalam upaya regenerasinya. Bahwa sepanjang sejarah keulamaan merupakan bentuk tanggung jawabnya untuk merespons dan menjadi bagian dari solusi atas berbagai permasalahan umat dan bangsa, seperti kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, kemiskinan, kebodohan, dan lainnya, termasuk kekerasan seksual.

KUPI oleh karenanya dimaksudkan untuk memperkenalkan secara lebih luas tentang keulamaan perempuan yang sudah berabad-abad dilakukan dan mengapresiasi rekam jejak perjuangannya. Atas dasar itulah, ulama perempuan dipilih dari mereka yang tidak hanya memiliki kapasitas keilmuan dan integritas moral. Namun, juga memiliki kepedulian dan kerja-kerja sosial untuk perempuan dan umat. Para ulama perempuan yang akan melakukan perjumpaan dalam KUPI ini berasal dari berbagai unsur, di antaranya dari komunitas, akademisi, aktivis, pesantren, organisasi sosial-keagamaan, aktivis sosial politik, dan majelis taklim. KUPI dengan terbuka juga menerima kehadiran pengamat, baik dari dalam maupun luar negeri, maka tidak heran dalam perhelatan ini akan hadir peserta dari mancanegara baik sebagai peserta maupun narasumber dalam forum seminar internasional serta sebagai pengamat selama kongres berlangsung

KUPI diharapkan bisa menjadi sebuah forum komunikasi dan silaturahmi ulama perempuan Indonesia untuk sharing pengalaman, berkontribusi memikirkan problem kekinian yang dihadapi perempuan dan anak, serta solusi pemecahannya, memformulasikan keputusan-keputusan yang membawa kemaslahatan atas berbagai persoalan sosial keagamaan saat ini. KUPI berupaya membangun partisipasi perempuan ulama yang lebih luas, maka keterlibatan sejumlah pihak menjadi legitimasi pentingnya perjumpaan ini. Mengingat KUPI diharapkan akan menghasilkan pemecahan masalah, maka forum ini sekaligus dapat digunakan sebagai ajang publikasi keputusan-keputusan musyawarah keagamaan sebagai hasil pemikiran bersama (ijtihad jama'iy) ulama perempuan yang secara substansi mencerminkan perspektif keadilan

Kekerasan seksual sesungguhnya bukan hanya persoalan perempuan, maka KUPI hadir tidak hanya atas keterlibatan perempuan ulama, tetapi insan yang sadar dan memiliki pemahaman utuh tentang posisi dan kondisi perempuan dengan segala problemnya untuk diupayakan solusinya. Sebab, ruang-ruang perjumpaan dan kebijakan untuk keadilan substantif bagi perempuan dan anak perempuan masih sangat dibutuhkan. Betapa mahalnya perspektif dan keberpihakan terhadap solusi penyelesaian persoalan perempuan dan anak ini.

Beberapa problem yang mengemuka dan saat ini penting dimusyawarahkan, antara lain soal kekerasan seksual. Ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan (Komnas Perempuan, 2012). Pada 2016, BPS-SPHPN juga menggambarkan bahwa satu dari tiga perempuan dalam rentang usia 15-64 tahun di Indonesia mengalami kekerasaan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Dengan demikian, sudah dapat dipastikan bahwa perempuan korban kekerasan seksual jumlahnya sangatlah besar.

Bentuk kekerasan yang dialami perempuan korban juga beragam, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Bahkan seorang perempuan korban bisa mengalami seluruh bentuk kekerasan. Sebagaimana data BPS-SPHPN menggambarkan bahwa sekitar dua dari 11 perempuan yang pernah atau sedang dalam masa pernikahan mengalami kekerasan fisik dan/atau kekekerasan seksual oleh pasangan selama perkawinannya. Sekitar satu dari empat perempuan mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh selain pasangan selama hidup mereka.

Komnas Perempuan di dalam pendokumentasiannya menemukan bentuk-bentuk kekerasan seksual. Di antaranya perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi seksual, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pemaksaan alat konstrasepsi dan sterilisasi, kontrol seksual seperti pengaturan busana tertentu dan pembatasan keluar rumah pada malam hari, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, serta praktik tradisi yang bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.

Sedikitnya ada 15 bentuk kekerasan seksual yang ditemukan, meski masyarakat secara umum hanya mengenal pelecehan seksual, zina, pencabulan, dan perkosaan.

Pemaknaan yang sedikit terhadap bentuk kekerasan seksual oleh masyarakat ini, salah satunya disebabkan oleh respons negara yang sangat sempit dalam pengaturannya. Meski dalam kebijakan nasional mengenal istilah kekerasan seksual, perkosaan, zina, ataupun pelecehan seksual, sampai saat ini belum ada pemaknaan yang komprehensif. Kebijakan yang tersedia mengalami kekaburan makna dan kontradiktif jika ditinjau dari aspek perundang-undangan, konsep, historis, ataupun perbandingan hukumnya.

Akibatnya, selain sering terjadi silang penafsiran oleh aparat penegak hukum dalam merumuskan delik kejahatannya, semakin banyak kasus kekerasan seksual yang terlepas dari jerat hukum. Semakin dirasakan ketidakadilannya oleh perempuan korban karena masyarakat juga memiliki pemaknaan yang beragam terkait kekerasan seksual, termasuk responsnya. Sering kita mendengar korban perkosaan justru dikawinkan antara pelaku dan korban, hanya karena pasangan ini mengenal dekat atau berelasi "pacaran". Korban kekerasan seksual tidak diterima untuk melanjutkan sekolah, tidak boleh mengikuti ujian, dan kesulitan lain ketika perempuan korban masih dalam masa pendidikan.

Perempuan korban tidak sedikit yang harus keluar dari kehidupan komunitasnya, diusir karena dianggap membuat "kotor" wilayah tempat tinggalnya. Padahal, di luar ancaman dan intimidasi yang diterima perempuan korban tersebut, secara fisik dan psikologis korban mengalami luka mendalam yang tidak ringan. Selain rasa takut, trauma, dan malu, banyak korban yang mengalami pengucilan, pengusiran, dan ketika tidak mendapatkan "pertolongan dan perlindungan", cenderung menyalahkan diri sendiri dan kemudian berakibat pada penghilangan nyawa dirinya sendiri.

Keberagaman respons kebijakan yang saat ini ada bahkan dapat menyebabkan perempuan mengalami reviktimisasi. Sebagai korban, seharusnya mendapatkan perlindungan dan pemulihan, Permeneg PPA No 1/2010 tentang Pemulihan Korban, setidaknya ada empat yang seharusnya dipenuhi oleh negara, yakni pengaduan yang aman, pemulihan kesehatan, penanganan proses hukum, serta rehabilitasi dan pemulangan. Namun, antara lain melalui pengaturan "zina dan perkosaan", yang sering dianggap relasi suka sama suka, perempuan korban justru dikriminalkan, korban tidak hanya mengalami luka fisik dan batin akibat perkosaan, tetapi korban mengalami luka fisik dan batin akibat hukuman cambuk, jika pemerkosa bersumpah bahwa ia tidak melakukan perkosaan seperti kasus yang berlaku di Aceh sejak diberlakukannya Qonun Jinayat.

Perjumpaan para ulama perempuan dalam forum KUPI ini diharapkan dapat membahas secara mendalam bagaimana sebenarnya Islam mengatur soal perkosaan dan segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Juga, bagaimana agama memberikan perlindungan korban serta mencegah keberulangan agar tujuan penghapusan kekerasan seksual terwujud. Dengan demikian, diharapkan muncul hasil Musyawarah Ulama Perempuan yang dapat dijadikan pedoman untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di masyarakat.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0839 seconds (0.1#10.140)